Oleh: Yuris
Fahman Zaidan
Banyak sekali yang bisa dibicarakan perihal kebudayaan Sunda. Tidak sedikit orang yang berbicara bahwa Indonesia memiliki banyak kearifan lokal. Hampir setiap daerah memiliki kearifan lokal tersendiri yang khas. Dalam kerarifan lokal itu kita bisa menyaksikan nilai atau norma yang berlaku di suatu daerah. Salah satu daerah yang juga disebut-sebut memiliki budaya yang khas adalah Sunda.
Butuh
penelitian yang cukup lama untuk membahas seluk-beluk kebudayaan masyarakat
Sunda. Sebab seperti yang telah saya paparkan di muka, Sunda adalah suatu
daerah yang memiliki banyak kearifan lokal. Walaupun demikian kenyataannya,
saya akan berusaha membahas salah
satu dari trilogi Sunda—ini bahasa
penulis—tentang silih asih, silih asah, dan silih asuh.
Masing-masing dari kalimat tersebut memiliki nilai serta arti tersendiri. Namun, saya akan membatasi peta kajiannya,
serta hanya membahas salah satu dari trilogi Sunda: silih asih. Kemudian
saya akan mencoba mengaitkannya dengan agama yang paling banyak di anut oleh
masyarakat Sunda—Islam—perihal zakat sebagai bentuk dari silih asih orang
Sunda.
Silih
dalam bahasa Sunda ganti. Misalnya disisilihan berarti digantian
(diganti). Silih juga bisa diartikan sebagai pabales-bales, misalnya
silihbéré berarti pabalés-balés barangbéré Kamus Umum Basa Sunda,
1980: 477). Sedangkan asih mengandung arti rasa karunya; nyaah ka
jelema (mempunyai rasa kasih saying ke sesame manusia) (Danadibrata, 2009:
36). Maka ketika kata silih dihubungkan dengan kata asih, secara
sederhana silih asih berarti pabalés-balés kanyaah ka papada jelema (saling.menyayangi
sesame manusia).
Ketika
silih asih disandingkan dengan Sunda, yang menjadi nilai atau norma
dalam masyarakat Sunda itu sendiri adalah ‘orang Sunda harus silih asih’.
Banyak istilah-istilah yang menggambarkan bahwa orang Sunda itu silih asih,
misalnya saja béréhan yang berarti suka memberi. Silih asih
seolah menjadi suatu istilah yang melekat atau identik dengan Sunda.
Ketika
kita mengetahui ‘orang Sunda itu silih asih dan/atau harus silih
asih’. Maka penggambaran ungkapan silih asih mencakup semua
orang-orang yang tinggal di Sunda. Dari sini, kita dapat merumuskan pengandaian
“perintah silih asih” yang implisit dalam masyarakat Sunda. Jika entitas
tertentu kita analogikan sebagai “x” dan “y”, kemudian “orang Sunda” kita
notasikan dengan “S” dan “silih asih” sebagai “SA”, maka kita memperoleh
relasi Sunda dan silih asih (disingkat RSS) sebagai berikut:
RSS:
untuk setiap x,y, x, y berlaku jika dan hanya jika x adalah orang Sunda dan y
adalah silih asih, maka orang Sunda harus silih asih.
Atau
dalam rumusan formalnya:
Sedangkan
di Islam sendiri, salah satu bentuk silih asih diperagakan dalam zakat.
Hal demikian saya rasa wajar-wajar saja sebab Islam melarang keras orang-orang
yang suka menimbun harta dan memiliki sifat bakhil. Sebagaimana
tercantum dalam QS. Ali-Imran (3): 180 dan QS. At-Taubah (9): 34-35
“Sekali-kali janganlah
orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari
karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. sebenarnya
kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. harta yang mereka bakhilkan itu akan
dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. dan kepunyaan Allah-lah segala
warisan (yang ada) di langit dan di bumi. dan Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (QS. Ali-Imran [3]: 180
(34). Hai orang-orang
yang beriman, Sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan
rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan
mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. dan orang-orang yang
menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka
beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. (35).
Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar
dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada
mereka: "Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, Maka
rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu." (QS.
At-Taubah [9]: 34-35)
Dalam
Ensiklopedi Tematis Ayat al-Qur’an dan Hadits Jilid 6 (2009: 286),
ketiga ayat tersebut dimasukan dalam bahasan “siksa penimbun harta dan bakhil”.
Menurut Ash-Shabuni (t.t.: 246) bahwa
dalam QS. Ali-Imran (3): 180, Allah menyampaikan anjuran-Nya berupa menafkahkan
jiwa dan berjihad. Dalam ayat ini juga Allah memberi motovasi kepada orang
mukmin supaya mengeluarkan harta di jalan-Nya. Sedangkan di sisi lain Allah
memberikan adzab atau siksa yang begitu berat kepada orang yang bakhil dengan
hartanya. Dengan kata lain, ayat ini berbicara tentang larangan dan/atau
sekali-kali janganlah orang bakhil dapat mengumpulkan hartanya, bahkan
kebakhilan itu sendiri akan memberi madharat kepada dirinya, agamanya
dan dunianya.
Dari
sini kita bisa melihat bahwa Islam adalah agama yang melarang sekali kebakhilan
(kikir). Ketika Islam melarang keras seseorang berbuat bakhil, maka
kebalikannya Islam menyuruh umatnya untuk tidak bakhil: saling menyayangi,
mengasihi, atau segala bentuk yang bertolak belakang dengan kebakhilan. Jika
orang Islam kita notasikan dengan “OI”, harta dengan “H”, dan bakhil dengan “B”,
maka kita memperoleh relasi orang Islam dengan harta (disingkat RIH) sebagai
berikut:
RIH:
untuk setiap x, x berlaku jika dan hanya jika terdapat harta sedemikian rupa
sehingga x merupakan anggota (perintah pada) orang Islam, maka orang Islam harus
tidak bakhil.
Atau
dalam rumusan formalnya:
Setelah
kita menemukan RSS dan RIH, yang menjadi pertanyaan selanjutnya apakah dalam
masyarakat Sunda terdapat orang Islam atau tidak? Pertanyaan ini harus kita
jawab, karena kalau tidak ada penganut Islam di Sunda, maka gugurlah pembahasan
saya ini. Sebab saya berusaha menemukan relasi antara Sunda dan Islam perihal
konsep silih asih yang dikaitkan dengan zakat.
Dalam
buku A. Surjadi (2006: 130) jumlah penganut Islam di Sunda pada tahun 2002
sekitar 34.946.322. Angka sebesar itu menggambarkan mayoritas orang Sunda
beragama Islam. Dengan demikian kita memperoleh relasi Sunda-Islam (disingkat
RSI) sebagai berikut:
RSI:
terdapat (ada) x sedemikian rupa sehingga x
adalah orang Sunda, maka x adalah Orang Islam
Atau
dalam rumusan formalnya:
Zakat dalam
Islam
Dalam
bahaa Arab, zakat berarti صفوة
الشيء, الطهارة, الصدقة (shadaqah/zakat, kesucian/kebersihan, dan
pilihan). Jika kita lacak pada akar katanya maka zakat berasal dari kata زكا yang berarti berkembang
dan bertambah (Munawwir, 2002: 577).
Sedangkan
secara syar’iyyah zakat merupakan satu bagian terbatas dari harta,
tanaman, buah-buahan, yang mencapai nisab syar’iyyah[2].
Ada beberapa orang yang berhak menerima zakat, sebagaimana disebutkan dalam QS.
At-Taubah (9): 60
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk
orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf
yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang,
untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu
ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana.”[3]
Ayat
di atas benar-benar menunjukan bahwa konsep zakat yang ada di Islam selaras
dengan makna dari silih asih yang ada di Sunda. Seperti yang telah
dipaparkan sebelumnya silih asih berarti silih pikanyaah (saling
menyayangi). Dan saya rasa dalam zakat terdapat konsep silih asih itu. Silih
asih untuk berbagi serta membantu orang-orang yang kesulitan secara
finansial, misalnya orang-orang miskin.
Perintah
berzakat sudah jauh-jauh hari terdapat dalam al-Qur’an, banyak ayat-ayat yang
membicarakan tentang zakat, di antara salah satu ayatnya adalah QS. Al-Baqarah
(2): 3
“ Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta
orang-orang yang ruku'”
Pada ayat tersebut aatuu (tunaikanlah) adalah bentuk dari fiil
amr. Jika melihat pada kaidah amr itu sendiri dikatakan bahwa “asal
dari perintah itu wajib kecuali ada dalil yang memalingkannya”. Kita coba
identifikasi, apakah hukum zakat wajib atau tidak bagi umat Islam?
Berawal dari salah satu kaidah amr berikut maka “menunaikan
zakat” adalah sebuah “kewajiban”, serta tidak ada dalil yang melarang kewajiban
zakat itu sendiri. Malahan beberapa ayat dalam Qur’an berbicara ancaman bagi
seseorang yang tidak menunaikan zakat. Sebagaimana tercantum dalam QS.
Fussilat: 6-7
“(6). Katakanlah: "Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia
seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasanya Tuhan kamu adalah Tuhan yang Maha
Esa, Maka tetaplah pada jalan yang Lurus menuju kepadanya dan mohonlah ampun
kepadanya. dan kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan-Nya,
(7). (yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan zakat dan mereka kafir akan
adanya (kehidupan) akhirat.”
Dari pemaparan di atas, maka kita menemukan hukum berzakat bagi
umat Islam (disingkat HZI) sebagai berikut:
HZI: untuk setiap x,y, x, y berlaku jika dan hanya jika x adalah
orang Islam dan y adalah zakat maka orang Islam harus zakat.
Atau
dalam rumusan formalnya:
Namun yang menjadi masalah sekarang, apakah setiap umat Islam harus
berzakat? Islam memberikan pengecualian, bagi orang yang fakir, miskin—orang
yang tidak memiliki harta—, atau segala kemungkinan tidak bisa melaksanakan
zakat dengan alas an riil dan darurat, maka Islam mengizinkan seseorang untuk
tidak berzakat. Jika orang Islam yang tidak memiliki harta dinotasikan dengan
“OITB” dan zakat sebagai “Z”, maka kita memiliki rumusan bagi orang islam yang
tidak memiliki harta (disingkat ROITH) sebagai berikut:
ROITH: terdapat (ada) x,y, sedemikian rupa sehingga x adalah Orang Islam
Tidak Beruang dan y adalah Zakat maka Orang Islam Tidak Beruang tidak harus
Zakat.
Atau
dalam rumusan formalnya:
Dengan begitu
jelaslah, bahwa hukum asal berzakat bagi orang Islam adalah wajib, namun
apabila orang Islam itu sendiri tidak memiliki harta maka Islam mengizinkan
untuk tidak berzakat—tentunya dengan alas an yang riil dan keadaan yang
darurat.
Relasi Silih Asih dan Zakat
Setelah
kita mengetahui orang Sunda harus silih asih sebagi legitimasi bahwa
dirinya benar-benar orang Sunda. Maka kita akan mencoba merumuskan bagaimana
salah satu bentuk pengaplikasian silih asih bagi orang Sunda-Islam.
Untuk menemukan jawabannya, saya akan menggabungkan semua pengandaian logika
yang sudah dibuat sebelumnya. Dengan kata lain, kita akan merumuskan salah satu
bentuk pengaplikasian orang Sunda-Islam (disingkat PSI) sebagai berikut:
PSI:
RSS+RSI+HZI+ROTIH
PSI:
untuk setiap x,y, x, y berlaku jika dan hanya jika x adalah orang Sunda dan y
adalah silih asih, maka orang Sunda harus silih asih,
apabila, terdapat (ada) x sedemikian
rupa sehingga x adalah orang Sunda, maka x adalah Orang Islam, dan, setiap x
jika dan hanya jika x adalah Orang Islam dan y adalah Zakat maka
Orang Islam harus Zakat, atau, terdapat (ada) x,y, sedemikian rupa sehingga x
adalah Orang Islam Tidak Beruang dan y adalah Zakat maka Orang Islam Tidak
Beruang tidak harus Zakat.
Kesimpulan
dari pemaran di atas ialah karena sebagaian orang Sunda adalah umat Islam, dan
ada pola yang sama antara ajaran Islam dengan Sunda—penulis mengambil contoh
Silih Asih dan zakat sebagai suatu yang berkolerasi—maka kesimpulannya, setiap
orang Sunda yang beragma Islam wajib zakat sebagai bentuk pengaplikasian silih
asih-nya orang Sunda.
Kesimpulan
inti dari PSI: setiap x,y, x,y berlaku jika dan hanya jika x adalah orang
Sunda-Islam dan y adalah zakat, maka orang Sunda-Islam harus berzakat.
Atau dalam rumusan formalnya:
Begitulah
kiranya pengandaian logika antara silih asih-nya orang Sunda dan konsep
zakat yang ada di Islam, dengan demikian kita dapat memetik beberapa poin dari
pemaran makalah ini:
1.
Orang Sunda
harus memiliki sikap silih asih
2.
Orang Islam
dilarang bakhil atau kikir
3.
Salah satu
bentuk supaya orang Islam tidak bakhil ialah dengan mewajibkan zakat
4.
Karena di tatar
Sunda terdapat juga umat Islam, maka zakat bisa dipandang sebagai bentuk
pengaplikasian silih asih-nya orang Sunda yang beragama Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Depag dan terjemahnya.
Ash-Shabuni, Muhammad Ali. (t.t.). Shafwatut Tafaasir 1.
Libanon: Darul Fikr Lithaba’ah wa An-Nasyr wa At-Tauzi.
Danadibrata, RA. (2009). Kamus Basa Sunda. Bandung: Kiblat
Buku Utama & Universitas Padjajaran.
Mulyanto, Dede (Ed.). (2015). Di Balik Marx: Sosok dan Pemikiran
Friedrich Engels. Tangerang: Marjin Kiri.
Munawwir, Ahmad Warson. (2002). Al-Munawwir: Kamus
Arab-Indonesia. Cet. XXII. Surabaya: Pustaka Progressif.
Panitia Kamus Lembaga Basa & Sastra Sunda. (1980). Kamus
Umum Basa Sunda. Bandung: Ternate.
Purcell, Edwin J dan Dale Verberg. (1994). Kalkulus dan Geometri
Analitis. Terj. I NyomanSusila, dkk. Cet. IV. DKI, Jakarta: Erlangga.
Soekadijo, RA. (1999). Logika Dasar: Tradisional, Simbolik, dan
Induktif. DKI, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Surajadi, A. (2006). Masyarakat Sunda: Budaya dan Problema. Bandung:
Alumni.
Yusuf, Ahmad Muhammad. (2009). Ensiklopedi Tematis Ayat
al-Qur’an dan Hadits: Panduan Praktis Menemukan Ayat al-Qur’an dan Hadits Jilid
6. Cet.I. DKI, Jakarta: Widya Cahaya.
Sumber digital:
Lidwa Pustaka i-Software: Kitab 9 Imam
Maktabah Syamilah
[1] Ditulis dengan rurusuhan di sela
banyaknya tugas perkuliahan
[2] Nisab syar’iyyah maksudnya adalah
batasan syari’at menunaikan zakat. Misalnya, nisab unta jika mencapai
lima ekor, nisab perak dua ratus dirham: sekitar 595 gram, dan nisab
biji-bijian serta kurma lima wasaq dan satu wasaq 60 sha,
dengan demikian nisab biji-bijian dan buah-buahan adalah 300 sha:
sekitar 50 kg. (Penjelasan ini didapat dari QS. Al-An’aam [6]: 141, HR. Muslim,
no. 2835, dan HR. Bukhari & Muslim, no. 2836)
[3] Yang berhak menerima zakat Ialah: 1. orang
fakir: orang yang Amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga
untuk memenuhi penghidupannya. 2. orang miskin: orang yang tidak cukup
penghidupannya dan dalam Keadaan kekurangan. 3. Pengurus zakat: orang yang
diberi tugas untuk mengumpulkan dan membagikan zakat. 4. Muallaf: orang kafir
yang ada harapan masuk Islam dan orang yang baru masuk Islam yang imannya masih
lemah. 5. memerdekakan budak: mencakup juga untuk melepaskan Muslim yang
ditawan oleh orang-orang kafir. 6. orang berhutang: orang yang berhutang karena
untuk kepentingan yang bukan maksiat dan tidak sanggup membayarnya. Adapun
orang yang berhutang untuk memelihara persatuan umat Islam dibayar hutangnya
itu dengan zakat, walaupun ia mampu membayarnya. 7. pada jalan Allah
(sabilillah): Yaitu untuk keperluan pertahanan Islam dan kaum muslimin. di
antara mufasirin ada yang berpendapat bahwa fisabilillah itu mencakup juga
kepentingan-kepentingan umum seperti mendirikan sekolah, rumah sakit dan
lain-lain. 8. orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan maksiat mengalami
kesengsaraan dalam perjalanannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar