Senin, 28 Desember 2015

Hamas: Tinjauan Teori Faktor Penentu Dinamika Gerakan Sosial

sumber gambar: rmoljabar.com


Oleh: Yuris Fahman Zaidan


Political Opportunity Structure
         Salah satu faktor penentu dinamika gerakan sosial adalah Political Opportunity Structure (disingkat POS). Seringkali orang-orang menyebutkan POS adalah faktor pendorong dari luar dan/atau eksternal—di luar gerakan sosial itu sendiri. David Meyer menyebutkan bahwa teori ini sering dipakai oleh para sarjana di Eropa dalam meneliti faktor keberhasilan suatu gerakan sosial (Meyer, 2003: 17). Meyer dan Minkoff (2004: 1458) berpendapat bahwa teori POS menjanjikan suatu cara untuk memprediksi perbedaan pada waktu tertentu, gaya, isi dari klaim-klaim yang dimiliki oleh para aktivis. Dasar pemikiran yang harus digaris bawahi dalam pendekatan ini adalah adanya kecendrungan untuk protes yang datang dari luar yang berkaitan dengan institusi politik sekitarnya, tetapi POS adalah suatu teori yang digunakan secara sistematis untuk analisis dari kehadiran protes itu sendiri.
         Hal yang sama juga diungkapkan oleh Kitschelt. Ia berpendapat bahwa teori POS memfokuskan diri pada suatu pandangan kepentingan yang mana para demonstran bisa mengorganisasikan (kelompoknya) untuk melakukan aksi kolektif dan protes-protes (Turner, 2013: 5). Sedangkan Meyer dan Minkoff (2004: 1457)  mengatakan bahwa asumsi dasar dari POS berkenaan dengan suatu cara mewujudkan kesempatan yang ada menjadi aksi. Jika memang POS dikatakan sebagai faktor luar yang mendorong suatu gerakan sosial, hal tersebut tidak menjadi masalah. Sebab beberapa sarjana yang fokus dengan gerakan sosial memang menggambarkan POS seperti demikian.
        Berkaitan dengan POS, protes-protes serta aksi yang dilakukan oleh Hamas di Palestina bisa juga ditinjau dengan teori POS ini. Namun yang menjadi permasalahannya, kita harus menentukan dahulu apakah Hamas ini gerakan sosial atau bukan. Glen E Robinson dalam tulisannya yang berjudul Hamas Sebagai Gerakan Sosial (2011: 218) menyebutkan bahwa Harakat al-Muqawima al-Islamiyyah (Gerakan Perlawanan Islam) yang biasa kita kenal sebagai Hamas memang merupakan gerakan sosial. Pengikut dari Hamas ini kebanyakan adalah simpatisan Palestina.
        Jika kita lihat dalam kategori POS yang kelima menurut Tarrow, ada yang dinamakan dengan represi/penindasan yang menyebabkan suatu gerakan sosial bertindak dan melakukan protes (Meyer, 2003: 17). Berkenaan dengan hal itu, dikarenakan masyarakat Palestina berada di bawah pendudukan Israel (Robinson, 2011: 223), ini menjadikan respon protes serta pemberontakan dari Hamas. Hal ini bisa dilihat sebagai POS: pertama, karena Israel adalah faktor eksternal—di luar negara Palestina—yang menjadi sebab-musabab kemunculan protes dari Hamas. Kedua, adanya penindasan terhadap masyarakat Palestina—oleh Israel—seperti kategorisasi yang disebutkan oleh Tarrow.
        Kemunculan Hamas serta protes-perotes yang dilakukan olehnya, tidak terlepas dari hadirnya simpatisan-simpatisan dari negara lain. Dan kehadiran dukungan dari negara-negara Arab semisal Arab Saudi, Kuwait, dan Yordania (Robinson, 2011: 227). Hal ini saya rasa bisa masuk ke dalam POS, karena sejalan dengan kategori POS yang ketiga menurut Tarrow: kehadiran sekutu dan kelompok dukungan—kelompok-kelompok yang mendukung (Meyer, 2003: 17).
         Tinjauan POS yang lain bagi saya adalah adanya keberpihakan sebagian orang yang ada dalam pemerintahan—yang dimaksud adalah Ikhwanul Muslimin—kepada Hamas. Berawal dari itu mereka terdorong untuk melakukan aksi dan pemberontakan pada rezim Israel saat itu yang dipandang sebagai negara Yahudi (Robinson, 2011: 228). Faktor ini saya kira bisa dimasukan ke dalam POS, sebab sejalan dengan yang Tarrow katakan bahwa salah satu unsur dari POS yaitu adanya keberpihakan politik (Meyer, 2003: 17). Dengan kata lain, dalam konteks ini Hamas berpihak pada Ikhwanul Muslimin Gaza—begitu pun sebaliknya—dalam mendirikan perpolitikan yang bercorak Islam. 
        Di lain pihak, kemunculan Hizbullah selama 1980 juga meningkatkan struktur kesempatan politik bagi gerakan Islamis Palestina. Kemudian faktor eksternal lainnya karena adanya Intifada pada Desember 1987. Intifada memberi peluang bagi kaum strata menengah untuk memunculkan suatu gerakan sosial, yang dikemudian hari terbentuklah Hamas pada 1988. Faktor eksternal lain adalah perjanjian Olso pada tahun 1993 yang juga turut menguatkan Hamas sebagai gerakan sosial. Isi dari perjanjian Olso mengamanatkan pembentukan otoritas Palestina dengan sebagian kendali wilayah di Tepi Barat dan Perbatasan Gaza sehingga menuntut Hamas untuk bereaksi (Robinson, 2011: 229-233).

Resource Mobilization
          Ketika berbicara resource mobilization (disingkat RM), maka yang menjadi bahan pembicaraan adalah mobilisasi itu sendiri. Namun, hendaknya di sini kita mempertanyakan ulang: apa yang dimaksud mobilisasi dalam RM? Berkenaan dengan hal itu, Karatzogianni (2005: 4) mengatakan bahwa yang dimaksud mobilisasi adalah proses menciptakan suatu produk gerakan yang ditujukan kepada aktor dan publik di luar gerakan itu.
          Oman Sukmana (2013: 7) menuliskan bahwa RM ini terbagi menjadi dua model: the political process models dan the professional organizer models. Dalam model yang pertama (the political process models), dikembangkan oleh Tilly, Gamson, Oberschall, dan McAdams. Titik tekan dari model pertama ini adalah pentingnya perubahan struktur kesempatan bagi aksi kolektif, keberadaan jejaring (network), serta kaitan horizontal yang telah terbangun dengan kelompok-kelompok tertindas (aggrieved groups) sebagai faktor penentu keberhasilan gerakan sosial. Dengan kata lain, bingkai perpolitikan menjadi penting dalam gerkan sosial. Namun perlu diketahui bahwa perpolitikan yang dimaksud bukan seperti pada teori POS. Proses politik di sini lebih menekankan pada kapasitas internal dari komunitas untuk menghasilkan suatu gerakan sosial.
            Sedangkan model kedua (the professional organizer models) ini dikembangkan oleh McCarthy dan Zald. Model ini memandang bahwa dinamika organisasional, kepemimpinan dan pengelolaan sumberdaya merupakan faktor yang lebih signifikan dalam menentukan keberhasilan gerakan sosial. Organisasi gerakan sosial adalah suatu organisasi yang kompleks, atau formal, yang mengidentikkan tujuannya dengan preferensi dari gerakan sosial dan berusaha mewujudkan (Sukmana, 2013: 7).
           Teori RM saya rasa bisa diterapkan pada studi kasus Hamas sebab ada unsur-unsur tertentu yang bisa masuk pada RM. Misalnya pada model pertama (the political process models), kita bisa melihat bagaimana Hamas memiliki jaringan dengan negara lain semisal Arab Saudi sehingga mereka mendapatkan sokongan dana dari negara tersebut  (Robinson, 2011: 228). Ini menunjukan bahwa justru peran pengondisian serta proses politik internal—di dalam gerakan itu sendiri—yang menjadikan pemberontakan serta protes bermunculan dari Hamas.
           Jika kita melihat pendapat dari Jasper yang mengatakan bahwa fokus utama dari RM adalah bagaimana gerakan sosial itu sendiri memobilisasi uang dan mendapatkan dukungan dari elit (Nilsen, 2001: 111). Hal ini juga yang kita dapatkan di gerakan Hamas, Hamas mendapatkan sokongan uang dari negara-negara yang bermusuhan dengan Israel dan/atau mendukung terhadap gerakan Hamas dalam melakukan perlawanan terhadap rezim tersebut (Robinson, 2011: 228).
Faktor lain yang bisa dimasukan ke dalam RM, adalah adanya mobilisasi sumberdaya yang berujung pada perlawanan pada pemerintah sekitar (Robinson, 2011: 229). Ini masuk ke dalam model RM yang kedua yakni the professional organizer models, di mana aktor yang ada dalam gerakan sosial tersebut dikelola sedemikian rupa agar terjadinya protes serta perlawanan (Sukmana, 2013: 7). Hal ini juga masuk ke dalam kategorisasi RM yang ketiga menurut Gamson: adanya kekerasan dan aksi yang mengacaukan—yang ditimbulkan oleh gerakan sosial itu sendiri (Turner, 2013: 4).

Framing Movement 
           Frame digunakan dalam pembelajaran gerakan sosial yang memperoleh posisi terpenting dalam konsepsi Goffman. Bagi Goffman,  frame ditandai sebagai “skema intrepretasi (penafsiran)” yang memungkinkan individu “untuk menemukan, memahami, mengidentifikasi, dan label” kejadian dalam kehidupan mereka serta dunia pada umumnya (Benford and Snow, 2000: 614). Secara khas, frame itu sendiri dihubungkan dan/atau dibentuk bersama keluhan-keluhan dari grup itu sendiri (Turner, 2013: 7).
            Bingkai yang dibuat oleh Hamas tidak terlepas dari yang pernah saya tuliskan dalam bab POS. Hamas membuat frame sedemikian rupa agar mereka mendapatkan bala bantuan. Di sisi lain frame itu digunakan sebagai alat legitimasi pemberontakan. Misalnya, Hamas mengatasnamakan nama jihad untuk melakukan perlawanan kepada Israel. Beberapa bingkai atau frame yang dibuat oleh Hamas berkaitan erat dengan Islam. Ajaran Islam dijadikan alat tersendiri atau alat pembenaran bagi apa yang hendak mereka lakukan (Robinson, 2011: 245).
             Saya rasa, bisa ditinjau ke dalam dua pandangan berkaitan dengan pernyataan yang dituliskan oleh Sarah Turner (2013:7) mengenai frame yang menyebutkan bahwa bingkai itu dibentuk bersama keluhan yang dirasakan oleh suatu grup. Pertama, faktor pendorong Hamas  melakukan protes karena tidak menginginkan Palestina ditindas dan di jajah oleh Israel, sehingga membuat frame yang bertujuan untuk melawan Israel. Kedua, bisa jadi karena faktor agama—yang dimaksud adalah Islam—dalam memberikan semangat serta dorongan bagi Hamas untuk melakukan pemberontakan. Hal ini bisa diidentifikasi karena dalam Piagam Hamas 1988 mereka menyandarkan seluruh isinya pada al-Qur’an (Robinson, 2011: 242). Dengan kata lain, ini menunjukan bahwa Hamas menjadikan Islam sebagai frame utama bagi gerakannya.
Exchange of Interest
            Seperti yang telah disinggung beberapa kali ketika diskusi di kelas. Yang paling inti dari Exchange of Interest (disingkat EF) ‘adanya kepentingan yang dipertukarkan’. Kalau tidak ada kepentingan yang dipertukarkan maka itu tidak termasuk pada EF.
Perlu diketahui bahwa pertukaran kepentingan yang dimaksud bukan terpisah dengan gerakan itu sendiri. Pertukaran kepentingan itu selalu berkaitan dengan kepentingan dari suatu gerakan sosial tersebut. Atau bahkan individu-individu yang ada dalam gerakan itu sendiri memiliki kepentingan sendiri dan memungkinkan untuk saling bertukarnya kepentingan dalam suatu gerakan sosial.
Beberapa pertukaran kepentingan terjadi pada Hamas. Misalkan pertukaran kepentingan antara negara-negara Arab dan Hamas. Negara-negara Arab menginginkan pembangunan sistem ekonomi dan perpolitikan yang kuat. Dengan kata lain, selama Israel tidak melemah maka negara-negara Arab tidak akan mencapai keinginannya. Di lain pihak, untuk melemahkan Israel dan melanggengkan sistem ekonomi serta perpolitikannya, negara-negara Arab menyokong bantuan materi kepada Hamas. Hamas merasa diuntungkan karena dia mendapatkan bala bantuan untuk mengusir tentara Israel dari Palestina (Robinson, 2011: 223).











Daftar Pustaka:
Benford, Robert D & David A Snow. (2000). ‘Framing Processes and Social Movements: An Overview and Assessment’ dalam jurnal Annual Review of Sociology Vol. 26, h. 611-639. Published by Annual Reviews.
Karatzogianni, Athina. (2005). Social Movement and Sociopolitical Cyberconflicts. Manchester: University of Nottingham.
Meyer, David S & Debra C. Minkoff. (2004). ‘Conceptualizing Political Opportunity’ dalam Jurnal Social Forces, Juni 2004, 82 (4), h. 1457-1492
Meyer, David S. (2003). ‘Political Opportunity and Nested Instutions’ dalam Jurnal Social Movement Studies, Vol. 2, No. 1, 2013. AS: Carfax Publishing.
Nilsen, Alf Gunvald. (2001). ‘The Authors and The Actors of Their Own Drama: Towards a Marxist Theory of Social Movement’ dalam Jurnal Capital & Class, h. 109-140.
Robinson, Glenn E. (2011). ‘Hamas Sebagai Gerakan Sosial’ dalam Jurnal Gerakan Sosial Islam: Pendekatan Teori. Ed. Quintan Wiktorowicz. Terj. Tim Penerjemah Paradina. DIY, Yogyakarta: Gading Publishing.
Sukmana, Oman. (2013). ‘Korvengensi Antara Resource Mobilization dan Identity-Oriented Theory Dalam Studi Gerakan Sosial Baru’ dalam Jurnal Sosiologi Reflektif, Vol. 8, No. 1, Oktober 2013, h. 39-62. 
Turner, Sarah. (2013). Success in Social Movement: Looking at Constitutional-Based Demands to Determine The Potential Success of Social Movement. AS, Bloomington: Indiana University.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar