Senin, 14 Desember 2015

Agama dan Marxisme

 sumber gambar: tulisan377.blogspot.com
Ketika saya membuka facebook, yang pertama kali saya lihat di beranda adalah status Yoga ZaraAndritra (A Og). “Cadu resah ditinggal nikah” tulisnya. Memang begitu raheut ditinggal nikah, tapi apa daya, kehendak tidak bisa merubah keadaan sebenarnya. Dalam hal ini, saya turut bersedih. Saya tahu A Og begitu sakit hati, terlihat dari status di BBM atau Facebooknya. Namun seperti kata motivator-motivator kebanyakan, bahwa kita jangan berlarut-larut dalam kesedihan. Mengambil ucapan Bung Fikri, semoga Djisamsoe kretek menjadi peneduh yang berelasi pada rindu. 

Akhir-akhir ini, saya lihat A Og bersemangat membumikan marxisme. Saya menyangka seperti itu, karena status yang dibuat A Og atau artikel-artikel yang dibagikan di facebooknya perihal marxisme melulu. Semangat marxisme ini jangan sampai luntur karena “raheutditinggal nikah”. Kalau sampai pudar karena hal demikian, ah sangat disayangkan. Tapi saya rasa ia tidak begitu, jelaslah dengan tegas dan gagah berani ia menuliskan di-update-an terbarunya “Cadu resah ditinggal nikah!!”.


Supaya tidak berlarut-larut ditelan ‘cinta’. Saya membuat tulisan yang berkenaan dengan marxisme—yang saat ini mungkin digandrungi A Og. Awal inspirasi saya membuat tulisan ini, tiada lain ketika saya membaca status facebook yang dibuat A Og sendiri: “Sejak kapan Marx memusuhi agama? Jawabannya sejak para penentangnya mempropagandakan bahwa marxisme anti agama”.

Pendapat demikian memang berbenturan dengan pendapat umum. Misalnya saja Dawam Rahardjo yang mengemukakan bahwa marxisme itu atheis dan Islam itu religius. Namun, anehnya persinggungan antara marxisme dan agama ini, justru dalam kenyataannya terjadi. Haji Misbach misalnya mengatakan “kawan kita yang mengakui dirinya seorang komunis, akan tetapi mereka masih suka mengeluarkan pikiran-pikiran yang bermaksud akan melenyapkan agama Islam, itulah saya berani mengatakan bahwa mereka bukan komunis yang sejati atau mereka tidak mengerti duduknya komunis; pun orang yang mengaku Islam tapi tidak setuju adanya komunis, saya berani mengatakan bahwa dirinya bukan Islam yang sejati, atau belum mengerti betul-betul tentang duduknya agama Islam”

Haji Misbach, seorang tokoh Islam yang mempunyai anggapan bahwa umat Islam saat itu tidak ada unsur perjuangan. Hal ini terbukti dengan keadaan umat Islam yang tertindas dan dijajah waktu itu. Untuk mengatasi hal demikian, iameminjam teori marxisme, karena dengan itulah Islam mendapatkan suntikan doktrin perjuangan, seperti perjuangan kelas marxis. Tapi uniknya Misbach melegitimasinya dengan ayat-ayat Al-Qur’an. Pada akhirnya ia berhasil mengakomodir pergerakan serta aksi masa buruh.

Tidak berbeda jauh dengan Misbach, Sukarno juga mempunyai pendapat yang sama. Dalam esai-esainya yang dikumpulkan dan dijadikan buku dengan judul Nasionalisme, Islamisme, Marxisme: Pikiran-pikaran Soekarno Muda. Ia berkeyakinan bahwa Islam, nasionalisme, dan marxisme menjadi satu hal yang tidak boleh dipisah-pisahkan.

Alih-alih marxisme itu selalu diidentikan dengan atheis, tapi kenyataannya dalam sejarah, persinggungan antara agama dan marxisme itu ada. Contohnya yang terjadi pada kubu Haji Misbach atau biasanya kita sering menyebutnya Haji Merah.

