Senin, 28 Desember 2015

Hamas: Tinjauan Teori Faktor Penentu Dinamika Gerakan Sosial

sumber gambar: rmoljabar.com


Oleh: Yuris Fahman Zaidan


Political Opportunity Structure
         Salah satu faktor penentu dinamika gerakan sosial adalah Political Opportunity Structure (disingkat POS). Seringkali orang-orang menyebutkan POS adalah faktor pendorong dari luar dan/atau eksternal—di luar gerakan sosial itu sendiri. David Meyer menyebutkan bahwa teori ini sering dipakai oleh para sarjana di Eropa dalam meneliti faktor keberhasilan suatu gerakan sosial (Meyer, 2003: 17). Meyer dan Minkoff (2004: 1458) berpendapat bahwa teori POS menjanjikan suatu cara untuk memprediksi perbedaan pada waktu tertentu, gaya, isi dari klaim-klaim yang dimiliki oleh para aktivis. Dasar pemikiran yang harus digaris bawahi dalam pendekatan ini adalah adanya kecendrungan untuk protes yang datang dari luar yang berkaitan dengan institusi politik sekitarnya, tetapi POS adalah suatu teori yang digunakan secara sistematis untuk analisis dari kehadiran protes itu sendiri.

Silih Asih: Rekonstruksi Analitis atas Pandangan Zakat dalam Islam[1]

sumber gambar: twitter.com
 
Oleh: Yuris Fahman Zaidan

Banyak sekali yang bisa dibicarakan perihal kebudayaan Sunda. Tidak sedikit orang yang berbicara bahwa Indonesia memiliki banyak kearifan lokal. Hampir setiap daerah memiliki kearifan lokal tersendiri yang khas. Dalam kerarifan lokal itu kita bisa menyaksikan nilai atau norma yang berlaku di suatu daerah. Salah satu daerah yang juga disebut-sebut memiliki budaya yang khas adalah Sunda.
Butuh penelitian yang cukup lama untuk membahas seluk-beluk kebudayaan masyarakat Sunda. Sebab seperti yang telah saya paparkan di muka, Sunda adalah suatu daerah yang memiliki banyak kearifan lokal. Walaupun demikian kenyataannya, saya akan berusaha membahas  salah satu  dari trilogi Sunda—ini bahasa penulis—tentang silih asih, silih asah, dan silih asuh. Masing-masing dari kalimat tersebut memiliki nilai serta arti tersendiri.  Namun, saya akan membatasi peta kajiannya, serta hanya membahas salah satu dari trilogi Sunda: silih asih. Kemudian saya akan mencoba mengaitkannya dengan agama yang paling banyak di anut oleh masyarakat Sunda—Islam—perihal zakat sebagai bentuk dari silih asih orang Sunda.

Senin, 14 Desember 2015

Book Review tentang “Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme”

sumber gambar: pustakapelajar.co.id



Oleh: Yuris Fahman Zaidan[1]

Sederhana awalnya mengapa Max Weber membuat buku yang berjudul Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme. Hal ini dimulai ketika dia mengamati bahwa yang mendominasi dalam perekonomian adalah kaum Protestan. Padahal saat itu orang-orang Katolik lebih banyak dari penganut Protestan. Hal tersebut digambarkan langsung oleh Weber dalam halaman-halaman pertama dari bukunya:
Kenyataan menunjukan bahwa para pemimpin bisnis dan pemilik modal, maupun para pekerja perusahaan yang berkeahlian tinggi, staf ahli yang terdidik, baik secara teknis maupun bisnis, ternyata adalah penganut Protestan (Weber, 2006: 3).

Revolusi Obschina: Tinjauan Teori Faktor Penentu Dinamika Gerakan Sosial

sumber gambar: bumirakyat.wordpress.com
Oleh: Yuris Fahman Zaidan
Berbicara faktor-faktor penentu dinamika gerakan sosial, kita tidak bisa melepaskan diri dari empat teori yang berkenaan dengan hal itu: political oppurtunity structure, mobilization resource, movement framing, dan exchange of interest. Beranjak dari empat faktor penentu dinamika gerakan sosial itu, penulis akan membahas satu-persatu dari teori tersebut, walaupun tidak akan lengkap serta mendatail. Kemudian untuk lebih memahami teori-teori itu, penulis akan hubungkan dengan suatu studi kasus: revolusi petani di Rusia yang dilatarbelakangi oleh kelompok Obchina sebagai gerakan sosial petani.1
Davis S. Meyer dalam tulisannya yang berjudul Political Opportunity and Nested Instutions (2003: 17) menyebutkan bahwa beberapa sarjana Eropa berbeda pendapat dalam mendefinisikan apa yang dimaksud dengan political opportunity structure.

Agama dan Marxisme

 sumber gambar: tulisan377.blogspot.com
Ketika saya membuka facebook, yang pertama kali saya lihat di beranda adalah status Yoga ZaraAndritra (A Og). “Cadu resah ditinggal nikah” tulisnya. Memang begitu raheut ditinggal nikah, tapi apa daya, kehendak tidak bisa merubah keadaan sebenarnya. Dalam hal ini, saya turut bersedih. Saya tahu A Og begitu sakit hati, terlihat dari status di BBM atau Facebooknya. Namun seperti kata motivator-motivator kebanyakan, bahwa kita jangan berlarut-larut dalam kesedihan. Mengambil ucapan Bung Fikri, semoga Djisamsoe kretek menjadi peneduh yang berelasi pada rindu. 

Akhir-akhir ini, saya lihat A Og bersemangat membumikan marxisme. Saya menyangka seperti itu, karena status yang dibuat A Og atau artikel-artikel yang dibagikan di facebooknya perihal marxisme melulu. Semangat marxisme ini jangan sampai luntur karena “raheutditinggal nikah”. Kalau sampai pudar karena hal demikian, ah sangat disayangkan. Tapi saya rasa ia tidak begitu, jelaslah dengan tegas dan gagah berani ia menuliskan di-update-an terbarunya “Cadu resah ditinggal nikah!!”.

Menafsir HR. Bukhari (Analisis Teori Tindakan Sosial Max Weber)

sumber gambar: wikipedia.org
Oleh: Yuris Fahman Zaidan


Dari Abu Musa Al Asy'ariy ra. berkata, Nabi Saw.bersabda: "Siapa saja dari seseorang yang memiliki seorang budak perempuan lalu dididiknya dengan sebaik-baik pendidikan, kemudian dibebaskannya lalu dinikahinya maka baginya mendapat dua pahala, dan siapa saja dari seorang hamba yang menunaikan hak Allah dan hak tuannya maka baginya mendapat dua pahala." (BUKHARI - 2361)

Sebelum kita membicarakan pendidikan Islam seturut paparan hadis di atas. Alangkah baiknya kita melihat pendidikan dari berbagai tradisi. Banyak perspektif yang memberikan pandangannya mengenai pendidikan. Termasuk ilmu-ilmu kontemporer dan belum ada saat zaman Nabi Muhammad. Seperti halnya antropologi-budaya yang akan memberikan pandangannya ihwal pendidikan dengan membagi pendidikan dari segi ilmu kebudayaan.

Pengetahuan dalam Pandangan Locke serta Kritik Berkeley Terhadapnya

sumber gambar:istockphoto.com
Oleh: Yuris Fahman Zaidan*

Ada yang menarik ketika kita memperbincangkan darimana sumber pengetahuan diperoleh. Sebab dalam hal ini ada dua golongan yang bertolak belakang. Awalnya ketika zaman Renaisansans, munculnya ilmu pengetahuan modern tidak hanya disambut oleh kaum rasionalis tetapi filsuf-filsuf Inggris yang memiliki faham bahwa pengetahuan itu berasal dari empiris mulai memperdebatkannya dengan para penganut rasionalisme seperti halnya Descartes dan yang lainnya.
Rasionalisme beranggapan bahwa pengetahuan itu hanya diperoleh dari rasio saja, sementara bertolak belakang dengan kaum empiris yang menyatakan bahwa semua pengetahuan itu bersumber dari pengalaman (empeiria). (Hardiman, 2007: 64) Para perintis empirisme modern seperti Hobbes, Locke, Berkeley dan Hume meyakini serta mengamininya. Seolah menjadi pertanyaan, bagaimana kaum empiris berani mengatakan bahwa semua pengetahuan itu a posteriori dan menolak pendapat rasionalisme yang a priori1?
Kita mulai dengan mengetahui buku sebagai buku. Rasionalisme berbicara bahwa sebenarnya untuk mengetahui buku, kita tidak harus memiliki pengalaman. Dalam kepala kita sudah terdapat ide mengenai buku. Ide inilah yang membuat kita hafal pada apa yang berada di luar kepala. Maka tanpa ide tersebut tidak akan terbentuk suatu pengetahuan.