Senin, 14 Desember 2015

Pengetahuan dalam Pandangan Locke serta Kritik Berkeley Terhadapnya

sumber gambar:istockphoto.com
Oleh: Yuris Fahman Zaidan*

Ada yang menarik ketika kita memperbincangkan darimana sumber pengetahuan diperoleh. Sebab dalam hal ini ada dua golongan yang bertolak belakang. Awalnya ketika zaman Renaisansans, munculnya ilmu pengetahuan modern tidak hanya disambut oleh kaum rasionalis tetapi filsuf-filsuf Inggris yang memiliki faham bahwa pengetahuan itu berasal dari empiris mulai memperdebatkannya dengan para penganut rasionalisme seperti halnya Descartes dan yang lainnya.
Rasionalisme beranggapan bahwa pengetahuan itu hanya diperoleh dari rasio saja, sementara bertolak belakang dengan kaum empiris yang menyatakan bahwa semua pengetahuan itu bersumber dari pengalaman (empeiria). (Hardiman, 2007: 64) Para perintis empirisme modern seperti Hobbes, Locke, Berkeley dan Hume meyakini serta mengamininya. Seolah menjadi pertanyaan, bagaimana kaum empiris berani mengatakan bahwa semua pengetahuan itu a posteriori dan menolak pendapat rasionalisme yang a priori1?
Kita mulai dengan mengetahui buku sebagai buku. Rasionalisme berbicara bahwa sebenarnya untuk mengetahui buku, kita tidak harus memiliki pengalaman. Dalam kepala kita sudah terdapat ide mengenai buku. Ide inilah yang membuat kita hafal pada apa yang berada di luar kepala. Maka tanpa ide tersebut tidak akan terbentuk suatu pengetahuan.
Rasanya pendapat kaum rasionalis sedikit banyaknya dipengaruhi oleh ajaran Plato tentang jiwa. Plato mengatakan bahwa sebelum jiwa masuk ke dalam tubuh (penjara), sebenarnya jiwa telah mengetahui semuanya, dan ketika jiwa masuk ke dalam tubuh pengetahuan yang diperoleh seketika hilang, di situlah manusia berusaha mengingat kembali pengetahuan yang didapatkan di alam jiwa dahulu. (Russel, 2007: 147) Seperti halnya mengingat tulisan-tulisan atau coretan-coretan yang ada dalam suatu kertas. Di sisi lain rasionalisme juga menganggap penting adanya pengalaman. Namun, pengalaman hanyalah dipandang sebagai sebuah rangsangan bagi rasio untuk mengingat kembali pengetahuan yang telah didapat.
Berbanding terbalik dengan kaum empiris, mereka membalikan prosesnya. Pengetahuan tentang buku didapatkan dari pengalaman. Mereka berpendapat bahwa ide buku muncul di kepala kita, sesudah kita melihat, mendengar dari orang lain mengenai buku atau merasakan dengan pengindraan lainnya dengan kata lain pengetahuan seberapa rumitnya pun dapat ditelusuri jejak-jejaknya sampai nanti kembali kepada pengalaman-pengalaman indrawi. Sebaliknya, apa yang tidak dapat dilacak bagi Locke itu bukanlah pengetahuan. (Kattsoff, 2004: 132)
        Masih dalam buku yang sama Louis O. Kattsoff (2004: 132) menyebutkan mereka juga meyakini bahwa tanpa pengalaman, pengetahuan itu tidak bisa didapatkan oleh kita. Jhon Locke menggambarkan bahwa manusia itu tidak ubahnya seperti ‘tabula rasa’, kita menuliskan coretan-coretan dalam buku catatan yang kosong dan coretan-coretan tersebut dianalogikan sebagai pengalaman-pengalaman indrawi. Pada akhirnya, dalam prosesnya berkenalan dengan dunia luar, pengalaman memberi kesan-kesan dalam pikirannya. Dengan demikian Locke berpendapat sekaligus menentang ajaran Descartes bahwa pengetahuan itu bukan bersifat bawaan.
        Bahkan Hobbes lebih mengerikan lagi, dia mengatakan bahwa sebenarnya yang dimaksud dengan filsafat itu tidak membicarakan mengenai hal-hal yang sifatnya gaib atau teologis. Sebab awal muncul filsafat itu dari indra, maka objek-objek kajian filsafat itu sendiri bersifat lahiriah dengan kata lain yang dapat dialami oleh kita. Atas dasar itulah dia membagi filsafat dalam empat cabang; geometri, fisika, etika dan politik. (Hardiman, 2007: 68)
       Sejalan dengan pemikiran Jhon Locke, menurut Hobbes ada tahapan-tahapan untuk mendapatkan pengetahuan. Pengalaman adalah tahapan pertama yang tidak bisa diabaikan. Setelah mengalami, kita ceritakan dalam bentuk bahasa, sebab dalam bahasa terdapat kata-kata yang bisa melukiskan pikiran dari apa yang telah dialami. Ujung-ujungnya Hobbes tetap menekankan pentingnya empeiria, bahwa setelah kita meyakini atas apa yang telah dibicarakan oleh orang lain, kita harus melakukan tahapan observasi. Dalam tahapan ini, kata-kata yang melukiskan pemikirannya harus diuji dengan pengalaman. (Hardiman, 2007: 69)
Di sisi lain para rasionalis tetap bertahan pada pendapatnya bahwa ada idea bawaan seperti halnya idea-idea abstrak; ruang, waktu, bilangan dan sebagainya. Akan tetapi Locke menyanggahnya, bahwa yang selama ini mereka pikirkan tentang idea-idea bawaan terjadi akibat proses pengindraan yang sangat kompleks. Bagi Locke sendiri, dia mendefinisikan idea sebagai persepsi yang terjadi dalam diri subjek. Apa yang ditangkap dari dunia luar akan menjadi proses-proses internal kita seperti berfikir, berkehendak dan merasa. Kemudian proses internal langsung berdasarkan lahiriah itu akan menimbulkan idea-idea, seperti idea nikmat, idea sakit dan sebagainya. Jhon Locke juga tidak menyanggah adanya pengetahuan abstrak, akan tetapi dia menyanggah pengetahuan yang didapatkan dari a priori. Kenapa begitu? Karena Locke memiliki anggapan, bahwa sebenarnya terdapat idea-idea kompleks/majemuk yaitu sebagai gabungan dari idea-idea simpleks/tunggal. Proses gabungan idea-idea simpleks menjadi kompleks dinamakan oleh Locke sebagai proses ‘abstraksi’. (Hardiman, 2007: 77)
      Penggabungan idea-idea simpleks tersebut akan menimbulkan gagasan dalam beberapa bentuk; identitas atau perbedaan, hubungan, koeksistensi atau berada bersama-sama, dan terakhir dalam bentuk kenyataan. Berbagai bentuk tersebut selalu dihubungkan dengan yang lain dalam suatu putusan. (Hadiwijono, 1980: 37)
        Kita coba saja buat contoh bahwa pengetahuan abstrak menurut Locke itu bisa terjadi atau terkadang sering kita jumpai dari berbagai gabungan yang partikular. Kalau dianalogikan, kita dapat mengetahui anggota DPR dengan berbagai pengetahuan. Kata si A, berpendapat bahwa anggota DPR itu adalah koruptor yang tidak memedulikan rakyatnya. Kata si B, bahwa anggota DPR itu adalah orang-orang yang mulia. Sedangkan menurut si C, anggota DPR itu biasa-biasa saja. Dalam hal ini dimungkinkan pengetahuan yang abstrak, sebab munculnya kesimpulan (apa yang dimaksud dengan anggota DPR?) adalah hasil penggabungan dari hal-hal yang partikular. Dalam artian menurut pandangan Locke bahwa yang abstrak itu pada dasarnya dari pengindraan. Maka dari itu tidak ada pengetahuan a priori.
     Tidak hanya ajaran ideanya, Locke juga berpendapat mengenai ‘kualitas’. Kualitas menurutnya, kekuatan-kekuatan pada objek untuk menghasilkan idea-idea dalam diri kita. Dia membedakan kualitas ke dalam dua bagian. Pertama, kualitas primer, yaitu sebuah objek yang inheren dan tidak bisa terlepaskan dalam artian melekat dengan objek tersebut. Idea-idea simpleks dibangun oleh kualitas primer, misalnya gerak, massa dan keluasan. Kedua, kualitas sekunder, yaitu penilaian subjektif yang bisa berubah-rubah (tergantung subjeknya) atas memahami objek. Maka kualitas sekunder tergantung pada persepsi subjek. Seperti halnya, idea manis, enak, merah, kuning dan sebagainya. (Hardiman, 2007: 79)
       Ada juga yang mengatakan bahwa kualitas primer yang dimaksud oleh Jhon Locke ialah sebagai kualitas-kualitas yang tidak terpisahkan dalam tubuh, dan dijumlahkan sebagai kepadatan, pengembangan, bentuk tubuh, gerakan, dan angka. Sedangkan kualitas sekunder adalah sesuatu yang hanya dapat diindrai, seperti halnya ketika kita menyebutkan bahwa warna handphone yang kita lihat adalah hitam. Dalam hal ini warna hitam cuman bisa dirasakan oleh pengindraan mata saja. (Russel, 2007: 794) Dari sini lah Locke mencoba memberi penegasan bahwa sebenarnya ada dunia objektif atau kebenaran dalam objek. Tetapi di sisi lain Locke juga mengungkapkan bahwa terdapat persepsi-persepsi yang berbeda dalam mengindarai suatu objek.

Kritik Berkeley atas Locke serta Keterjebakannya Sendiri
       George Berkeley seorang penganut empirisme asal Irlandia mengkritik keras ajaran Locke mengenai kualitas primer dan sekunder. Menurutnya Locke telah terjerumus sendiri dalam teorinya. Bagaimana mungkin seorang kaum empiris mengamini zat fisik bawaan Descartes? Rasanya Locke tidak konsisten dalam mengemukakan pendapatnya, di satu sisi dia mengkritik Descartes habis-habisan, di sisi yang lain dia meyakini ada suatu idea yang melekat pada suatu objek. Yang menjadi permasalahannya, atas dasar apa serta bagaimana Locke mengetahui bahwa zat fisik itu ada?
Seperti itulah pertanyaan Berkeley untuk mengkritik gagasan Locke yang membagi kualitas ke dalam dua bagian. Menerutnya semua yang di lihat oleh pengindraan tidak ada yang melekat satu pun pada objek tersebut. Tetapi itu hanyalah sebuah hasil dari sifat. Dalam artian George Berkeley meyakini sepenuhnya persepsi yang diakibatkan oleh sifat atau kualitas pengindraan. (Lavine, 2002: 132)
Saya akan mencoba menjelaskan maksud Berkeley mengenai persepsi sifatlah yang berperan penting dalam pengetahuan. Untuk menganalogikan pemikiran Berkeley, saya akan mempersepsikan pesawat Air Asia QZ 8501 yang menghilang pada hari Minggu tanggal 28 Desember 2014 ketika perjalanannya dari Surabaya menuju Singapore. Dalam hal ini saya akan memberikan gambaran mengenai pesawat tersebut untuk membantu orang lain yang tidak tahu supaya mengenal ciri-cirinya.
Saya mempersepsikan pesawat Air Asia QZ 8501 sebagai ukuran dan bentuk tertentu, di depannya dibalut dengan warna putih sementara di tengah-tengahnya warna merah mendominasi, sisanya di bagian belakang terlihat warna putih kembali. Bentuk pesawat tersebut tidak jauh berbeda dengan pesawat yang lainnya. Ciri paling menonjol pada pesawat itu, terdapat tulisan Air Asia di tengah-tengah yang menimpah atau berada di atas warna merah—tetapi saya juga tidak bisa mempersepsikan kepada orang lain pesawat itu sendiri. Semua yang saya jelaskan serta persepsikan tentang pesawat tersebut adalah sifat atau kualitas itu sendiri.
Begitulah kiranya Berkeley berpendapat, menurutnya keberadaan zat fisik hanyalah sebagai keadaan persepsinya. Berkeley meyakini bahwa benda dan zat fisik itu tidak ada, kita hanya mengenal persepsi. Tapi akhirnya, menjadi suatu yang nihil kembali ketika dia membiarkan utuh dua struktur pemikiran yang utama. Berkeley menyebutnya dengan zat mental, menurutnya dalam zat mental terdapat dua bagian dalam pemikiran. Pertama, pemikiran manusia yang terbatas. Dalam artian pemikiran tersebut tidak bisa menjangkau pengetahuan mengenai benda. Kedua, dengan pemikiran Tuhan yang tidak terbataslah Berkeley menjawab pengetahuan apa pun bisa diketahui. Di sisi lain ada bangunan lain yang oleh Berkeley dibiarkan berdiri, bangunan itu adalah keseragaman hukum ilmiah tentang alam (Lavine, 2002: 133)
Pada dasarnya sebenarnya dia juga terjebak pada teorinya sendiri yang mengembalikan semuanya pada pemikiran Tuhan. Kalau memang begitu apa bedanya dengan Descartes atau Locke? Berkeley seolah lupa pada pendapat dirinya bagaimana zat mental itu diperoleh? Dikemudian hari ada filsuf Inggris, bernama David Hume yang mengkritiknya.
Sebelumnya, masa pencerahan berjaya, dalam artian kebanyakan orang meyakini bahwa pada akhirnya akal manusia mengungkap hukum alam yang sejati dalam bentuk hukum kausalitas serta bersifat absolut.
Seiring waktu, David Hume mulai mengkritik hukum kausalitas ini. Dengan mempertanyakan apakah mungkin premis-premis membentuk sebab-akibat serta ditetapkan melalui pengalaman? Sebab pada dasarnya pengalaman tidak selalu melekat dan harus ada pada sebab akibat.

Blackburn, Simon. (2013). Kamus Filsafat; Buku Acuan Paling Terpercaya di Dunia. Terj. Yudi Santoso. Yogyakarta, DIY: Pustaka Pelajar.
Hadiwijono, Harun. (1980). Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta, DIY: Kanisius.
Hardiman, F. B. (2007). Filsafat Modern: dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta, DKI: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Kattsoff, Louis O. (2004). Pengantar Filsafat. Terj. Soejono Soemargo. Yogyakarta, DIY: Tiara Wacana Yogya.
Russel, Bertrand. (2007). Sejarah Filsafat Barat: kaitannya dengan kondisi sosio-politik zaman kuno hingga sekarang. Terj. Sigit Jatmiko, dkk. Yogyakarta, DIY: Pustaka Pelajar. Cet. III.

(Daftar pustaka yang bukunya Levine belum, bukunya masih di Raja)


1 Terlebih dahulu kita harus mengetahui apa yang dimaksud dengan a priori dan a posteriori. Secara mendasar suatu proposisi dikatakan a priori berarti proposisi tersebut dapat diketahui tanpa membutuhkan pengalaman terkait dengan suatu kejadian di dunia aktual. Namun, walau pun begitu ada beberapa konsep yang dibangun oleh a priori yang butuh pada pengalaman, tetapi arahnya tidak mesti secara spesifik. Barulah, kalau sesuatu tidak bisa diketahui secara a priori, maka a prosteriori yang mengambil bagian tersebut. Tetapi yang menjadi sulit, bagaimana kategori-kategori a priori itu dapat diketahui? Sebab untuk menentukan proposisi a priori, dimungkinkan terdapat ketidak jelasan seberapa murni pikiran yang disyaratkan dan seberapa jauh semua itu tidak boleh dibantu pengalaman. Walau pun ada juga kategori yang terdapat dalam konsep-konsep a priori; waktu, substansi, penyebab, bilangan, dan diri. Namun semua konsep yang mengasumsikan tidak berasal dari pengalaman itu tetap dianggap sebagai suatu hal yang mendasari mode berfikir manusia. (Blackburn, 2013: 48) Begitulah kiranya persoalan yang diperdebatkan mengenai proposisi a priori, dan inilah yang dijadikan alat oleh kaum empiris bahwa hal-hal yang bersefiat a priori sebenarnya bersandar pada suatu pengalaman.

2 komentar:

  1. Sebenarnya apa yang dimaksud kaum rasionalis, terutama Descartes dan Platon, bukan berarti mengetahui tanpa proses pengalaman, sebagaimana Yuris contohkan dengan sebuah buku. Tapi seperti ini: Platon membagi hirarki pengetahuan, mulai dari imajinasi, pengalaman empiris, pengalaman (sebut saja demikian) matematis, yang masih terikat dengan benda material; dan pengetahuan sejati yang sama sekali terlepas dari benda material, atau dalam bahasa lain, murni rasional.
    Descartes pun, memiliki kemiripan dengan Platon. Khususnya ketika Descartes membagi berbagai macam sumber ide dalam pikiran: yaitu indra, imajinasi (kombinasi perspesi indrawi sehingga membentuk suatu gambaran baru, misalnya Hulk. Mahluk Hulk merupakan campuran dari konsep manusia, hijau, dan kekar dll), dan ide rasional.
    Untuk lebih spesifik, kita batasi pada pemikiran Descartes ketika membicarakan res extensa atau keberadaan benda material dan implikasi pengetahuannya.
    Descartes menyebutkan (kita singkat pembicaraan ini), bahwa keberadaan sejati dari res extensa (keberadaan benda material) adalah ide kuantitas dari benda. Misalnya, panjang, lebar, dll. Sedangkan ide kualitas merupakan persepsi subjektif, yang tidak berada secara ontologis di dalam res extensa. Bagi Descartes, pengetahuan sejati bersifat clear and distinc. Misalnya, matematika dll. Jadi Descartes bukan menyangkal pengetahuan an sich, yang berasal dari persepsi indrawi, tapi menganggap bukan pengetahuan sejati. Karena pengetahuan sejati itu bersifat clear and distinc, dalam artia jelas dan terpilah-pilah secara rasional. Bahkan lebih radikal lagi, bersifat aksiomatik.

    BalasHapus
  2. Jadi bukan kita dapat mengetahui tanpa tahu (mengalami secara empiris) buku. Tapi, jika pengetahuan tentang buku mau menjadi pengetahuan yang sebenarnya, maka ide tentang buku mesti dipahami dari segi kuantitasnya. Lalu bagaimana dengan isi buku? apakah mesti dianulir karena tak bisa diukur secara matematis? Jawaban Descartes, tentu tidak demikian. Ia, barangkali, akan menjawab dengan pertanyaan, bahwa isi bukunya apakah bersifat clear and distinc? apakah didasarkan pada proposisi aksiomatis? jika tidak, berarti itu (baca: isi buku) bukan pengetahuan sejati.

    BalasHapus