Senin, 28 Desember 2015

Silih Asih: Rekonstruksi Analitis atas Pandangan Zakat dalam Islam[1]

sumber gambar: twitter.com
 
Oleh: Yuris Fahman Zaidan

Banyak sekali yang bisa dibicarakan perihal kebudayaan Sunda. Tidak sedikit orang yang berbicara bahwa Indonesia memiliki banyak kearifan lokal. Hampir setiap daerah memiliki kearifan lokal tersendiri yang khas. Dalam kerarifan lokal itu kita bisa menyaksikan nilai atau norma yang berlaku di suatu daerah. Salah satu daerah yang juga disebut-sebut memiliki budaya yang khas adalah Sunda.
Butuh penelitian yang cukup lama untuk membahas seluk-beluk kebudayaan masyarakat Sunda. Sebab seperti yang telah saya paparkan di muka, Sunda adalah suatu daerah yang memiliki banyak kearifan lokal. Walaupun demikian kenyataannya, saya akan berusaha membahas  salah satu  dari trilogi Sunda—ini bahasa penulis—tentang silih asih, silih asah, dan silih asuh. Masing-masing dari kalimat tersebut memiliki nilai serta arti tersendiri.  Namun, saya akan membatasi peta kajiannya, serta hanya membahas salah satu dari trilogi Sunda: silih asih. Kemudian saya akan mencoba mengaitkannya dengan agama yang paling banyak di anut oleh masyarakat Sunda—Islam—perihal zakat sebagai bentuk dari silih asih orang Sunda.
Silih dalam bahasa Sunda ganti. Misalnya disisilihan berarti digantian (diganti). Silih juga bisa diartikan sebagai pabales-bales, misalnya silihbéré berarti pabalés-balés barangbéré Kamus Umum Basa Sunda, 1980: 477). Sedangkan asih mengandung arti rasa karunya; nyaah ka jelema (mempunyai rasa kasih saying ke sesame manusia) (Danadibrata, 2009: 36). Maka ketika kata silih dihubungkan dengan kata asih, secara sederhana silih asih berarti pabalés-balés kanyaah ka papada jelema (saling.menyayangi sesame manusia).
Ketika silih asih disandingkan dengan Sunda, yang menjadi nilai atau norma dalam masyarakat Sunda itu sendiri adalah ‘orang Sunda harus silih asih’. Banyak istilah-istilah yang menggambarkan bahwa orang Sunda itu silih asih, misalnya saja béréhan yang berarti suka memberi. Silih asih seolah menjadi suatu istilah yang melekat atau identik dengan Sunda.
Ketika kita mengetahui ‘orang Sunda itu silih asih dan/atau harus silih asih’. Maka penggambaran ungkapan silih asih mencakup semua orang-orang yang tinggal di Sunda. Dari sini, kita dapat merumuskan pengandaian “perintah silih asih” yang implisit dalam masyarakat Sunda. Jika entitas tertentu kita analogikan sebagai “x” dan “y”, kemudian “orang Sunda” kita notasikan dengan “S” dan “silih asih” sebagai “SA”, maka kita memperoleh relasi Sunda dan silih asih (disingkat RSS) sebagai berikut:
RSS: untuk setiap x,y, x, y berlaku jika dan hanya jika x adalah orang Sunda dan y adalah silih asih, maka orang Sunda harus silih asih.

Atau dalam rumusan formalnya:

Artinya, “setiap orang Sunda” diharuskan “memiliki sikap silih asih”. Dengan kata lain, orang yang mengaku dirinya bagian dari Sunda, harus memiliki sikap silih asih sebagai legitimasi bahwa dirinya benar-benar orang Sunda.
Sedangkan di Islam sendiri, salah satu bentuk silih asih diperagakan dalam zakat. Hal demikian saya rasa wajar-wajar saja sebab Islam melarang keras orang-orang yang suka menimbun harta dan memiliki sifat bakhil. Sebagaimana tercantum dalam QS. Ali-Imran (3): 180 dan QS. At-Taubah (9): 34-35
Ÿ
“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Ali-Imran [3]: 180


 
(34). Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. (35). Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: "Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, Maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu." (QS. At-Taubah [9]: 34-35)
Dalam Ensiklopedi Tematis Ayat al-Qur’an dan Hadits Jilid 6 (2009: 286), ketiga ayat tersebut dimasukan dalam bahasan “siksa penimbun harta dan bakhil”. Menurut  Ash-Shabuni (t.t.: 246) bahwa dalam QS. Ali-Imran (3): 180, Allah menyampaikan anjuran-Nya berupa menafkahkan jiwa dan berjihad. Dalam ayat ini juga Allah memberi motovasi kepada orang mukmin supaya mengeluarkan harta di jalan-Nya. Sedangkan di sisi lain Allah memberikan adzab atau siksa yang begitu berat kepada orang yang bakhil dengan hartanya. Dengan kata lain, ayat ini berbicara tentang larangan dan/atau sekali-kali janganlah orang bakhil dapat mengumpulkan hartanya, bahkan kebakhilan itu sendiri akan memberi madharat kepada dirinya, agamanya dan dunianya.
Dari sini kita bisa melihat bahwa Islam adalah agama yang melarang sekali kebakhilan (kikir). Ketika Islam melarang keras seseorang berbuat bakhil, maka kebalikannya Islam menyuruh umatnya untuk tidak bakhil: saling menyayangi, mengasihi, atau segala bentuk yang bertolak belakang dengan kebakhilan. Jika orang Islam kita notasikan dengan “OI”, harta dengan “H”, dan bakhil dengan “B”, maka kita memperoleh relasi orang Islam dengan harta (disingkat RIH) sebagai berikut:
RIH: untuk setiap x, x berlaku jika dan hanya jika terdapat harta sedemikian rupa sehingga x merupakan anggota (perintah pada) orang Islam, maka orang Islam harus tidak bakhil.

 Atau dalam rumusan formalnya:

Setelah kita menemukan RSS dan RIH, yang menjadi pertanyaan selanjutnya apakah dalam masyarakat Sunda terdapat orang Islam atau tidak? Pertanyaan ini harus kita jawab, karena kalau tidak ada penganut Islam di Sunda, maka gugurlah pembahasan saya ini. Sebab saya berusaha menemukan relasi antara Sunda dan Islam perihal konsep silih asih yang dikaitkan dengan zakat.
Dalam buku A. Surjadi (2006: 130) jumlah penganut Islam di Sunda pada tahun 2002 sekitar 34.946.322. Angka sebesar itu menggambarkan mayoritas orang Sunda beragama Islam. Dengan demikian kita memperoleh relasi Sunda-Islam (disingkat RSI) sebagai berikut:
RSI: terdapat (ada) x sedemikian rupa sehingga x adalah orang Sunda, maka x adalah Orang Islam
                  Atau dalam rumusan formalnya:
           Dari rumusan di atas, kita mengetahui bahwa terdapat penganut Islam di tatar Sunda. Dengan demikian langkah selanjutnya, yaitu mengungkap bagaimana seharusnya orang Sunda yang beragama Islam mengaplikasikan salah satu bentuk silih asih-nya. Serta meninjau apakah ada atau tidak konsep Islam yang seragam dengan konsep silih asih yang dimiliki oleh orang Sunda.

Zakat dalam Islam
Dalam bahaa Arab, zakat berarti صفوة الشيء, الطهارة, الصدقة (shadaqah/zakat, kesucian/kebersihan, dan pilihan). Jika kita lacak pada akar katanya maka zakat berasal dari kata زكا yang berarti berkembang dan bertambah (Munawwir, 2002: 577).
Sedangkan secara syar’iyyah zakat merupakan satu bagian terbatas dari harta, tanaman, buah-buahan, yang mencapai nisab syar’iyyah[2]. Ada beberapa orang yang berhak menerima zakat, sebagaimana disebutkan dalam QS. At-Taubah (9): 60
 “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”[3]
Ayat di atas benar-benar menunjukan bahwa konsep zakat yang ada di Islam selaras dengan makna dari silih asih yang ada di Sunda. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya silih asih berarti silih pikanyaah (saling menyayangi). Dan saya rasa dalam zakat terdapat konsep silih asih itu. Silih asih untuk berbagi serta membantu orang-orang yang kesulitan secara finansial, misalnya orang-orang miskin.
Perintah berzakat sudah jauh-jauh hari terdapat dalam al-Qur’an, banyak ayat-ayat yang membicarakan tentang zakat, di antara salah satu ayatnya adalah QS. Al-Baqarah (2): 3
“ Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'”
Pada ayat tersebut aatuu (tunaikanlah) adalah bentuk dari fiil amr. Jika melihat pada kaidah amr itu sendiri dikatakan bahwa “asal dari perintah itu wajib kecuali ada dalil yang memalingkannya”. Kita coba identifikasi, apakah hukum zakat wajib atau tidak bagi umat Islam?
Berawal dari salah satu kaidah amr berikut maka “menunaikan zakat” adalah sebuah “kewajiban”, serta tidak ada dalil yang melarang kewajiban zakat itu sendiri. Malahan beberapa ayat dalam Qur’an berbicara ancaman bagi seseorang yang tidak menunaikan zakat. Sebagaimana tercantum dalam QS. Fussilat: 6-7

“(6). Katakanlah: "Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasanya Tuhan kamu adalah Tuhan yang Maha Esa, Maka tetaplah pada jalan yang Lurus menuju kepadanya dan mohonlah ampun kepadanya. dan kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan-Nya, (7). (yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan zakat dan mereka kafir akan adanya (kehidupan) akhirat.”
Dari pemaparan di atas, maka kita menemukan hukum berzakat bagi umat Islam (disingkat HZI) sebagai berikut:
HZI: untuk setiap x,y, x, y berlaku jika dan hanya jika x adalah orang Islam dan y adalah zakat maka orang Islam harus zakat.
Atau dalam rumusan formalnya:
Namun yang menjadi masalah sekarang, apakah setiap umat Islam harus berzakat? Islam memberikan pengecualian, bagi orang yang fakir, miskin—orang yang tidak memiliki harta—, atau segala kemungkinan tidak bisa melaksanakan zakat dengan alas an riil dan darurat, maka Islam mengizinkan seseorang untuk tidak berzakat. Jika orang Islam yang tidak memiliki harta dinotasikan dengan “OITB” dan zakat sebagai “Z”, maka kita memiliki rumusan bagi orang islam yang tidak memiliki harta (disingkat ROITH) sebagai berikut:
ROITH: terdapat (ada) x,y, sedemikian rupa sehingga x adalah Orang Islam Tidak Beruang dan y adalah Zakat maka Orang Islam Tidak Beruang tidak harus Zakat.

Atau dalam rumusan formalnya:


Dengan begitu jelaslah, bahwa hukum asal berzakat bagi orang Islam adalah wajib, namun apabila orang Islam itu sendiri tidak memiliki harta maka Islam mengizinkan untuk tidak berzakat—tentunya dengan alas an yang riil dan keadaan yang darurat.

Relasi Silih Asih dan Zakat
Setelah kita mengetahui orang Sunda harus silih asih sebagi legitimasi bahwa dirinya benar-benar orang Sunda. Maka kita akan mencoba merumuskan bagaimana salah satu bentuk pengaplikasian silih asih bagi orang Sunda-Islam. Untuk menemukan jawabannya, saya akan menggabungkan semua pengandaian logika yang sudah dibuat sebelumnya. Dengan kata lain, kita akan merumuskan salah satu bentuk pengaplikasian orang Sunda-Islam (disingkat PSI) sebagai berikut:
PSI: RSS+RSI+HZI+ROTIH
PSI: untuk setiap x,y, x, y berlaku jika dan hanya jika x adalah orang Sunda dan y adalah silih asih, maka orang Sunda harus silih asih, apabila,  terdapat (ada) x sedemikian rupa sehingga x adalah orang Sunda, maka x adalah Orang Islam, dan, setiap x jika dan hanya jika x adalah Orang Islam dan y adalah Zakat maka Orang Islam harus Zakat, atau, terdapat (ada) x,y, sedemikian rupa sehingga x adalah Orang Islam Tidak Beruang dan y adalah Zakat maka Orang Islam Tidak Beruang tidak harus Zakat.

Kesimpulan dari pemaran di atas ialah karena sebagaian orang Sunda adalah umat Islam, dan ada pola yang sama antara ajaran Islam dengan Sunda—penulis mengambil contoh Silih Asih dan zakat sebagai suatu yang berkolerasi—maka kesimpulannya, setiap orang Sunda yang beragma Islam wajib zakat sebagai bentuk pengaplikasian silih asih-nya orang Sunda.
Kesimpulan inti dari PSI: setiap x,y, x,y berlaku jika dan hanya jika x adalah orang Sunda-Islam dan y adalah zakat, maka orang Sunda-Islam harus berzakat.


                       Atau dalam rumusan formalnya:



Begitulah kiranya pengandaian logika antara silih asih-nya orang Sunda dan konsep zakat yang ada di Islam, dengan demikian kita dapat memetik beberapa poin dari pemaran makalah ini:

1.      Orang Sunda harus memiliki sikap silih asih
2.      Orang Islam dilarang bakhil atau kikir
3.      Salah satu bentuk supaya orang Islam tidak bakhil ialah dengan mewajibkan zakat
4.      Karena di tatar Sunda terdapat juga umat Islam, maka zakat bisa dipandang sebagai bentuk pengaplikasian silih asih-nya orang Sunda yang beragama Islam.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Depag dan terjemahnya.
Ash-Shabuni, Muhammad Ali. (t.t.). Shafwatut Tafaasir 1. Libanon: Darul Fikr Lithaba’ah wa An-Nasyr wa At-Tauzi.
Danadibrata, RA. (2009). Kamus Basa Sunda. Bandung: Kiblat Buku Utama & Universitas Padjajaran.
Mulyanto, Dede (Ed.). (2015). Di Balik Marx: Sosok dan Pemikiran Friedrich Engels. Tangerang: Marjin Kiri.
Munawwir, Ahmad Warson. (2002). Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia. Cet. XXII. Surabaya: Pustaka Progressif.
Panitia Kamus Lembaga Basa & Sastra Sunda. (1980). Kamus Umum Basa Sunda. Bandung: Ternate.
Purcell, Edwin J dan Dale Verberg. (1994). Kalkulus dan Geometri Analitis. Terj. I NyomanSusila, dkk. Cet. IV. DKI, Jakarta: Erlangga.
Soekadijo, RA. (1999). Logika Dasar: Tradisional, Simbolik, dan Induktif. DKI, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Surajadi, A. (2006). Masyarakat Sunda: Budaya dan Problema. Bandung: Alumni.
Yusuf, Ahmad Muhammad. (2009). Ensiklopedi Tematis Ayat al-Qur’an dan Hadits: Panduan Praktis Menemukan Ayat al-Qur’an dan Hadits Jilid 6. Cet.I. DKI, Jakarta: Widya Cahaya.

Sumber digital:
Lidwa Pustaka i-Software: Kitab 9 Imam
Maktabah Syamilah



[1] Ditulis dengan rurusuhan di sela banyaknya tugas perkuliahan
[2] Nisab syar’iyyah maksudnya adalah batasan syari’at menunaikan zakat. Misalnya, nisab unta jika mencapai lima ekor, nisab perak dua ratus dirham: sekitar 595 gram, dan nisab biji-bijian serta kurma lima wasaq dan satu wasaq 60 sha, dengan demikian nisab biji-bijian dan buah-buahan adalah 300 sha: sekitar 50 kg. (Penjelasan ini didapat dari QS. Al-An’aam [6]: 141, HR. Muslim, no. 2835, dan HR. Bukhari & Muslim, no. 2836)
[3] Yang berhak menerima zakat Ialah: 1. orang fakir: orang yang Amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya. 2. orang miskin: orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam Keadaan kekurangan. 3. Pengurus zakat: orang yang diberi tugas untuk mengumpulkan dan membagikan zakat. 4. Muallaf: orang kafir yang ada harapan masuk Islam dan orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah. 5. memerdekakan budak: mencakup juga untuk melepaskan Muslim yang ditawan oleh orang-orang kafir. 6. orang berhutang: orang yang berhutang karena untuk kepentingan yang bukan maksiat dan tidak sanggup membayarnya. Adapun orang yang berhutang untuk memelihara persatuan umat Islam dibayar hutangnya itu dengan zakat, walaupun ia mampu membayarnya. 7. pada jalan Allah (sabilillah): Yaitu untuk keperluan pertahanan Islam dan kaum muslimin. di antara mufasirin ada yang berpendapat bahwa fisabilillah itu mencakup juga kepentingan-kepentingan umum seperti mendirikan sekolah, rumah sakit dan lain-lain. 8. orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan maksiat mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar