Oleh:
Yuris Fahman Zaidan[1]
Sederhana
awalnya mengapa Max Weber membuat buku yang berjudul Etika Protestan dan
Spirit Kapitalisme. Hal ini dimulai ketika dia mengamati bahwa yang
mendominasi dalam perekonomian adalah kaum Protestan. Padahal saat itu
orang-orang Katolik lebih banyak dari penganut Protestan. Hal tersebut
digambarkan langsung oleh Weber dalam halaman-halaman pertama dari bukunya:
Kenyataan
menunjukan bahwa para pemimpin bisnis dan pemilik modal, maupun para pekerja
perusahaan yang berkeahlian tinggi, staf ahli yang terdidik, baik secara teknis
maupun bisnis, ternyata adalah penganut Protestan (Weber, 2006: 3).
Hal
ini memberikan gambaran bahwa ada suatu hal yang berbeda antara kaum Katolik
dan Protestan. Lebih lanjut Weber mengungkapkan bahwa ada afiliasi atau
hubungan agama dengan kapitalisme, sebab pada puncak ekspansinya hal itu bisa
mengubah distribusi sosial penduduk sesuai dengan kebutuhan mereka dan
memberikan kebebasan bagi mereka untuk memilik struktur pekerjaannya. Dalam
Protestan terdapat bentuk partisipasi relatif yang lebih besar, dan membentuk
suatu kepemilikan modal, menejemen, atau dalam tingkat pekerjaan karyawan yang
lebih tinggi pada industri-industri modern yang lebih tinggi.
Weber
memandang bahwa aliansi agama bukanlah sebagai sebab dari kondisi-kondisi
perekonomian, namun dia mengungkapkan hal tersebut hanyalah sebagai akibat dari
kondisi-kondisi itu. Hal ini bisa dilihat dari sejarah kemunculan Protestan.
Ketika Protestantisme muncul pada abad ke 16, maka orang-orang yang telah
memeluk Protestan bangkit untuk membangun perokonomian yang lebih baik. Tapi
uniknya wilayah yang memiliki perkembangan ekonomi yang paling pesat karena
kedatangan Protestan, pada saat itu diiringi oleh revolusi di dalam gereja.
Pertanyaannya bagaimana mungkin revolusi itu terjadi, setelah masyarakat
memilih untuk lebih baik dalam tingkat perekonomiaannya? Weber menjawabnya dengan
sederhana, di mana faktor tradisionalisme ekonomilah yang sangat kuat untuk
meruntuhkan doktrin agama Kristen yang saat itu diambil alih sepenuhnya oleh
Katolik. Hal ini dicatatkan langsung oleh Weber dalam bukunya:
Pembebasan dari tradisionalisme ekonomi secara pasti tampak menjadi
faktor yang sangat memperkuat kecendrungan untuk meragukan kesucian
tradisi-tradisi agama, seperti juga seluruh otoritas-otoritas tradisional.
Tetapi,penting untuk dicatat di sini, apa yang telah sering dilupakan, yaitu bahwa
reformasi tidaklah langsung berarti penghapusan kontrol gereja terhadap
kehidupan manusia sehari-hari. Reformasi berarti penggantian suatu bentuk
kontrol lama dengan suatu sistem baru dan lebih baik (Weber, 2006: 5).
Hal ini menjadi sebuah tanda bahwa sistem yang terdapat sebelumnya
sangat lemah. Ada beberapa aturan yang saat itu diterapkan oleh Katolik, di
antaranya menghukum dan mengampuni yang berdosa, dan syarat serta tatacara
aturan tersebut di jalankan oleh gereja Katolik. Menjadi sebuah masalah
tersendiri ketika semua golongan diwajibkan membayar penebusan dosa kepada
pihak gereja—tidak memandang miskin atau kaya—yang penting pembayaran itu harus
dilaksanakan oleh kaum Katolik.
Sebelum Protestan datang, dahulu ada pembatasan ekonomi yang
disebut dengan tradisionalisme ekonomi. Di mana agama yang saat itu berkembang
(Katolik) mengusai perekonomian di sekitarnya. Masyarakat pada waktu itu sangat
patuh terhadap aturan yang dikeluarkan oleh gereja, termasuk pengaturan ekonomi
dari setiap individu atau keluarga. Orang yang melanggar aturan gereja saat
itu, maka dia dianggap seorang yang sesat.
Namun seperti yang penulis tulis sebelumnya, tradisionalisme
ekonomi seiring waktu memudar setelah kedatangan kaum Protestan pada abad 16.
Protestan memiliki tendensi khusus dalam perekonomian. Kalau yang dibangun oleh
Katolik sebelumnya dinamakan dengan tradisonalisme ekonomi, maka Protestan
membangun sistem perekonomian baru yang dinamakan dengan rasionalisme ekonomi.
Dengan sistem perekonomiannya, Protestan berusaha membebaskan orang-orang dari
tradisionalisme ekonomi. Sehingga muncullah anggapan bahwa Protestan berusaha
menjauhkan manusia dari tradisi-tradisi agama dan meragukan otoritas-otoritas
tradisional saat itu.
Alih-alih Protestan dianggap sebagai kaum yang anti terhadap agama,
namun di sisi lain mereka justru memiliki semangat untuk membangun perekonomian
yang lebih baik dari sebelumnya dengan dasar agama. Hal ini begitu berkembang
pesat di Eropa saat itu, di tambah lagi pengaruh dari ajaran Calvinisme yang
dijalankan pada abad ke 16 dan 17 di Belanda, Selandia Baru, dan Inggris.[2]
Setelah tadi diketahui bahwa Protestan dituduh sebagai kaum yang
merusak tatanan agama yang suci akibat rasionalisme ekonominya. Namun Weber memiliki
anggapan lain, pembangunan rasionalisme ekonomi yang dijalankan oleh mereka
atas dalih ajaran yang mereka anut. Bukan karena ingin memisahkan ajaran agama
dari kehidupan manusia.Tetapi Katolik memandang hal demikian sebagai
penyesatan, sehingga muncullah konflik. Konflik itu diakibatkan karena pandangan
mereka yang berbeda mengenai materialisme. Katolik memandang bahwa materialisme
adalah hasil dari sekularisasi. Dalam artian materialisme bisa menyeret manusia
kepada hal-hal yang membawa ke arah kehidupan yang tidak didasarkan pada ajaran
agama. Atau bisa juga sebagai pengambilalihan bangunan serta barang milik
yayasan keagamaan untuk dijadikan milik negara dan digunakan untuk keperluan
lain.
Sedangkan berbeda dengan Protestan, mereka memandang materialisme
sebagai petunjuk dari agama yang mereka yakini. Maka dari itu walaupun dari
kalangan pendeta di Protestannya, banyak dari mereka yang sukses dalam
membangun perekonomiannya. Hal ini menunjukan bahwa pandangan mengenai
materialisme yang digagas oleh Protestan sangat bertolak belakang dengan ajaran
Katolik saat itu. Penulis rasa, inilah yang menjadi perbedaan paling mendasar
dari sitem perekonomian antara Katolik dan Protestan walaupun Weber tidak
menyebutkan secara terang-terangan apa saja yang menjadi perbedaan di antara
keduanya.
Kapitalisme
dalam Pandangan Protestan
Diakui atau tidak ekonomi kapitalistik adalah kosmos raksasa tempat
di mana manusia dilahirkan. Ketika manusia menolaknya maka dia terlempar tanpa
memiliki pekerjaan. Kita selalu didorong pada sebuah tatanan perekonomian yang
bernama “kapitalisme”. Hal itu sulit untuk dihindarkan, sebab di sisi lain
manusia juga membutuhkan hal demikian.
Ada dua faktor menurut Sombart bagaimana kapitalisme bisa muncul. Pertama,
karena kepuasan akan pemenuhan kebutuhan. Kedua, karena perolehan
keuntungan sebagai dua prinsip paling utama dalam sejarah perekonomian.
Dalam kasus yang pertama tadi, hasil karya barang-barang perlu
untuk memenuhi kebutuhan personal. Sedang dalam kasus yang kedua, suatu
perjuangan untuk memeroleh keuntungan yang bebas dari batasan-batasan yang
ditentukan oleh kebutuhan-kebutuhan telah menjadi tujuan yang mengontrol bentuk
dan arah dari kegiatan ekonomi (Weber, 2006: 41).
Weber menghubungkan apa yang disebut dengan kebutuhan-kebutuhan
ekonomi pada kasus pertama identik dengan tradisionalisme ekonomi. Sebab
seperti yang penulis ungkapkan sebelumnya, dalam kaum Katolik perekonomian itu
hanya dipandang sebagai pemenuhan atas “kebutuhan-kebutuhan saja”. Hal itu
dilakukan karena mereka takut tergiur oleh keduniawian sehingga melupakan
ajaran agamanya. Sedangkan berbeda dengan Protestan yang dipandang sebagai
ajaran bercirikan ekonomi yang bersifat serakah. Maka kalaulah dilihat dari
sudut pandang ini, penulis beranggapan bahwa Katolik memahami ekonomi—bisa
berupa uang atau hal-hal keduniawian—hanya sebagai “kebutuhan hidupnya saja”
yang bersifat tradisonal. Sementara Protestan memandang ekonomi sebagai ajaran
atau petuntuk dari agamanya. Sehingga Protestan berusaha melakukan reformasi
dalam diri gereja dengan doktrinnya rasionalisme ekonomi.
Ketakutan Katolik bersentuhan dengan keduniawian—katakanlah
kapitalisme—menjadikan mereka tidak berkembang dalam perekonomiannya. Mereka
hanya fokus terhadap tradisi-tradisi keagamaannya yang dipandang suci. Hal ini
memang benar, jika seseorang memasuki kapitalisme kemudian dia mencapai
kesuksesan, dia akan lupa pada ajaran agamanya sendiri. Walaupun dalam
Protestan ada ajaran yang bersifat pada Kapitalisme, namun cukup banyak juga
dari mereka yang akhirnya khianat terhadap agamanya. Pada akhirnya agama hanya
dijadikan sebagai pencapaian kehendak dan hasrat yang mereka inginkan (dalam
wilayah kapitalisme).
Orang-orang yang dipenuhi dengan semangat kapitalisme saat ini
cendrung untuk tak peduli—untuk tidak mengatakan bermusuhan—dengan gereja.
Penukiran mengenai kebosanan kesalehan terhadap surga hanya mempunyai daya
tarik sedikit dari sifat aktif mereka; bagi mereka agama tampak hanya sebagai
alat untuk menarik mereka keluar dari kerja di dunia ini (Weber, 2006: 49).
Hal ini membuktikan bahwa dalam konteks ini agama hanya dipandang
sebagai alat untuk mencapai keberhasilan kapitalisme. Namun yang demikian hanya
dilakukan oleh seorang oknum. Sementara ajaran yang selaras dengan materialisme
semisal Protestan, tetap dalam ajarannya terdapat spirit kapitalisme yang
berorientasi pada hal-hal yang bersangkut paut dengan hasil akhir di akhirat.
Maka dari itu kaum Protestan meyakini bahwa pengerupan uang sebanyak-banyaknya
akan berbuah pahala. Secara sederhana keberhasilan kapitalisme berdampak pada
tempatnya surga, karena dia telah menjalankan ajaran agamanya. Inilah yang
menjadi pembeda dengan doktrin yang disebarkan oleh kaum Katolik. Mereka
beranggapan bahwa pengerupan uang sebanyak-banyaknya sama saja dengan riba atau
sesuatu hal yang tidak diperbolehkan.
Ajaran Protestan tersebut ditemukan juga dalam konsepsi Martin
Luther. Luther berpandangan bahwa kerja adalah kewajiban dan tidak boleh
ditinggalkan oleh manusia. Karena kerja sendiri adalah perintah dari Tuhan. Hal
tersebut menjadi penguat dan direduksi oleh Protestan, yang pada akhir-akhirnya
Protestan memiliki semangat tersendiri dalam menghidupkan kapitalisme.
Kosepsi
Luther yang Bertentangan dengan Katolik
Luther adalah seorang agamawan dari Kristiani, awalnya dia aktif
menjadi pendeta di sebuah gereja Katolik. Setelah lama dia membaca kitab-kitab
yang ada di gereja, dia mulai memiliki pandangan yang berbeda mengenai ajaran
Kristen. Menurutnya sistem kegerejaan yang saat ini dijalankan tidak sesuai
dengan ajaran yang terdapat dalam kitab-kitab Kristiani. Dia berpendapat bahwa
gereja memanfaatkan keadaan untuk dirinya sendiri. Walaupun saat itu doktrin
Katolik memandang bahwa pengerupan uang secara banyak adalah riba dan suatu hal
yang dilarang. Namun di sisi lain Luther juga mempunyai anggapan bahwa gereja
menjalankan praktik tersebut, dengan menetapkan pembayaran uang denda bagi yang
melanggar aturan —disebut juga uang denda untuk penghapusan dosa—ke pihak
gereja. Penjalanan aturan tersebut menurut Luther tidak sesuai baik dengan doktrin
dari pihak Katolik sendiri ataupun kitab-kitab Kristiani yang tidak melarang
seseorang untuk usaha dan kerja. Dalam artian pengenut Kristen sah-sah saja
apabila dia menjadi seorang pengusaha kemudian meraup uang sebanyak-banyaknya.
Bagi Luther, Kristen justru harus memanfaatkan keduniawian untuk
mencapai hasil yang baik di akhirat nanti. Bukan menjadi ketakutan kalau cinta
terhadap dunia akan menghilangkan nilai serta tradisi-tradisi agama. Justru
baginya nilai keagamaan itu sendiri didapatkan dari proses, dan proses tersebut
tidak bisa dipisahkan dari hal-hal yang bersifat duniawi. Secara garis besar,
Luther berusaha membantah faham Katolik dengan mengemukakan bahwa “spirit
terhadap duniawi” akan berujung pada nilai keagamaan itu sendiri. Dia
beranggapan kalaulah ajaran Katolik benar, maka bagaimana mungkin Tuhan
menyengsarakan umatnya di dunia? Tanda kesensaraan itu sendiri adalah sebuah
kesalahan dari pemahaman agama. Sebab kalaulah Tuhan sayang terhadap umatnya,
maka Dia akan memberikan yang terbaik selama kita hidup di dunia ini.
Luther mengemukakan pemikiran yang menarik mengenai aktifitas
manusia di dunia. Baginya manusia itu bersifat daging (jasmani). Dalam
artian dia memandang bahwa pemenuhan iman terhadap Tuhan tidak lepas dari
kebutuhan manusia yang paling mendasar, penulis membahasakannya sebagai
“kebutuhan untuk hidup”. Sebagaimana Weber menuliskan dalam bukunya.
Luther memandang suatu aktifitas di
dunia sebagai sesuatu yang bersifat “daging” (jasmani), walaupun hal itu
dikehendaki oleh Tuhan. Hal ini merupakan kondisi alami yang sangat diperlukan
dalam kehidupan iman, akan tetapi di dalamnya, seperti makan dan minum, secara
moral bersifat netral (Weber, 2006: 63).
Di sisi lain dia juga berpendapat bahwa kerja adalah suatu
panggilan dari Tuhan sebagai ungkapan yang keluar dari cinta persaudaraan.
Kerja mempunyai manfaat yang sama dalam pandangan Tuhan. Oleh karena itu Luther
menekankan pentingnya bekerja (bertentangan dengan doktrin Katolik), sebab hal
itu adalah langsung perintah dari Tuhan dan sebagai aktifitas pemenuhan
kehidupan manusia.
Tidak hanya itu, dia juga membawa ranah penafsiran kitab-kitab
Kristiani yang berbeda dengan ajaran dari Katolik. Misalnya saja dia
menafsirkan perkataan Yesus mengenai “berikan kami rezeki hari ini” sebagai
kehendak untuk memperhatikan hal-hal yang bersifat duniawi. Dalam artian yang lain Luther berpandangan
bahwa Tuhan telah menakdirkan manusia bekerja seperti sediakala.
Karena setiap manusia mengharapkan
kehadiran Tuhan, maka tidak ada yang bisa dikerjakan kecuali tetap berada pada
kedudukannya dan pada pekerjaan duniawinya, tempat di mana panggilan Tuhan
menakdirkan manusia dan untuk bekerja seperti sediakala. Dan karenanya manusia
tidak akan membebani sesamanya sebagai suatu objek dari amal atau sedekahnya,
dan hal itu hanya berlangsung sebentar (Weber, 2006: 67).
Hal ini menggambarkan bahwa Luther menawarkan pemikiran yang
berbeda dengan Katolik. Terutama dalam masalah keduniawian, yang dilihat oleh
Weber sebagai spirit kapitalisme tertentu berbasis orientasi nilai-nilai
keagamaan.
Dasar-dasar
Keagamaan dari Askese Duniawi
Max Weber memasukan empat pembahasan ke dalam bab ini. Setidaknya
menurut dia ada empat keagamaan yang bersangkut-paut dengan masalah ini, di
antaranya; Calvinisme, Pietisme, Metodisme, dan Sekte-sekte Baptis. Penulis
tidak akan membahas penjang lebar mengenai keempat aliran tersebut. Namun
penulis akan berusaha mengambil benang merah yang bersangkutan dengan askese
duniawi atau bisa juga disebut sebagai spirit kapitalisme yang berhubungan
dengan dasar-dasar keagamaan.
Kedatangan Calvinisme ditolak oleh penganut Katolik, karena sama
halnya dengan Protestan, ajaran dari faham ini seolah-olah dianggap oleh
Katolik sebagai pemisahan diri terhadap agama. Bagi Calvinis Tuhan itu tidak
hidup atau ada bagi manusia, tetapi manusialah yang ada demi Tuhan. Menurut
pemahamannya, Tuhan menjadi bahagia bukan atas kehendak diri-Nya sendiri. Tetapi
karena tindak-tanduk yang dilakukan oleh manusia di dunia. Dalam teksnya
disebutkan untuk melewatkannya dan untuk menakdirkan untuk menolak dan untuk
menjadi benci karena dosa-dosa mereka, untuk memuji keadilan Tuhan yang mulia (Weber,
2006: 88). Erat kaitannya, maka untuk mencapai semua hal itu, Calvinisme tidak
memandang kehidupan dunia sebagai kehidupan yang negatif. Justru sebaliknya,
bahwa kehidupan dunia itu bisa mengantarkannya pada nilai-nilai faham keagamaan
yang mereka anut.
Selain pengikut Martin Luther yang berusaha merubah doktrin gereja
saat itu, mucul Pietisme juga yang membawa serta menggiring orang-orang untuk
tidak percaya kepada para teolog gereja. Pemikiran-pemikiran yang dikemukakan
oleh kaum Pietisme sebenarnya hampir sama dengan ajaran Calvinisme, yakni
mereka meyakiniberada di dalam rahmat Tuhan yang khusus. Bagi Pietistik
menikmati berkomunitas dengan Tuhan sama halnya dengan menjalankan kehidupan di
dunia. Dalam Pietisme orientasi kebutuhan keagamaan untuk memberikan kepuasan
emosional tidak dapat mengembangkan dorongan untuk merasionalisasi aktivitas
duniawi.
Sedangkan kombinasi antara jenis keagamaan yang emosional tetapi
menolak dasar-dassar doogmatis dari askese Calvinis juga merupakan pola ajaran
dari gerakan Anglo-Amerika yang identik dengan Pietisme, namun mereka sering
disebut sebagai Metodisme. Karena tindakan emosional yang dicapai tidak
mengikuti suatu kenikmatan yang suci dari berkomunitas dengan Tuhan seperti
halnya Pietisme, maka emosional tersebut di arahkan pada suatu usaha rasional
demi kesempurnaan. Oleh karena itu mereka tidak menuntun perasaan pada agama,
tapi justru merasionalisasikannya.
Pada akhirnya aliran-aliran tersebut memiliki kesamaan, yaitu
mempunyai dasar-dasar keagamaan dari askese duniawi. Ketika menjalankjan apa
yang mereka yakini, sebenarnya ada semangat tertentu yang berhubungan
keduniawian. Bukan berarti mereka adalah orang-orang sekuler, justru mereka
melakukan hal demikian demi mencapai puncak spritualnya.
[1] Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Jur. Sosiologi/II/F, NIM.
1148030247.
[2]Calvinisme adalah suatu ajaran yang menyetujui keselarasan antara
keduniawian dan hal-hal yang bersifat dasar-dasar keagamaan. Maka dari itu
Weber memasukan Calvinisme ini ke dalam bab V yang membahas mengenai
“dasar-dasar keagamaan dari eskese duniawi”. Dalam bab ini Weber memasukan
Calvinisme, Pietisme, Metodisme, dan Sekte-sekte Baptis sebagai suatu ajaran
keagamaan dari askese duniawi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar