Senin, 14 Desember 2015

Book Review tentang “Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme”

sumber gambar: pustakapelajar.co.id



Oleh: Yuris Fahman Zaidan[1]

Sederhana awalnya mengapa Max Weber membuat buku yang berjudul Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme. Hal ini dimulai ketika dia mengamati bahwa yang mendominasi dalam perekonomian adalah kaum Protestan. Padahal saat itu orang-orang Katolik lebih banyak dari penganut Protestan. Hal tersebut digambarkan langsung oleh Weber dalam halaman-halaman pertama dari bukunya:
Kenyataan menunjukan bahwa para pemimpin bisnis dan pemilik modal, maupun para pekerja perusahaan yang berkeahlian tinggi, staf ahli yang terdidik, baik secara teknis maupun bisnis, ternyata adalah penganut Protestan (Weber, 2006: 3).


Hal ini memberikan gambaran bahwa ada suatu hal yang berbeda antara kaum Katolik dan Protestan. Lebih lanjut Weber mengungkapkan bahwa ada afiliasi atau hubungan agama dengan kapitalisme, sebab pada puncak ekspansinya hal itu bisa mengubah distribusi sosial penduduk sesuai dengan kebutuhan mereka dan memberikan kebebasan bagi mereka untuk memilik struktur pekerjaannya. Dalam Protestan terdapat bentuk partisipasi relatif yang lebih besar, dan membentuk suatu kepemilikan modal, menejemen, atau dalam tingkat pekerjaan karyawan yang lebih tinggi pada industri-industri modern yang lebih tinggi.
Weber memandang bahwa aliansi agama bukanlah sebagai sebab dari kondisi-kondisi perekonomian, namun dia mengungkapkan hal tersebut hanyalah sebagai akibat dari kondisi-kondisi itu. Hal ini bisa dilihat dari sejarah kemunculan Protestan. Ketika Protestantisme muncul pada abad ke 16, maka orang-orang yang telah memeluk Protestan bangkit untuk membangun perokonomian yang lebih baik. Tapi uniknya wilayah yang memiliki perkembangan ekonomi yang paling pesat karena kedatangan Protestan, pada saat itu diiringi oleh revolusi di dalam gereja. Pertanyaannya bagaimana mungkin revolusi itu terjadi, setelah masyarakat memilih untuk lebih baik dalam tingkat perekonomiaannya? Weber menjawabnya dengan sederhana, di mana faktor tradisionalisme ekonomilah yang sangat kuat untuk meruntuhkan doktrin agama Kristen yang saat itu diambil alih sepenuhnya oleh Katolik. Hal ini dicatatkan langsung oleh Weber dalam bukunya:

Pembebasan dari tradisionalisme ekonomi secara pasti tampak menjadi faktor yang sangat memperkuat kecendrungan untuk meragukan kesucian tradisi-tradisi agama, seperti juga seluruh otoritas-otoritas tradisional. Tetapi,penting untuk dicatat di sini, apa yang telah sering dilupakan, yaitu bahwa reformasi tidaklah langsung berarti penghapusan kontrol gereja terhadap kehidupan manusia sehari-hari. Reformasi berarti penggantian suatu bentuk kontrol lama dengan suatu sistem baru dan lebih baik (Weber, 2006: 5).

Hal ini menjadi sebuah tanda bahwa sistem yang terdapat sebelumnya sangat lemah. Ada beberapa aturan yang saat itu diterapkan oleh Katolik, di antaranya menghukum dan mengampuni yang berdosa, dan syarat serta tatacara aturan tersebut di jalankan oleh gereja Katolik. Menjadi sebuah masalah tersendiri ketika semua golongan diwajibkan membayar penebusan dosa kepada pihak gereja—tidak memandang miskin atau kaya—yang penting pembayaran itu harus dilaksanakan oleh kaum Katolik.
Sebelum Protestan datang, dahulu ada pembatasan ekonomi yang disebut dengan tradisionalisme ekonomi. Di mana agama yang saat itu berkembang (Katolik) mengusai perekonomian di sekitarnya. Masyarakat pada waktu itu sangat patuh terhadap aturan yang dikeluarkan oleh gereja, termasuk pengaturan ekonomi dari setiap individu atau keluarga. Orang yang melanggar aturan gereja saat itu, maka dia dianggap seorang yang sesat.
Namun seperti yang penulis tulis sebelumnya, tradisionalisme ekonomi seiring waktu memudar setelah kedatangan kaum Protestan pada abad 16. Protestan memiliki tendensi khusus dalam perekonomian. Kalau yang dibangun oleh Katolik sebelumnya dinamakan dengan tradisonalisme ekonomi, maka Protestan membangun sistem perekonomian baru yang dinamakan dengan rasionalisme ekonomi. Dengan sistem perekonomiannya, Protestan berusaha membebaskan orang-orang dari tradisionalisme ekonomi. Sehingga muncullah anggapan bahwa Protestan berusaha menjauhkan manusia dari tradisi-tradisi agama dan meragukan otoritas-otoritas tradisional saat itu.
Alih-alih Protestan dianggap sebagai kaum yang anti terhadap agama, namun di sisi lain mereka justru memiliki semangat untuk membangun perekonomian yang lebih baik dari sebelumnya dengan dasar agama. Hal ini begitu berkembang pesat di Eropa saat itu, di tambah lagi pengaruh dari ajaran Calvinisme yang dijalankan pada abad ke 16 dan 17 di Belanda, Selandia Baru, dan Inggris.[2]
Setelah tadi diketahui bahwa Protestan dituduh sebagai kaum yang merusak tatanan agama yang suci akibat rasionalisme ekonominya. Namun Weber memiliki anggapan lain, pembangunan rasionalisme ekonomi yang dijalankan oleh mereka atas dalih ajaran yang mereka anut. Bukan karena ingin memisahkan ajaran agama dari kehidupan manusia.Tetapi Katolik memandang hal demikian sebagai penyesatan, sehingga muncullah konflik. Konflik itu diakibatkan karena pandangan mereka yang berbeda mengenai materialisme. Katolik memandang bahwa materialisme adalah hasil dari sekularisasi. Dalam artian materialisme bisa menyeret manusia kepada hal-hal yang membawa ke arah kehidupan yang tidak didasarkan pada ajaran agama. Atau bisa juga sebagai pengambilalihan bangunan serta barang milik yayasan keagamaan untuk dijadikan milik negara dan digunakan untuk keperluan lain.
Sedangkan berbeda dengan Protestan, mereka memandang materialisme sebagai petunjuk dari agama yang mereka yakini. Maka dari itu walaupun dari kalangan pendeta di Protestannya, banyak dari mereka yang sukses dalam membangun perekonomiannya. Hal ini menunjukan bahwa pandangan mengenai materialisme yang digagas oleh Protestan sangat bertolak belakang dengan ajaran Katolik saat itu. Penulis rasa, inilah yang menjadi perbedaan paling mendasar dari sitem perekonomian antara Katolik dan Protestan walaupun Weber tidak menyebutkan secara terang-terangan apa saja yang menjadi perbedaan di antara keduanya.
Kapitalisme dalam Pandangan Protestan
Diakui atau tidak ekonomi kapitalistik adalah kosmos raksasa tempat di mana manusia dilahirkan. Ketika manusia menolaknya maka dia terlempar tanpa memiliki pekerjaan. Kita selalu didorong pada sebuah tatanan perekonomian yang bernama “kapitalisme”. Hal itu sulit untuk dihindarkan, sebab di sisi lain manusia juga membutuhkan hal demikian.
Ada dua faktor menurut Sombart bagaimana kapitalisme bisa muncul. Pertama, karena kepuasan akan pemenuhan kebutuhan. Kedua, karena perolehan keuntungan sebagai dua prinsip paling utama dalam sejarah perekonomian.
Dalam kasus yang pertama tadi, hasil karya barang-barang perlu untuk memenuhi kebutuhan personal. Sedang dalam kasus yang kedua, suatu perjuangan untuk memeroleh keuntungan yang bebas dari batasan-batasan yang ditentukan oleh kebutuhan-kebutuhan telah menjadi tujuan yang mengontrol bentuk dan arah dari kegiatan ekonomi (Weber, 2006: 41).
Weber menghubungkan apa yang disebut dengan kebutuhan-kebutuhan ekonomi pada kasus pertama identik dengan tradisionalisme ekonomi. Sebab seperti yang penulis ungkapkan sebelumnya, dalam kaum Katolik perekonomian itu hanya dipandang sebagai pemenuhan atas “kebutuhan-kebutuhan saja”. Hal itu dilakukan karena mereka takut tergiur oleh keduniawian sehingga melupakan ajaran agamanya. Sedangkan berbeda dengan Protestan yang dipandang sebagai ajaran bercirikan ekonomi yang bersifat serakah. Maka kalaulah dilihat dari sudut pandang ini, penulis beranggapan bahwa Katolik memahami ekonomi—bisa berupa uang atau hal-hal keduniawian—hanya sebagai “kebutuhan hidupnya saja” yang bersifat tradisonal. Sementara Protestan memandang ekonomi sebagai ajaran atau petuntuk dari agamanya. Sehingga Protestan berusaha melakukan reformasi dalam diri gereja dengan doktrinnya rasionalisme ekonomi.
Ketakutan Katolik bersentuhan dengan keduniawian—katakanlah kapitalisme—menjadikan mereka tidak berkembang dalam perekonomiannya. Mereka hanya fokus terhadap tradisi-tradisi keagamaannya yang dipandang suci. Hal ini memang benar, jika seseorang memasuki kapitalisme kemudian dia mencapai kesuksesan, dia akan lupa pada ajaran agamanya sendiri. Walaupun dalam Protestan ada ajaran yang bersifat pada Kapitalisme, namun cukup banyak juga dari mereka yang akhirnya khianat terhadap agamanya. Pada akhirnya agama hanya dijadikan sebagai pencapaian kehendak dan hasrat yang mereka inginkan (dalam wilayah kapitalisme).
Orang-orang yang dipenuhi dengan semangat kapitalisme saat ini cendrung untuk tak peduli—untuk tidak mengatakan bermusuhan—dengan gereja. Penukiran mengenai kebosanan kesalehan terhadap surga hanya mempunyai daya tarik sedikit dari sifat aktif mereka; bagi mereka agama tampak hanya sebagai alat untuk menarik mereka keluar dari kerja di dunia ini (Weber, 2006: 49).
Hal ini membuktikan bahwa dalam konteks ini agama hanya dipandang sebagai alat untuk mencapai keberhasilan kapitalisme. Namun yang demikian hanya dilakukan oleh seorang oknum. Sementara ajaran yang selaras dengan materialisme semisal Protestan, tetap dalam ajarannya terdapat spirit kapitalisme yang berorientasi pada hal-hal yang bersangkut paut dengan hasil akhir di akhirat. Maka dari itu kaum Protestan meyakini bahwa pengerupan uang sebanyak-banyaknya akan berbuah pahala. Secara sederhana keberhasilan kapitalisme berdampak pada tempatnya surga, karena dia telah menjalankan ajaran agamanya. Inilah yang menjadi pembeda dengan doktrin yang disebarkan oleh kaum Katolik. Mereka beranggapan bahwa pengerupan uang sebanyak-banyaknya sama saja dengan riba atau sesuatu hal yang tidak diperbolehkan.
Ajaran Protestan tersebut ditemukan juga dalam konsepsi Martin Luther. Luther berpandangan bahwa kerja adalah kewajiban dan tidak boleh ditinggalkan oleh manusia. Karena kerja sendiri adalah perintah dari Tuhan. Hal tersebut menjadi penguat dan direduksi oleh Protestan, yang pada akhir-akhirnya Protestan memiliki semangat tersendiri dalam menghidupkan kapitalisme.
Kosepsi Luther yang Bertentangan dengan Katolik
Luther adalah seorang agamawan dari Kristiani, awalnya dia aktif menjadi pendeta di sebuah gereja Katolik. Setelah lama dia membaca kitab-kitab yang ada di gereja, dia mulai memiliki pandangan yang berbeda mengenai ajaran Kristen. Menurutnya sistem kegerejaan yang saat ini dijalankan tidak sesuai dengan ajaran yang terdapat dalam kitab-kitab Kristiani. Dia berpendapat bahwa gereja memanfaatkan keadaan untuk dirinya sendiri. Walaupun saat itu doktrin Katolik memandang bahwa pengerupan uang secara banyak adalah riba dan suatu hal yang dilarang. Namun di sisi lain Luther juga mempunyai anggapan bahwa gereja menjalankan praktik tersebut, dengan menetapkan pembayaran uang denda bagi yang melanggar aturan —disebut juga uang denda untuk penghapusan dosa—ke pihak gereja. Penjalanan aturan tersebut menurut Luther tidak sesuai baik dengan doktrin dari pihak Katolik sendiri ataupun kitab-kitab Kristiani yang tidak melarang seseorang untuk usaha dan kerja. Dalam artian pengenut Kristen sah-sah saja apabila dia menjadi seorang pengusaha kemudian meraup uang sebanyak-banyaknya.
Bagi Luther, Kristen justru harus memanfaatkan keduniawian untuk mencapai hasil yang baik di akhirat nanti. Bukan menjadi ketakutan kalau cinta terhadap dunia akan menghilangkan nilai serta tradisi-tradisi agama. Justru baginya nilai keagamaan itu sendiri didapatkan dari proses, dan proses tersebut tidak bisa dipisahkan dari hal-hal yang bersifat duniawi. Secara garis besar, Luther berusaha membantah faham Katolik dengan mengemukakan bahwa “spirit terhadap duniawi” akan berujung pada nilai keagamaan itu sendiri. Dia beranggapan kalaulah ajaran Katolik benar, maka bagaimana mungkin Tuhan menyengsarakan umatnya di dunia? Tanda kesensaraan itu sendiri adalah sebuah kesalahan dari pemahaman agama. Sebab kalaulah Tuhan sayang terhadap umatnya, maka Dia akan memberikan yang terbaik selama kita hidup di dunia ini.
Luther mengemukakan pemikiran yang menarik mengenai aktifitas manusia di dunia. Baginya manusia itu bersifat daging (jasmani). Dalam artian dia memandang bahwa pemenuhan iman terhadap Tuhan tidak lepas dari kebutuhan manusia yang paling mendasar, penulis membahasakannya sebagai “kebutuhan untuk hidup”. Sebagaimana Weber menuliskan dalam bukunya.
Luther memandang suatu aktifitas di dunia sebagai sesuatu yang bersifat “daging” (jasmani), walaupun hal itu dikehendaki oleh Tuhan. Hal ini merupakan kondisi alami yang sangat diperlukan dalam kehidupan iman, akan tetapi di dalamnya, seperti makan dan minum, secara moral bersifat netral (Weber, 2006: 63).
Di sisi lain dia juga berpendapat bahwa kerja adalah suatu panggilan dari Tuhan sebagai ungkapan yang keluar dari cinta persaudaraan. Kerja mempunyai manfaat yang sama dalam pandangan Tuhan. Oleh karena itu Luther menekankan pentingnya bekerja (bertentangan dengan doktrin Katolik), sebab hal itu adalah langsung perintah dari Tuhan dan sebagai aktifitas pemenuhan kehidupan manusia.
Tidak hanya itu, dia juga membawa ranah penafsiran kitab-kitab Kristiani yang berbeda dengan ajaran dari Katolik. Misalnya saja dia menafsirkan perkataan Yesus mengenai “berikan kami rezeki hari ini” sebagai kehendak untuk memperhatikan hal-hal yang bersifat duniawi.  Dalam artian yang lain Luther berpandangan bahwa Tuhan telah menakdirkan manusia bekerja seperti sediakala.
Karena setiap manusia mengharapkan kehadiran Tuhan, maka tidak ada yang bisa dikerjakan kecuali tetap berada pada kedudukannya dan pada pekerjaan duniawinya, tempat di mana panggilan Tuhan menakdirkan manusia dan untuk bekerja seperti sediakala. Dan karenanya manusia tidak akan membebani sesamanya sebagai suatu objek dari amal atau sedekahnya, dan hal itu hanya berlangsung sebentar (Weber, 2006: 67).
Hal ini menggambarkan bahwa Luther menawarkan pemikiran yang berbeda dengan Katolik. Terutama dalam masalah keduniawian, yang dilihat oleh Weber sebagai spirit kapitalisme tertentu berbasis orientasi nilai-nilai keagamaan.
Dasar-dasar Keagamaan dari Askese Duniawi
Max Weber memasukan empat pembahasan ke dalam bab ini. Setidaknya menurut dia ada empat keagamaan yang bersangkut-paut dengan masalah ini, di antaranya; Calvinisme, Pietisme, Metodisme, dan Sekte-sekte Baptis. Penulis tidak akan membahas penjang lebar mengenai keempat aliran tersebut. Namun penulis akan berusaha mengambil benang merah yang bersangkutan dengan askese duniawi atau bisa juga disebut sebagai spirit kapitalisme yang berhubungan dengan dasar-dasar keagamaan.
Kedatangan Calvinisme ditolak oleh penganut Katolik, karena sama halnya dengan Protestan, ajaran dari faham ini seolah-olah dianggap oleh Katolik sebagai pemisahan diri terhadap agama. Bagi Calvinis Tuhan itu tidak hidup atau ada bagi manusia, tetapi manusialah yang ada demi Tuhan. Menurut pemahamannya, Tuhan menjadi bahagia bukan atas kehendak diri-Nya sendiri. Tetapi karena tindak-tanduk yang dilakukan oleh manusia di dunia. Dalam teksnya disebutkan untuk melewatkannya dan untuk menakdirkan untuk menolak dan untuk menjadi benci karena dosa-dosa mereka, untuk memuji keadilan Tuhan yang mulia (Weber, 2006: 88). Erat kaitannya, maka untuk mencapai semua hal itu, Calvinisme tidak memandang kehidupan dunia sebagai kehidupan yang negatif. Justru sebaliknya, bahwa kehidupan dunia itu bisa mengantarkannya pada nilai-nilai faham keagamaan yang mereka anut.
Selain pengikut Martin Luther yang berusaha merubah doktrin gereja saat itu, mucul Pietisme juga yang membawa serta menggiring orang-orang untuk tidak percaya kepada para teolog gereja. Pemikiran-pemikiran yang dikemukakan oleh kaum Pietisme sebenarnya hampir sama dengan ajaran Calvinisme, yakni mereka meyakiniberada di dalam rahmat Tuhan yang khusus. Bagi Pietistik menikmati berkomunitas dengan Tuhan sama halnya dengan menjalankan kehidupan di dunia. Dalam Pietisme orientasi kebutuhan keagamaan untuk memberikan kepuasan emosional tidak dapat mengembangkan dorongan untuk merasionalisasi aktivitas duniawi.
Sedangkan kombinasi antara jenis keagamaan yang emosional tetapi menolak dasar-dassar doogmatis dari askese Calvinis juga merupakan pola ajaran dari gerakan Anglo-Amerika yang identik dengan Pietisme, namun mereka sering disebut sebagai Metodisme. Karena tindakan emosional yang dicapai tidak mengikuti suatu kenikmatan yang suci dari berkomunitas dengan Tuhan seperti halnya Pietisme, maka emosional tersebut di arahkan pada suatu usaha rasional demi kesempurnaan. Oleh karena itu mereka tidak menuntun perasaan pada agama, tapi justru merasionalisasikannya.
Pada akhirnya aliran-aliran tersebut memiliki kesamaan, yaitu mempunyai dasar-dasar keagamaan dari askese duniawi. Ketika menjalankjan apa yang mereka yakini, sebenarnya ada semangat tertentu yang berhubungan keduniawian. Bukan berarti mereka adalah orang-orang sekuler, justru mereka melakukan hal demikian demi mencapai puncak spritualnya.


[1] Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Jur. Sosiologi/II/F, NIM. 1148030247.
[2]Calvinisme adalah suatu ajaran yang menyetujui keselarasan antara keduniawian dan hal-hal yang bersifat dasar-dasar keagamaan. Maka dari itu Weber memasukan Calvinisme ini ke dalam bab V yang membahas mengenai “dasar-dasar keagamaan dari eskese duniawi”. Dalam bab ini Weber memasukan Calvinisme, Pietisme, Metodisme, dan Sekte-sekte Baptis sebagai suatu ajaran keagamaan dari askese duniawi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar