Political Opportunity Structure
Salah satu faktor penentu dinamika gerakan sosial adalah Political
Opportunity Structure (disingkat POS). Seringkali orang-orang menyebutkan
POS adalah faktor pendorong dari luar dan/atau eksternal—di luar gerakan sosial
itu sendiri. David Meyer menyebutkan bahwa teori ini sering dipakai oleh para
sarjana di Eropa dalam meneliti faktor keberhasilan suatu gerakan sosial
(Meyer, 2003: 17). Meyer dan Minkoff (2004: 1458) berpendapat bahwa teori POS
menjanjikan suatu cara untuk memprediksi perbedaan pada waktu tertentu, gaya,
isi dari klaim-klaim yang dimiliki oleh para aktivis. Dasar pemikiran yang
harus digaris bawahi dalam pendekatan ini adalah adanya kecendrungan untuk protes
yang datang dari luar yang berkaitan dengan institusi politik sekitarnya,
tetapi POS adalah suatu teori yang digunakan secara sistematis untuk analisis
dari kehadiran protes itu sendiri.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Kitschelt. Ia berpendapat bahwa
teori POS memfokuskan diri pada suatu pandangan kepentingan yang mana para
demonstran bisa mengorganisasikan (kelompoknya) untuk melakukan aksi kolektif
dan protes-protes (Turner, 2013: 5). Sedangkan Meyer dan Minkoff (2004: 1457) mengatakan bahwa asumsi dasar dari POS
berkenaan dengan suatu cara mewujudkan kesempatan yang ada menjadi aksi. Jika
memang POS dikatakan sebagai faktor luar yang mendorong suatu gerakan sosial,
hal tersebut tidak menjadi masalah. Sebab beberapa sarjana yang fokus dengan
gerakan sosial memang menggambarkan POS seperti demikian.
Berkaitan dengan POS, protes-protes serta aksi yang dilakukan oleh
Hamas di Palestina bisa juga ditinjau dengan teori POS ini. Namun yang menjadi
permasalahannya, kita harus menentukan dahulu apakah Hamas ini gerakan sosial
atau bukan. Glen E Robinson dalam tulisannya yang berjudul Hamas Sebagai
Gerakan Sosial (2011: 218) menyebutkan bahwa Harakat al-Muqawima al-Islamiyyah
(Gerakan Perlawanan Islam) yang biasa kita kenal sebagai Hamas memang
merupakan gerakan sosial. Pengikut dari Hamas ini kebanyakan adalah simpatisan
Palestina.
Jika kita lihat dalam kategori POS yang kelima menurut Tarrow, ada
yang dinamakan dengan represi/penindasan yang menyebabkan suatu gerakan sosial
bertindak dan melakukan protes (Meyer, 2003: 17). Berkenaan dengan hal itu,
dikarenakan masyarakat Palestina berada di bawah pendudukan Israel (Robinson,
2011: 223), ini menjadikan respon protes serta pemberontakan dari Hamas. Hal
ini bisa dilihat sebagai POS: pertama, karena Israel adalah faktor
eksternal—di luar negara Palestina—yang menjadi sebab-musabab kemunculan protes
dari Hamas. Kedua, adanya penindasan terhadap masyarakat Palestina—oleh
Israel—seperti kategorisasi yang disebutkan oleh Tarrow.
Kemunculan Hamas serta protes-perotes yang dilakukan olehnya, tidak
terlepas dari hadirnya simpatisan-simpatisan dari negara lain. Dan kehadiran
dukungan dari negara-negara Arab semisal Arab Saudi, Kuwait, dan Yordania (Robinson,
2011: 227). Hal ini saya rasa bisa masuk ke dalam POS, karena sejalan dengan
kategori POS yang ketiga menurut Tarrow: kehadiran sekutu dan kelompok
dukungan—kelompok-kelompok yang mendukung (Meyer, 2003: 17).
Tinjauan POS yang lain bagi saya adalah adanya keberpihakan
sebagian orang yang ada dalam pemerintahan—yang dimaksud adalah Ikhwanul
Muslimin—kepada Hamas. Berawal dari itu mereka terdorong untuk melakukan aksi
dan pemberontakan pada rezim Israel saat itu yang dipandang sebagai negara
Yahudi (Robinson, 2011: 228). Faktor ini saya kira bisa dimasukan ke dalam POS,
sebab sejalan dengan yang Tarrow katakan bahwa salah satu unsur dari POS yaitu
adanya keberpihakan politik (Meyer, 2003: 17). Dengan kata lain, dalam konteks
ini Hamas berpihak pada Ikhwanul Muslimin Gaza—begitu pun sebaliknya—dalam
mendirikan perpolitikan yang bercorak Islam.
Di lain pihak, kemunculan Hizbullah selama 1980 juga meningkatkan
struktur kesempatan politik bagi gerakan Islamis Palestina. Kemudian faktor
eksternal lainnya karena adanya Intifada pada Desember 1987. Intifada memberi
peluang bagi kaum strata menengah untuk memunculkan suatu gerakan sosial, yang
dikemudian hari terbentuklah Hamas pada 1988. Faktor eksternal lain adalah perjanjian
Olso pada tahun 1993 yang juga turut menguatkan Hamas sebagai gerakan sosial.
Isi dari perjanjian Olso mengamanatkan pembentukan otoritas Palestina dengan
sebagian kendali wilayah di Tepi Barat dan Perbatasan Gaza sehingga menuntut
Hamas untuk bereaksi (Robinson, 2011: 229-233).
Resource Mobilization
Ketika berbicara resource mobilization (disingkat
RM), maka yang menjadi bahan pembicaraan adalah mobilisasi itu sendiri. Namun,
hendaknya di sini kita mempertanyakan ulang: apa yang dimaksud mobilisasi dalam
RM? Berkenaan dengan hal itu, Karatzogianni (2005: 4) mengatakan bahwa yang
dimaksud mobilisasi adalah proses menciptakan suatu produk gerakan yang
ditujukan kepada aktor dan publik di luar gerakan itu.
Oman Sukmana (2013: 7) menuliskan bahwa RM ini terbagi menjadi dua
model: the political process models dan the professional organizer
models. Dalam model yang pertama (the political process models),
dikembangkan oleh Tilly, Gamson, Oberschall, dan McAdams. Titik tekan dari
model pertama ini adalah pentingnya perubahan struktur kesempatan bagi aksi
kolektif, keberadaan jejaring (network), serta kaitan horizontal yang
telah terbangun dengan kelompok-kelompok tertindas (aggrieved groups)
sebagai faktor penentu keberhasilan gerakan sosial. Dengan kata lain, bingkai
perpolitikan menjadi penting dalam gerkan sosial. Namun perlu diketahui bahwa
perpolitikan yang dimaksud bukan seperti pada teori POS. Proses politik di sini
lebih menekankan pada kapasitas internal dari komunitas untuk menghasilkan
suatu gerakan sosial.
Sedangkan
model kedua (the professional organizer models) ini dikembangkan oleh
McCarthy dan Zald. Model ini memandang bahwa dinamika organisasional,
kepemimpinan dan pengelolaan sumberdaya merupakan faktor yang lebih signifikan
dalam menentukan keberhasilan gerakan sosial. Organisasi gerakan sosial adalah
suatu organisasi yang kompleks, atau formal, yang mengidentikkan tujuannya
dengan preferensi dari gerakan sosial dan berusaha mewujudkan (Sukmana, 2013:
7).
Teori
RM saya rasa bisa diterapkan pada studi kasus Hamas sebab ada unsur-unsur
tertentu yang bisa masuk pada RM. Misalnya pada model pertama (the political
process models), kita bisa melihat bagaimana Hamas memiliki jaringan dengan
negara lain semisal Arab Saudi sehingga mereka mendapatkan sokongan dana dari
negara tersebut (Robinson, 2011: 228).
Ini menunjukan bahwa justru peran pengondisian serta proses politik internal—di
dalam gerakan itu sendiri—yang menjadikan pemberontakan serta protes
bermunculan dari Hamas.
Jika
kita melihat pendapat dari Jasper yang mengatakan bahwa fokus utama dari RM
adalah bagaimana gerakan sosial itu sendiri memobilisasi uang dan mendapatkan
dukungan dari elit (Nilsen, 2001: 111). Hal ini juga yang kita dapatkan di
gerakan Hamas, Hamas mendapatkan sokongan uang dari negara-negara yang
bermusuhan dengan Israel dan/atau mendukung terhadap gerakan Hamas dalam
melakukan perlawanan terhadap rezim tersebut (Robinson, 2011: 228).
Faktor
lain yang bisa dimasukan ke dalam RM, adalah adanya mobilisasi sumberdaya yang
berujung pada perlawanan pada pemerintah sekitar (Robinson, 2011: 229). Ini
masuk ke dalam model RM yang kedua yakni the professional organizer models, di
mana aktor yang ada dalam gerakan sosial tersebut dikelola sedemikian rupa agar
terjadinya protes serta perlawanan (Sukmana, 2013: 7). Hal ini juga
masuk ke dalam kategorisasi RM yang ketiga menurut Gamson: adanya kekerasan dan
aksi yang mengacaukan—yang ditimbulkan oleh gerakan sosial itu sendiri (Turner,
2013: 4).
Framing Movement
Frame digunakan dalam pembelajaran gerakan sosial yang memperoleh posisi terpenting dalam konsepsi Goffman. Bagi Goffman, frame ditandai sebagai “skema intrepretasi (penafsiran)” yang memungkinkan individu “untuk menemukan, memahami, mengidentifikasi, dan label” kejadian dalam kehidupan mereka serta dunia pada umumnya (Benford and Snow, 2000: 614). Secara khas, frame itu sendiri dihubungkan dan/atau dibentuk bersama keluhan-keluhan dari grup itu sendiri (Turner, 2013: 7).
Bingkai
yang dibuat oleh Hamas tidak terlepas dari yang pernah saya tuliskan dalam bab
POS. Hamas membuat frame sedemikian rupa agar mereka mendapatkan bala
bantuan. Di sisi lain frame itu digunakan sebagai alat legitimasi
pemberontakan. Misalnya, Hamas mengatasnamakan nama jihad untuk melakukan
perlawanan kepada Israel. Beberapa bingkai atau frame yang dibuat oleh
Hamas berkaitan erat dengan Islam. Ajaran Islam dijadikan alat tersendiri atau
alat pembenaran bagi apa yang hendak mereka lakukan (Robinson, 2011: 245).
Saya
rasa, bisa ditinjau ke dalam dua pandangan berkaitan dengan pernyataan yang
dituliskan oleh Sarah Turner (2013:7) mengenai frame yang menyebutkan
bahwa bingkai itu dibentuk bersama keluhan yang dirasakan oleh suatu grup. Pertama,
faktor pendorong Hamas melakukan
protes karena tidak menginginkan Palestina ditindas dan di jajah oleh Israel,
sehingga membuat frame yang bertujuan untuk melawan Israel. Kedua, bisa
jadi karena faktor agama—yang dimaksud adalah Islam—dalam memberikan semangat
serta dorongan bagi Hamas untuk melakukan pemberontakan. Hal ini bisa
diidentifikasi karena dalam Piagam Hamas 1988 mereka menyandarkan seluruh
isinya pada al-Qur’an (Robinson, 2011: 242). Dengan kata lain, ini menunjukan
bahwa Hamas menjadikan Islam sebagai frame utama bagi gerakannya.
Exchange
of Interest
Seperti
yang telah disinggung beberapa kali ketika diskusi di kelas. Yang paling inti
dari Exchange of Interest (disingkat EF) ‘adanya kepentingan yang
dipertukarkan’. Kalau tidak ada kepentingan yang dipertukarkan maka itu tidak
termasuk pada EF.
Perlu
diketahui bahwa pertukaran kepentingan yang dimaksud bukan terpisah dengan
gerakan itu sendiri. Pertukaran kepentingan itu selalu berkaitan dengan
kepentingan dari suatu gerakan sosial tersebut. Atau bahkan individu-individu
yang ada dalam gerakan itu sendiri memiliki kepentingan sendiri dan
memungkinkan untuk saling bertukarnya kepentingan dalam suatu gerakan sosial.
Beberapa
pertukaran kepentingan terjadi pada Hamas. Misalkan pertukaran kepentingan antara
negara-negara Arab dan Hamas. Negara-negara Arab menginginkan pembangunan
sistem ekonomi dan perpolitikan yang kuat. Dengan kata lain, selama Israel
tidak melemah maka negara-negara Arab tidak akan mencapai keinginannya. Di lain
pihak, untuk melemahkan Israel dan melanggengkan sistem ekonomi serta
perpolitikannya, negara-negara Arab menyokong bantuan materi kepada Hamas.
Hamas merasa diuntungkan karena dia mendapatkan bala bantuan untuk mengusir
tentara Israel dari Palestina (Robinson, 2011: 223).
Daftar Pustaka:
Benford,
Robert D & David A Snow. (2000). ‘Framing Processes and Social Movements:
An Overview and Assessment’ dalam jurnal Annual Review of Sociology Vol. 26,
h. 611-639. Published by Annual Reviews.
Karatzogianni,
Athina. (2005). Social Movement and Sociopolitical Cyberconflicts. Manchester:
University of Nottingham.
Meyer,
David S & Debra C. Minkoff. (2004). ‘Conceptualizing Political Opportunity’
dalam Jurnal Social Forces, Juni 2004, 82 (4), h. 1457-1492
Meyer,
David S. (2003). ‘Political Opportunity and Nested Instutions’ dalam Jurnal Social
Movement Studies, Vol. 2, No. 1, 2013. AS: Carfax Publishing.
Nilsen,
Alf Gunvald. (2001). ‘The Authors and The Actors of Their Own Drama: Towards a
Marxist Theory of Social Movement’ dalam Jurnal Capital & Class, h.
109-140.
Robinson,
Glenn E. (2011). ‘Hamas Sebagai Gerakan Sosial’ dalam Jurnal Gerakan Sosial
Islam: Pendekatan Teori. Ed. Quintan Wiktorowicz. Terj. Tim Penerjemah
Paradina. DIY, Yogyakarta: Gading Publishing.
Sukmana,
Oman. (2013). ‘Korvengensi Antara Resource Mobilization dan Identity-Oriented
Theory Dalam Studi Gerakan Sosial Baru’ dalam Jurnal Sosiologi Reflektif,
Vol. 8, No. 1, Oktober 2013, h. 39-62.
Turner,
Sarah. (2013). Success in Social Movement: Looking at Constitutional-Based
Demands to Determine The Potential Success of Social Movement. AS,
Bloomington: Indiana University.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar