Ada yang menarik ketika kita memperbincangkan darimana sumber pengetahuan diperoleh. Sebab dalam hal ini ada dua golongan yang bertolak belakang. Awalnya ketika zaman Renaisansans, munculnya ilmu pengetahuan modern tidak hanya disambut oleh kaum rasionalis tetapi filsuf-filsuf Inggris yang memiliki faham bahwa pengetahuan itu berasal dari empiris mulai memperdebatkannya dengan para penganut rasionalisme seperti halnya Descartes dan yang lainnya.
Rasionalisme beranggapan bahwa
pengetahuan itu hanya diperoleh dari rasio saja, sementara bertolak
belakang dengan kaum empiris yang menyatakan bahwa semua pengetahuan
itu bersumber dari pengalaman (empeiria).
(Hardiman, 2007: 64) Para perintis empirisme modern seperti Hobbes,
Locke, Berkeley dan Hume meyakini serta mengamininya. Seolah menjadi
pertanyaan, bagaimana kaum empiris berani mengatakan bahwa semua
pengetahuan itu a
posteriori dan
menolak pendapat rasionalisme yang a
priori1?
Kita mulai dengan mengetahui buku
sebagai buku. Rasionalisme berbicara bahwa sebenarnya untuk
mengetahui buku, kita tidak harus memiliki pengalaman. Dalam kepala
kita sudah terdapat ide mengenai buku. Ide inilah yang membuat kita
hafal pada apa yang berada di luar kepala. Maka tanpa ide tersebut
tidak akan terbentuk suatu pengetahuan.
Rasanya pendapat kaum rasionalis sedikit banyaknya dipengaruhi oleh ajaran Plato tentang jiwa. Plato mengatakan bahwa sebelum jiwa masuk ke dalam tubuh (penjara), sebenarnya jiwa telah mengetahui semuanya, dan ketika jiwa masuk ke dalam tubuh pengetahuan yang diperoleh seketika hilang, di situlah manusia berusaha mengingat kembali pengetahuan yang didapatkan di alam jiwa dahulu. (Russel, 2007: 147) Seperti halnya mengingat tulisan-tulisan atau coretan-coretan yang ada dalam suatu kertas. Di sisi lain rasionalisme juga menganggap penting adanya pengalaman. Namun, pengalaman hanyalah dipandang sebagai sebuah rangsangan bagi rasio untuk mengingat kembali pengetahuan yang telah didapat.
Rasanya pendapat kaum rasionalis sedikit banyaknya dipengaruhi oleh ajaran Plato tentang jiwa. Plato mengatakan bahwa sebelum jiwa masuk ke dalam tubuh (penjara), sebenarnya jiwa telah mengetahui semuanya, dan ketika jiwa masuk ke dalam tubuh pengetahuan yang diperoleh seketika hilang, di situlah manusia berusaha mengingat kembali pengetahuan yang didapatkan di alam jiwa dahulu. (Russel, 2007: 147) Seperti halnya mengingat tulisan-tulisan atau coretan-coretan yang ada dalam suatu kertas. Di sisi lain rasionalisme juga menganggap penting adanya pengalaman. Namun, pengalaman hanyalah dipandang sebagai sebuah rangsangan bagi rasio untuk mengingat kembali pengetahuan yang telah didapat.
Berbanding terbalik dengan kaum
empiris, mereka membalikan prosesnya. Pengetahuan tentang buku
didapatkan dari pengalaman. Mereka berpendapat bahwa ide buku muncul
di kepala kita, sesudah kita melihat, mendengar dari orang lain
mengenai buku atau merasakan dengan pengindraan lainnya dengan kata
lain pengetahuan seberapa rumitnya pun dapat ditelusuri
jejak-jejaknya sampai nanti kembali kepada pengalaman-pengalaman
indrawi. Sebaliknya, apa yang tidak dapat dilacak bagi Locke itu
bukanlah pengetahuan. (Kattsoff, 2004: 132)
Masih
dalam buku yang sama Louis O. Kattsoff (2004: 132) menyebutkan mereka
juga meyakini bahwa tanpa pengalaman, pengetahuan itu tidak bisa
didapatkan oleh kita. Jhon Locke menggambarkan bahwa manusia itu
tidak ubahnya seperti ‘tabula rasa’, kita menuliskan
coretan-coretan dalam buku catatan yang kosong dan coretan-coretan
tersebut dianalogikan sebagai pengalaman-pengalaman indrawi. Pada
akhirnya, dalam prosesnya berkenalan dengan dunia luar, pengalaman
memberi kesan-kesan dalam pikirannya. Dengan demikian Locke
berpendapat sekaligus menentang ajaran Descartes bahwa pengetahuan
itu bukan bersifat bawaan.
Bahkan
Hobbes lebih mengerikan lagi, dia mengatakan bahwa sebenarnya yang
dimaksud dengan filsafat itu tidak membicarakan mengenai hal-hal yang
sifatnya gaib atau teologis. Sebab awal muncul filsafat itu dari
indra, maka objek-objek kajian filsafat itu sendiri bersifat lahiriah
dengan kata lain yang dapat dialami oleh kita. Atas dasar itulah dia
membagi filsafat dalam empat cabang; geometri, fisika, etika dan
politik. (Hardiman, 2007: 68)
Sejalan
dengan pemikiran Jhon
Locke, menurut Hobbes ada tahapan-tahapan untuk mendapatkan
pengetahuan. Pengalaman adalah tahapan pertama yang tidak bisa
diabaikan. Setelah mengalami, kita ceritakan dalam bentuk bahasa,
sebab dalam bahasa terdapat kata-kata yang bisa melukiskan pikiran
dari apa yang telah dialami. Ujung-ujungnya Hobbes tetap menekankan
pentingnya empeiria,
bahwa setelah kita meyakini atas apa yang telah dibicarakan oleh
orang lain, kita harus melakukan tahapan observasi. Dalam tahapan
ini, kata-kata yang melukiskan pemikirannya harus diuji dengan
pengalaman. (Hardiman, 2007: 69)
Di
sisi lain para rasionalis tetap bertahan pada pendapatnya bahwa ada
idea bawaan seperti halnya idea-idea abstrak; ruang, waktu, bilangan
dan sebagainya. Akan tetapi Locke menyanggahnya, bahwa yang selama
ini mereka pikirkan tentang idea-idea bawaan terjadi akibat proses
pengindraan yang sangat kompleks. Bagi Locke sendiri, dia
mendefinisikan idea sebagai persepsi yang terjadi dalam diri subjek.
Apa yang ditangkap dari dunia luar akan menjadi proses-proses
internal kita seperti berfikir, berkehendak dan merasa. Kemudian
proses internal langsung berdasarkan lahiriah itu akan menimbulkan
idea-idea, seperti idea nikmat, idea sakit dan sebagainya. Jhon Locke
juga tidak menyanggah adanya pengetahuan abstrak, akan tetapi dia
menyanggah pengetahuan yang didapatkan dari a
priori. Kenapa
begitu? Karena Locke memiliki anggapan, bahwa sebenarnya terdapat
idea-idea kompleks/majemuk yaitu sebagai gabungan dari idea-idea
simpleks/tunggal. Proses gabungan idea-idea simpleks menjadi kompleks
dinamakan
oleh Locke
sebagai
proses ‘abstraksi’.
(Hardiman, 2007: 77)
Penggabungan
idea-idea simpleks tersebut akan menimbulkan gagasan dalam beberapa
bentuk; identitas atau perbedaan, hubungan,
koeksistensi atau
berada bersama-sama, dan terakhir dalam bentuk kenyataan. Berbagai
bentuk tersebut selalu dihubungkan dengan yang lain dalam suatu
putusan. (Hadiwijono, 1980: 37)
Kita
coba saja buat contoh bahwa pengetahuan abstrak menurut Locke itu
bisa terjadi atau terkadang sering kita jumpai dari berbagai gabungan
yang partikular. Kalau dianalogikan, kita dapat mengetahui anggota
DPR dengan berbagai pengetahuan. Kata si A, berpendapat bahwa anggota
DPR itu adalah koruptor yang tidak memedulikan rakyatnya. Kata si B,
bahwa anggota DPR itu adalah orang-orang yang mulia. Sedangkan
menurut si C, anggota DPR itu biasa-biasa saja. Dalam hal ini
dimungkinkan pengetahuan yang abstrak, sebab munculnya kesimpulan
(apa yang dimaksud dengan anggota DPR?) adalah hasil penggabungan
dari hal-hal yang partikular. Dalam artian menurut pandangan Locke
bahwa yang abstrak itu pada dasarnya dari pengindraan. Maka dari itu
tidak ada pengetahuan a
priori.
Tidak
hanya ajaran ideanya, Locke juga berpendapat mengenai ‘kualitas’.
Kualitas menurutnya, kekuatan-kekuatan pada objek untuk menghasilkan
idea-idea dalam diri kita. Dia membedakan kualitas ke dalam dua
bagian. Pertama,
kualitas primer, yaitu sebuah objek yang inheren dan tidak bisa
terlepaskan dalam artian melekat dengan objek tersebut. Idea-idea
simpleks dibangun oleh kualitas primer, misalnya gerak, massa dan
keluasan. Kedua,
kualitas sekunder, yaitu penilaian subjektif yang bisa berubah-rubah
(tergantung subjeknya) atas memahami objek. Maka kualitas sekunder
tergantung pada persepsi subjek. Seperti halnya, idea manis, enak,
merah, kuning dan sebagainya. (Hardiman, 2007: 79)
Ada
juga yang mengatakan bahwa kualitas primer yang dimaksud oleh Jhon
Locke ialah sebagai kualitas-kualitas yang tidak terpisahkan dalam
tubuh, dan dijumlahkan sebagai kepadatan, pengembangan, bentuk tubuh,
gerakan, dan angka. Sedangkan kualitas sekunder adalah sesuatu yang
hanya dapat diindrai, seperti halnya ketika kita menyebutkan bahwa
warna handphone
yang kita lihat adalah hitam. Dalam hal ini warna hitam cuman bisa
dirasakan oleh pengindraan mata saja. (Russel, 2007: 794) Dari sini
lah Locke mencoba memberi penegasan bahwa sebenarnya ada dunia
objektif atau kebenaran dalam objek. Tetapi di sisi lain Locke juga
mengungkapkan bahwa terdapat persepsi-persepsi yang berbeda dalam
mengindarai suatu objek.
Kritik
Berkeley atas Locke serta Keterjebakannya Sendiri
George
Berkeley seorang penganut empirisme asal Irlandia mengkritik keras
ajaran Locke mengenai kualitas primer dan sekunder. Menurutnya Locke
telah terjerumus sendiri dalam teorinya. Bagaimana mungkin seorang
kaum empiris mengamini zat fisik bawaan Descartes? Rasanya Locke
tidak konsisten dalam mengemukakan pendapatnya, di satu sisi dia
mengkritik Descartes habis-habisan, di sisi yang lain dia meyakini
ada suatu idea yang melekat pada suatu objek. Yang menjadi
permasalahannya, atas dasar apa serta bagaimana Locke mengetahui
bahwa zat fisik itu ada?
Seperti itulah pertanyaan Berkeley
untuk mengkritik gagasan Locke yang membagi kualitas ke dalam dua
bagian. Menerutnya semua yang di lihat oleh pengindraan tidak ada
yang melekat satu pun pada objek tersebut. Tetapi itu hanyalah sebuah
hasil dari sifat. Dalam artian George Berkeley meyakini sepenuhnya
persepsi yang diakibatkan oleh sifat atau kualitas pengindraan.
(Lavine, 2002: 132)
Saya akan mencoba menjelaskan maksud
Berkeley mengenai persepsi sifatlah yang berperan penting dalam
pengetahuan. Untuk menganalogikan pemikiran Berkeley, saya akan
mempersepsikan pesawat Air Asia QZ 8501 yang menghilang pada hari
Minggu tanggal 28 Desember 2014 ketika perjalanannya dari Surabaya
menuju Singapore. Dalam hal ini saya akan memberikan gambaran
mengenai pesawat tersebut untuk membantu orang lain yang tidak tahu
supaya mengenal ciri-cirinya.
Saya mempersepsikan pesawat Air Asia
QZ 8501 sebagai ukuran dan bentuk tertentu, di depannya dibalut
dengan warna putih sementara di tengah-tengahnya warna merah
mendominasi, sisanya di bagian belakang terlihat warna putih kembali.
Bentuk pesawat tersebut tidak jauh berbeda dengan pesawat yang
lainnya. Ciri paling menonjol pada pesawat itu, terdapat tulisan Air
Asia di tengah-tengah yang menimpah atau berada di atas warna
merah—tetapi saya juga tidak bisa mempersepsikan kepada orang lain
pesawat itu sendiri. Semua yang saya jelaskan serta persepsikan
tentang pesawat tersebut adalah sifat atau kualitas itu sendiri.
Begitulah kiranya Berkeley
berpendapat, menurutnya keberadaan zat fisik hanyalah sebagai keadaan
persepsinya. Berkeley meyakini bahwa benda dan zat fisik itu tidak
ada, kita hanya mengenal persepsi. Tapi akhirnya, menjadi suatu yang
nihil kembali ketika dia membiarkan utuh dua struktur pemikiran yang
utama. Berkeley menyebutnya dengan zat mental, menurutnya dalam zat
mental terdapat dua bagian dalam pemikiran. Pertama,
pemikiran manusia
yang terbatas. Dalam artian pemikiran tersebut tidak bisa menjangkau
pengetahuan mengenai benda. Kedua,
dengan pemikiran Tuhan yang tidak terbataslah Berkeley menjawab
pengetahuan apa pun bisa diketahui. Di sisi lain ada bangunan lain
yang oleh Berkeley dibiarkan berdiri, bangunan itu adalah
keseragaman hukum ilmiah tentang alam (Lavine, 2002: 133)
Pada dasarnya sebenarnya dia juga
terjebak pada teorinya sendiri yang mengembalikan semuanya pada
pemikiran Tuhan. Kalau memang begitu apa bedanya dengan Descartes
atau Locke? Berkeley seolah lupa pada pendapat dirinya bagaimana zat
mental itu diperoleh? Dikemudian hari ada filsuf Inggris, bernama
David Hume yang mengkritiknya.
Sebelumnya, masa pencerahan berjaya,
dalam artian kebanyakan orang meyakini bahwa pada akhirnya akal
manusia mengungkap hukum alam yang sejati dalam bentuk hukum
kausalitas serta bersifat absolut.
Seiring waktu, David Hume mulai
mengkritik hukum kausalitas ini. Dengan mempertanyakan apakah mungkin
premis-premis membentuk sebab-akibat serta ditetapkan melalui
pengalaman? Sebab pada dasarnya pengalaman tidak selalu melekat
dan harus ada
pada sebab akibat.
Blackburn, Simon.
(2013). Kamus
Filsafat; Buku Acuan Paling Terpercaya di Dunia.
Terj. Yudi Santoso. Yogyakarta, DIY: Pustaka Pelajar.
Hadiwijono, Harun. (1980). Sari
Sejarah Filsafat Barat 2.
Yogyakarta, DIY: Kanisius.
Hardiman, F. B. (2007). Filsafat
Modern: dari Machiavelli sampai Nietzsche.
Jakarta, DKI: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Kattsoff, Louis O. (2004). Pengantar
Filsafat. Terj.
Soejono Soemargo.
Yogyakarta, DIY:
Tiara Wacana Yogya.
Russel, Bertrand. (2007). Sejarah
Filsafat Barat: kaitannya dengan kondisi sosio-politik zaman kuno
hingga sekarang.
Terj. Sigit Jatmiko, dkk. Yogyakarta, DIY: Pustaka Pelajar. Cet. III.
(Daftar pustaka
yang bukunya Levine belum, bukunya masih di Raja)
1
Terlebih dahulu kita harus mengetahui apa yang
dimaksud dengan a priori dan
a posteriori.
Secara mendasar suatu proposisi dikatakan a
priori berarti proposisi tersebut
dapat diketahui tanpa membutuhkan pengalaman terkait dengan suatu
kejadian di dunia aktual. Namun, walau pun begitu ada beberapa
konsep yang dibangun oleh a priori
yang butuh pada pengalaman, tetapi arahnya tidak mesti secara
spesifik. Barulah, kalau sesuatu tidak bisa diketahui secara a
priori, maka a
prosteriori yang mengambil bagian
tersebut. Tetapi yang menjadi sulit, bagaimana kategori-kategori a
priori itu dapat diketahui? Sebab
untuk menentukan proposisi a priori,
dimungkinkan terdapat ketidak jelasan seberapa murni pikiran yang
disyaratkan dan seberapa jauh semua itu tidak boleh dibantu
pengalaman. Walau pun ada juga kategori yang terdapat dalam
konsep-konsep a priori;
waktu, substansi, penyebab, bilangan, dan diri. Namun semua konsep
yang mengasumsikan tidak berasal dari pengalaman itu tetap dianggap
sebagai suatu hal yang mendasari mode berfikir manusia. (Blackburn,
2013: 48) Begitulah kiranya persoalan yang diperdebatkan mengenai
proposisi a priori,
dan inilah yang dijadikan alat oleh kaum empiris bahwa hal-hal yang
bersefiat a priori
sebenarnya bersandar pada suatu pengalaman.
Sebenarnya apa yang dimaksud kaum rasionalis, terutama Descartes dan Platon, bukan berarti mengetahui tanpa proses pengalaman, sebagaimana Yuris contohkan dengan sebuah buku. Tapi seperti ini: Platon membagi hirarki pengetahuan, mulai dari imajinasi, pengalaman empiris, pengalaman (sebut saja demikian) matematis, yang masih terikat dengan benda material; dan pengetahuan sejati yang sama sekali terlepas dari benda material, atau dalam bahasa lain, murni rasional.
BalasHapusDescartes pun, memiliki kemiripan dengan Platon. Khususnya ketika Descartes membagi berbagai macam sumber ide dalam pikiran: yaitu indra, imajinasi (kombinasi perspesi indrawi sehingga membentuk suatu gambaran baru, misalnya Hulk. Mahluk Hulk merupakan campuran dari konsep manusia, hijau, dan kekar dll), dan ide rasional.
Untuk lebih spesifik, kita batasi pada pemikiran Descartes ketika membicarakan res extensa atau keberadaan benda material dan implikasi pengetahuannya.
Descartes menyebutkan (kita singkat pembicaraan ini), bahwa keberadaan sejati dari res extensa (keberadaan benda material) adalah ide kuantitas dari benda. Misalnya, panjang, lebar, dll. Sedangkan ide kualitas merupakan persepsi subjektif, yang tidak berada secara ontologis di dalam res extensa. Bagi Descartes, pengetahuan sejati bersifat clear and distinc. Misalnya, matematika dll. Jadi Descartes bukan menyangkal pengetahuan an sich, yang berasal dari persepsi indrawi, tapi menganggap bukan pengetahuan sejati. Karena pengetahuan sejati itu bersifat clear and distinc, dalam artia jelas dan terpilah-pilah secara rasional. Bahkan lebih radikal lagi, bersifat aksiomatik.
Jadi bukan kita dapat mengetahui tanpa tahu (mengalami secara empiris) buku. Tapi, jika pengetahuan tentang buku mau menjadi pengetahuan yang sebenarnya, maka ide tentang buku mesti dipahami dari segi kuantitasnya. Lalu bagaimana dengan isi buku? apakah mesti dianulir karena tak bisa diukur secara matematis? Jawaban Descartes, tentu tidak demikian. Ia, barangkali, akan menjawab dengan pertanyaan, bahwa isi bukunya apakah bersifat clear and distinc? apakah didasarkan pada proposisi aksiomatis? jika tidak, berarti itu (baca: isi buku) bukan pengetahuan sejati.
BalasHapus