Berbicara marxisme lebih dalam lagi, kita dihadapkan pada dialektika. Sebenarnya sebelum lebih lanjut membicarakan dialektika, ada dua kubu besar dalam biologi. Pertama, kubu Lenxeus yang beranggapan bahwa satu sama lain itu berbeda. Misalnya, antara monyet dan manusia tidak ada kesamaan sedikit pun. Ketika kita ingin meneliti manusia maka telitilah manusia. Begitu pun sebaliknya, ketika kita ingin meneliti monyet maka telitilah monyet. Dengan kata lain, Lenxeus mewakili kubu logika. Yang selalu berkata bahwa A = A. Tidak mungkin A itu adalah non A.

Kedua, kubu Darwin yang mengungkapkan teori evolusi. Darwin dianggap bersebrangan dengan Lenxeus. Sebab menurutnya, ada hubungan antara beberapa jenis makhluk hidup. Misalnya, kalau kita meneliti manusia, maka telitilah juga hewan-hewan sebelum datangnya manusia. Apakah ada kemiripan atau tidak. Kalau ternyata ada kemiripan maka bisa saja manusia berasal dari hewan itu. Dengan kata lain manusia adalah hasil evolusi secara lambat dan sangat lama dari hewan tersebut. Karena Darwin berargumen seperti demikian, maka jelaslah dalam biologi ia bisa disebut mewakili dialektika. Sebab dalam dialektika A = non A. A tidak melulu harus A. Atau lebih tepatnya semua yang ada itu saling terikat.

Selayang pandang ke Hegel, ia juga turut mengutarakan idenya: Filsafat Dialektis. Hegel beranggapan bahwa sentralitas kontradiksi timbul dalam realitas. Untuk memahami hal-hal yang berkontradiksi tersebut maka Hegel menyarankan kita untuk memahami kenyataan. Ia mengungkapkan bahwa kontradiksi berjalan atau bekerja pada pikiran kita.

Menurut Hegel, semua yang ada itu saling berkaitan, ia menyebutnya sebagai doktrin relasi internal. Kita tidak boleh memisahkan satu objek dengan objek lain dalam memahami sesuatu. Kalau dialih bahasakan ke dalam bahasa saya: “Yuris itu adalah hidung, tangan, ibu, bapak, dll”. Jadi adanya ‘nama’ tiada lain adalah ‘kumpulan dari nama-nama lain’, kumpulan dari nama-nama itu disatukan dan dibuat simpel supaya kita tidak kebingungan. Bayangkan saja kalau nama-nama itu tidak disatukan menjadi “Yuris”, maka anda akan kebingungan menyapa saya ketika bertemu. Masa harus disebutkan satu persatu: apa kabar hidung, apa kabar kaki,apa kabar kepala, apa kabar rambut, dan apa kabar yang lainnya. Maka, ketika memahami kenyataan jangan dipisah-pisah antara satu objek dengan objek lainnya.

Walau pun sentralitas kontradiksi ini diamini oleh Marx, namun Marx berselisih pada penyelesaian kontradiksi tersebut. Hegel hanya menempatkan permasalahan ini dalam ide saja, sementara Marx beranggapan bahwa kontradiksi-kontradiksi itu nyata (ada secara riil) dan harus diperjuangkan dalam dunia sosial. Saya akan berikan contoh, dalam Hegel, ia misalnya berpendapat ‘lapar itu sama dengan kenyang’. Sebab seperti yang telah kita bicarakan sebelumnya, bahwa Hegel menempatkan saling keterikatan antar entitas.

Namun bagi Marx, untuk menyelesaikan hal demikian tidak melulu bekerja dalam pikiran kita. Memang dalam ‘kata lapar’ terdapat ‘kata kenyang’. Tapi tidak begitu saja kelaparan bisa diselesaikan dengan mempertautkan antar nama. Untuk memenuhi kelaparan, Marx menyambungkannya dengan hal-hal yang bersifat material: roti, kue, nasi, dan makanan lainnya. Jadi, bagi Marx pertautan antar nama itu harus diwujudkan secara riil.Kesimpulannya, Hegel mengakui keutamaan pikiran di atas ada, sementara Marx dengan materialismenya mengakui ada di atas pikiran.

Status Ontologi Agama

Friedrich Engels kerabat dekat Marx, mencoba merubah konsep Immanuel Kant tentang Das Ding an Sich. Secara garis besar Kant beranggapan bahwa kita hanya mengetahui penampakan benda saja, sedangkan realitas atau benda pada dirinya tidak dapat diketahui. Ada suatu pertanyaan yang timbul dari kaum materialis perihal konsepsi Kant ini “Kalau kita sudah mengetahui barang dengan panca indra kita, apa lagi yang mesti kita ketahui tentang barang itu?”.

Menurut Engels dari hari kehari Das Ding an Sich telah menjadi Das Ding fur Uns. Benda yang pada dirinya tidak diketahui, telah menjadi ‘benda kita’. Misalnya, perihal air. Menurut Kant, air hanya penampakan dunia fenomena, sedangkan benda pada dirinya tidak dapat diketahui. Namun, bagi Engels, air tersusun dari hidrogen dan oksigen. Bisa dipakai untuk kebutuhan sehari-hari kita. Kalau memang air itu sudah kita ketahui tersusun dari apa, manfaatnya apa, lantas apalagi yang mau didapatkan dari Das Ding an SIch?

Dari konsepsi Engels di atas, setidaknya kita dapat mengetahui bagaimana ia memperlakukan “ada”. Lebih jauh lagi Engels beranggapan fungsi dari filsafat sebagai ancilla scientia. Dengan kata lain, filsafat berfungsi untuk mengklarifikasi konsep dan mempertanyakan pengandaian ilmu-ilmu, bukan merecoki sains dan mengabaikan temuannya. Dari sinilah Marx dan Engels berada dalam posisi Tesis Naturalisme Metodelogis (TNM), di mana mereka meyakini bahwa metode ilmu-ilmu alam merupakan metode ilmu-ilmu sosial-humaniora. Seperti yang saya bilang di atas, fungsi filsafat tiada lain sebagai ancilla scientia.

Dalam bukunya Kapital, Marx menyebutkan, “Titik pijak saya (adalah bahwa) perkembangan formasi ekonomi masyarakat dilihat sebagai suatu proses sejarah alami”. Menurut Martin Suryajaya, ini adalah bukti bahwa Marx menganut Tesis Naturalisme Ontologis (TNO). Yang dimaksud dengan TNO adalah ‘apa yang ada tidak lain daripada, atau bertopang pada, alam semesta fisik.’

Menurut Martin, TNO ini adalah jawaban Engels mengenai ontologi terapan—yang menanyakan ‘apa sajakah yang ada?’. Martin beranggapan, Engels sudah menjawab pertanyaan tersebut, dengan mengatakan bahwa “yang ada” itu adalah ‘apa yang ada tidak lain daripada, atau bertopang pada, alam semesta fisik.’

Walaupun Engels menjawab pertanyaan ontologi terapan dengan TNO-nya, tapi ia tidak mengemukakan atau menjawab secara langsung pertanyaan dari ontologi murni—‘apa definisi/yang dimaksud dengan ada?’. Bagi Martin Suryajaya, jawaban Engels terhadap pertanyaan ontologi murni ini, Engels jawab secara implisit dalam karyanya Anti-Dϋrhing: “gerak adalah modus keberaaan materi”. Karena kalimat Engels itu mengandung daya kausal, kalau boleh saya gambarkan berarti: gerak = modus keberadaan materi, ataupun sebaliknya. Martin menggunakan daya kausal untuk mengandaikan ontologi murni a la Engels, bahwa tidak ada materi tanpa gerak. Dengan demikian maka Martin memperoleh definisi ‘ada’ (DA) Engelsian sebagai berikut:

DA = untuk setiap x, x ada jika dan hanya jika x memiliki sifat K.

Keterangan: x adalah entitas tertetu, sedangkan K adalah daya kausal.

Dari rumusan DA dan TNO setidaknya kita menemukan definisi ada yang terbagi ke dalam tiga bagian. Namun, rumusan dari DA ini harus selaras dengan rumusan ada dari TNO. Dengan kata lain ada = daya kausal mesti menunjukan pada: Pertama, ada = semesta fisik. Kedua, ada = yang bertopang pada semesta fisik. Martin menggunakan konsep pelambangan fisik pada poin pertama, sedangkan pada poin kedua ia menggunakan konsep kebertopangan.

Saya akan mencoba mengira-ngira kenapa Martin memakai dua konsep tersebut: pelembagaan fisik (physical instantiation) dan kebertopangan (supervinience).Pertama, dengan kosep pelembagaan fisik, Martin mencoba menyelaraskan TNO bagian pertama yang berbicara mengenai ada = semesta fisik. Kedua, dengan konsep kebertopangan Martin juga berusaha menyesuaikan dengan TNO yang kedua tentang ada = yang bertopang pada semesta fisik.

Nah, sesudah kita mengetahui maksud Martin memasukan dua konsep itu untuk menyelaraskan DA dan TNO. Selanjutnya mari kita melangkah dan sama-sama merumuskan konsep pertama: pelembagaan fisik. Dalam tulisannya Martin menyebutkan bahwa pelembagaan fisik berarti membicarakan sesuatu ada jika dan hanya jika sesuatu itu menumbuh secara fisik, atau menjadi elemen dunia fisik (dinotasikan df). Karena pelembagaan fisik berbicara perihal ‘fisik’, maka apabila kita kaitkan ke dalam DA yang berbicara mengenai daya kausal, kita akan menemukan persandingan antar keduanya menjadi ‘kausal-fisik’ (Kf). Karena Kf sudah ditemukan, dengan demikian Martin bisa merumuskan definisi “ada” berdasarkan pelembagaan fisik (DAp).

DAp: untuk setiap x, x ada jika dan hanya jika terdapat dunia fisik demikian rupa sehingga x merupakan anggota dunia fisik dan jika x merupakan anggota dunia fisik, maka x memiliki daya kausal-fisik Kf.

Perumusan konsep pertama sudah selesai. Sekarang kita masuk ke dalam konsep kedua: kebertopangan (survinience). Menurut Martin, kebertopangan diartikan sebagai “sebuah hubungan yang dalam literatur filsafat lazimnya dirumuskan sebagai berikut: sifat B bertopang pada sifat A jika dan hanya jika tidak ada perbedaan pada sifat B tanpa ada perbedaan pada sifat A. Konsep ini biasanya digunakan untuk merelasikan sifat-sifat semesta fisik dan sifat-sifat semesta non-fisik. Secara singkat, apabila terdapat fakta tentang mental (M) maka terdapat pula fakta tentang fisik (F). Artinya, jika fakta F memuat kausal-fisik (Kf) dan M memuat kausal-mental (Km). Maka selaras dengan hal itu—citeris paribus— jika ada Kf maka terdapat juga Km. Dengan demikian Martin menemukan definisi “ada” berdasarkan kebertopangan (DAk) sebagai berikut:

DAk: untuk setiap x, x ada jika dan hanya jika tidak mungkin x tidak memiliki sifat M dan x memiliki sifat F dan, cetiris paribus, jika x memiliki sifat M, maka x memiliki Km.

Karena DAp, DAk, selaras dengan DA—karena sama-sama memiliki daya kausal—maka dengan ini kita bisa menyebutkan bahwa semesta mental (keyakinan, ideologi, kebudayaan, dst) bertopang pada semesta fisik. Dengan kata lain, daya kausal semesta fisik mengondisikan daya kausal semesta mental.Terakhir, kita mencapai pada kesimpulan definisi ada yang lengkap (DLA).

DLA: untuk setiap x, x ada jika dan hanya jika x mengandung K, demikian rupa sehingga x ada dan hanya jika terdapat dfdemikian rupa sehingga x anggota df dan jika x anggota df, maka K mengandung Kf atau tidak mungkin bahwa x tidak mengandung M dan x mengandung F dan, citeris paribus, jika x mengandung F, maka x mengandung Kf, maka jika x mengandung M, maka x mengandung Km.

Sesudah kita sama-sama merumuskan DLA—tentunya dengan Martin Suryajaya—sejenak mari kita melepaskan diri dari kepintaran Martin. Martin tidak menyebutkan secara langsung bahwa agama itu masuk kedalam status ontologi Marx atau tidak. Tapi bagi saya sendiri kalau kita lihat dari perumusan DLA yang menyebutkan definisi “ada” yang lengkap, maka didapatkan bahwa ada adalah “apa yang tidak lain dari pada, alam semesta fisik.” Artinya, untuk saat ini saya berkesimpulan, bahwa Marx dan Engels memasukan agama atau keyakinan lainnya sebagai ontologi murni yang terdapat dalam DLA atau pun ontologi terapan yang terdapat dalam TNO.

Walaupun Martin tidak membuat bagan rumusan formalnya dari DA sampai jadi DLA—disusun sesimpel mungkin. Namun, saya akan mecoba menggabungkan hasil formula Martin, mudah-mudahan tidak keliru. Secara sederhana saya membuat kalimat penyusunan dari DA menjadi DLA, sebagai berikut: 

DA mencakup dua bentuk yaitu DAp dan DAk, DAp dan DAk muncul atau akibat diselaraskan dengan TNO: semesta fisik dan yang bertopang pada semesta fisik, akibat itu maka ditemukanlah keselarasan antara DA, DAp, dan DAk. Yang akhirnya menjadi DLA.

Kesimpulan saya: Marx dan Engels, meyakini adanya agama, sebab agama adalah semesta mental yang bertopang pada semesta fisik. Namun Marx, meragukan fungsi agama, dan menuliskan bahwa agama itu hanya untuk orang-orang yang berputus asa saja.

Saran saya: Kuatkan Iman! Kita hanya mengkaji seorang pemikir atau suatu faham saja, bukan berarti harus diikuti sepenuhnya, tanpa memilah atau memilih! Hehe

Sekedaaarrrrrrrrrrrr.................

Wallahu ‘Alam

Daftar bacaan:

Ebenstein, William. (2014). Isme-isme yang Mengguncang Dunia. DIY, Yogyakarta: Narasi.

Indriawati, Tri. (2012). Pergerakan Politik Haji Misbach di Surakarta Tahun 1912-1926. Surakarta: Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Hapsari, Fitriana Heni. (2011). SKIRPSI: Peranan Haji Misbach dalam Gerakan Politik Islam di Surakarta Tahun 1912-1926. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Latif, Busjarie. (2014). Manuskrip Sejarah 45 Tahun PKI [1920-1965]. Bandung: Ultimus.

Malaka, Tan. (2014). Madilog: Materialisme, Dialektika, dan Logika. DKI, Jakarta: Buku Seru. Cet. II.

Mulyanto, Dede (Ed.). (2015). Di Balik Marx: Sosok dan Pemikiran Friedrich Engels. Tangerang: Marjin Kiri. Cet. I.

Ritzer, George. (2014). Teori Sosiologi; dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. Terj. Saut Pasaribu, dkk. DIY, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cet. II.

Noer, Deliar. (1982). Gerakan Modern Islam di Indonesia. DKI, Jakarta: LP3ES.

Shiraishi, Takashi. (1997). Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926. Terj. Hilmar Farid. Bandung: Pustaka Utama Grafiti.

Soekanto, Soerjono. (2011). Mengenal Tujuh Tokoh Sosiologi. DKI, Jakarta: RajaGrafindo Persada. Cet. II.

Soekarno. (2015). Nasionalisme, Islamisme, Marxisme: Pikiran-pikiran Soekarno Muda. Bandung: Sega Arsy.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar