sumber gambar: wikipedia.org
Dari
Abu Musa Al Asy'ariy ra. berkata, Nabi Saw.bersabda: "Siapa saja
dari seseorang yang memiliki seorang budak perempuan lalu dididiknya
dengan sebaik-baik pendidikan, kemudian dibebaskannya lalu
dinikahinya maka baginya mendapat dua pahala, dan siapa saja dari
seorang hamba yang menunaikan hak Allah dan hak tuannya maka baginya
mendapat dua pahala." (BUKHARI - 2361)
Sebelum
kita membicarakan
pendidikan Islam
seturut
paparan hadis di atas.
Alangkah baiknya kita
melihat pendidikan
dari berbagai tradisi.
Banyak
perspektif yang memberikan pandangannya
mengenai pendidikan. Termasuk ilmu-ilmu kontemporer dan belum ada
saat zaman Nabi Muhammad. Seperti halnya antropologi-budaya yang akan
memberikan pandangannya ihwal pendidikan dengan membagi
pendidikan dari segi ilmu kebudayaan.
Dalam antropologi-budaya, pendidikan terbagi ke dalam tiga tahapan: pendidikan rumah tangga, pendidikan lembaga formal, kemudian pendidikan masyarakat. Pendidikan rumah tangga terwujud dalam pola-pola relasional yang terjadi antara anggota keluarga. Dalam bentuk lembaga formal pendidikan teruwujud misalnya pada sekolah-sekolah. Sementara pendidikan masyarakat dimulai ketika seseorang menjadi anggota masyarakat dan langsung berpartisipasi di dalamnya (Gazalba, tt:14).
Dalam antropologi-budaya, pendidikan terbagi ke dalam tiga tahapan: pendidikan rumah tangga, pendidikan lembaga formal, kemudian pendidikan masyarakat. Pendidikan rumah tangga terwujud dalam pola-pola relasional yang terjadi antara anggota keluarga. Dalam bentuk lembaga formal pendidikan teruwujud misalnya pada sekolah-sekolah. Sementara pendidikan masyarakat dimulai ketika seseorang menjadi anggota masyarakat dan langsung berpartisipasi di dalamnya (Gazalba, tt:14).
Sedikitnya
pandangan antropologi-budaya ini memiliki pertautan dengan
kaca
mata Islam
dalam memandang pendidikan.
Islam memandang pendidikan sebagai segala usaha untuk membina
kepribadian serta
kemampuan
jasmaniah
dan ruhaniah
yang terdapat dalam diri manusia. Kemudian, kemampuan tersebut
diaplikasikan dalam rumah tangga, sekolah, dan masyarakat. Tujuannya
tiada lain supaya manusia dapat mempertahankan dan mengembangkan
hidupnya serta kelangsungan hidup masyarakatnya (Mattulada, 1983:
327).
Jika
berpijak pada hadis riwayat Bukhari yang ditulis di awal,
setiap orang diharuskan memberi pendidikan yang baik khususnya yang
sesuai serta relevan dengan ajaran Islam. Penggunaan huruf dengan faa
al-athaf
(penghubung antar kata/konjungsi) dalam hadis tersebut,menunjukan
adanya kesinambungan secara berkala. Secara tersirat, hal ini memberi
arahan bahwa ketika seseorang memiliki budak maka yang mesti
diutamakan pertama
kali
yaitu memberikan
pendidikan yang
baik. Konteks hadis ini bukan hanya berlaku kepada seorang pembeli
hamba sahaya ketika Rasulullah masih hidup. Sebab tidak dipungkiri
sampai saat sekarang, Islam sangat menjunjung tinggi pendidikan.
Dalam
hadis tersebut pemaknaan
pendidikan diturunkan
dari kata
ta’diib,
yaitu derivasi
dari
addaba-yuaddibu
yang
memiliki arti memberi adab ataupun mendidik (Yunus, 2010: 37;
Munawwir, 2002: 12).
Secara terminologi ta’diib
adalah pengenalan
serta pengakuan dengan berangsur-angsur mengenai tempat-tempat yang
telah Tuhan ciptakan, sehingga membimbing manusia ke arah pengenalan
dan pengakuan kekuasaan yang dimiliki oleh-Nya. Pengertian pendidikan
menggunakan kata ta’diib,
berarti telah mencakup unsur-unsur pengetahuan (‘ilmu),
pengajaran
(ta’liim),
dan pengasuhan yang baik (tarbiyyah)
(Al-Attas, 1992:
66).
Selain
makna ta’diib yang
berarti pendidikan secara berangsur-angsur. Bagi saya hadis tersebut
memiliki dua hal pokok yang harus disoroti,
yaitu ‘tindakan dan tujuan’. Dalam kajian sosiologi, pembahasan
tindakan dan
tujuan
ini salah satunya diungkapkan dalam teori
tindakan sosial Max Weber. Weber membagi tipe-tipe tindakannya ke
dalam empat bagian (Jones, 2010: 115). Pertama,
tindakan tradisional. Dalam tindakan ini, seseorang memperlihatkan
perilaku tertentu karena kebiasaan yang diperoleh nenek moyang, tanpa
refleksi dan perencanaan yang sadar. Kedua,
tindakan afektif,
yaitu tindakan yang didominasi perasaan atau emosi dan tanpa diiringi
perencanaan secara sadar. Tindakan afektif sifatnya spontan, tidak
rasional dan merupakan ekspresi emosional dari individu. Ketiga,
tindakan rasionalitas instrumental, yaitu tindakan sosial yang
dilakukan seseorang didasarkan atas pertimbangan dan pilihan sadar
yang berhubungan dengan tujuan dan ketersediaan alat untuk
mencapainya. Keempat,
tindakan
rasionalitas yang berorientasi pada nilai, yaitu tindakan yang
dilakukan berdasarkan pertimbangan ketersediaan alat, untuk mencapai
tujuan-tujuan yang dianggap memiliki nilai-nilai absolut. Dalam
artian,
tindakan-tindakan
sosial ditentukan oleh pertimbangan atas dasar keyakinan individu
pada nilai-nilai
(absolut)
estetis, etis dan keagamaan
(Bachtiar, 2006:
273).
Menurut
saya tujuan dan tindakan dalam hadis tersebut, mempunyai
kesamaan dengan
teori tindakan yang keempat:
tindakan
rasionalitas yang berorientasi pada nilai. Saya akan membangun serta
memisahkan mana tindakan dan mana tujuan dalam hadis di atas.
Pertama,
tindakan yang dibicarakan dalam hadis di atas adalah “mendidik
dengan pendidikan yang baik (faa
addabahaa fa ahsanu ta’diibahaa),
membebaskan (wa
a’taqahaa),
kemudian menikahi budak belian perempuan tersebut (wa
tazawwajahaa)”.
Kedua,
tindakan-tindakan
pada poin pertama akan menghasilkan tujuan berupa dua pahala (falahu
ajraani):
nilai-nilai yang bersifat absolut.
Ketiga,
sebagaimana dalam tindakan yang berorientasi pada nilai, tindakan
maupun tujuan tidak terlepas
dari pertimbangan dasar akan keyakinan individu atas agama yang
dianutnya. Yang dikemudian hari seseorang menjadikan
tindakan-tindakan tersebut—mendidik dengan pendidikan yang baik
(faa addabahaa fa
ahsanu ta’diibahaa),
membebaskan (wa
a’taqahaa),
kemudian menikahi budak belian perempuan tersebut (wa
tazawwajahaa)—sebagai
alat untuk mencapai tujuan yang bersifat absolut: dua pahala (falahu
ajraani).
Dalam
konteks ini, berarti Islam menjadikan pendidikan yang baik (faa
ahsanu ta’diibahaa)
sebagai alat untuk mencapai tujuan atau nilai-nilai yang bersifat
absolut. Maka
“pendidikan yang baik” dalam hadis ini jika dilihat melalui
perspektif tindakan sosial Max Weber, masuk kedalam tindakan
rasionalitas yang berorientasi pada nilai.
Mendidik
= tindakan sosial
Pendidikan
yang baik = alat untuk mencapai tujuan
Dua
pahala = tujuan yang bersifat absolut
|
Pendidikan
yang Baik:
bukan
sekedar Rasionalitas
yang Berorientasi pada Nilai
Sebelumnya
kita
sudah mengira-ngira, bahwa HR. Bukhari nomor 2361 jika dikerangkai
dengan tindakan sosial Max Weber, maka masuknya kedalam tindakan
rasionalitas yang berorientasi pada nilai. Namun apakah Islam hanya
menempatkan pendidikan sebagai alat untuk mencapai hal-hal yang
bersifat absolut saja? Apakah tidak ada tujuan lain selain
mendapatkan pahala dari kegiatan mendidik itu?
Untuk
menjawab pertanyaan di atas, sejenak mari kita beralih pada hadis
lain yang sama-sama membicarakan pendidikan. Dalam
HR. Bukhari yang lain disebutkan bahwa ilmu yang harus disampaikan
kepada khalayak masyarakat—pendidikan yang baik juga termasuk ke
dalamnya—adalah yang datang dari al-Qur’an serta dari nabi
sendiri. Sebagaimana
yang tercantum
dalam hadis di bawah ini.
عَنْ عَبْدِاللَّهِ بْنِ عَمْرٍأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ بَلِّغُواعَنِّي وَلَوْآيَةً وَحَدِّثُواعَنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلَاحَرَجَ وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
Dari
'Abdullah bin 'Amru bahwa Nabi Saw. bersabda: "Sampaikan dariku
sekalipun satu ayat dan ceritakanlah (apa yang kalian dengar) dari
Bani Isra'il dan itu tidak apa (dosa). Dan siapa yang berdusta atasku
dengan sengaja maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di
neraka".
(BUKHARI - 3202)
Dalam
qaidah fiqhiyyah
dinyatakan bahwa ‘asal dari perintah itu menunjukan wajib, kecuali
ada dalil yang menyalahinya’. Hadis di atas terdapat kata ballighuu
(sampaikanlah oleh kalian), sebab kata tersebut berbentuk fiil
amr (kata kerja
yang menunjukan perintah) maka asal dari menyampaikan risalah Rasul
dan kandungan al-Qur’an itu adalah wajib sebagaimana qaidah
fiqhiyyah tersebut.
Dari
sini kita mulai mengetahui, ternyata
pendidikan—dalam
pandangan Islam—bukan
hanya berelasi dengan nilai keagamaan dan penerimaan begitu saja.
Dibalik semua itu ada tindakan rasionalitas instrumental, walaupun
pondasi awal perintah menyampaikan risalah dari nabi adalah perintah
Islam yang mutlak untuk dilaksanakan. Bagaimana hal itu bisa beralih?
Ketika
perintah dari Nabi Muhammad Saw. tersebut kita amini, maka ada
motif-motif atau tujuan tertentu dibalik semua itu. Pokok
permasalahannya berada pada kata ballighuu,
tentu kita mengetahui bahwa menyampaikan sesuatu memerlukan kepada
pengikut, semakin banyak pengikut maka semakin besar pula orang-orang
yang bersedia menyampaikan serta mengenalkan ajaran Islam kepada yang
lainnya. Inilah yang saya sebut sebagai peralihan dari tindakan yang
berorientasi pada nilai kepada tindakan sosial rasionalitas
instrumental. Secara sederhana awal muncul perintah ballighuu
itu semata-mata hanya perintah dari Allah SWT. melalui utusannya
Muhammad. Padahal dibalik itu ada tujuan yang lainnya atas
tindakan−penyebaran/penyampaian ajaran−yang terdapat dalam hadis
tersebut, yaitu tujuan menyebarkan Islam lebih luas lagi. Dan tujuan
ini adalah sebagai strategi politik atau kepentingan politik, tetapi
di sisi lain juga sebagai hubungan individu yang berorientasi pada
nilai keagamaan.
Mendidik
= tindakan sosial
Ilmu
atau risalah yang berasal dari Islam (Al-Qur’an dan Hadis) =
alat untuk mencapai tujuan
Memperluas
ajaran Islam (memperbanyak pengikut) = tujuan
|
Daftar
Bacaan:
Al-Attas, Muhammad Naquib. (1992).
Konsep Pendidikan
dalam Islam.
Bandung:
Mizan.
Bachtiar, Wardi. (2006). Sosiologi
Klasik. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya Offset Bandung.
Gazalba, Sidi. (tt).Pendidikan
Islam dalam Masyarakat.
Jakarta, DKI: Direktorat Penerangan Agama.
Jones, Pip. (2010). Pengantar
Teori-Teori Sosial; dari Teori Fungsionalisme hingga Post-Modernisme.
Terj. Achmad Fedyani. Jakarta, DKI: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Mattulada, dkk. (1983). Agama
dan Perubahan Sosial.
Jakarta, DKI: CV Rajawali Jakarta.
Munawwir, Ahmad Warson. (2002).
Al-Munawwir:
Kamus Arab-Indonesia. Surabaya:
Pustaka Progressif. Cet XXV.
Yunus, Mahmud. (2010). Kamus
Arab Indonesia.
Jakarta, DKI: PT. Mahmud Yunus Wa Dzuriyyah.
Sumber
Elektronik:
Lidwa
Pustaka i-Software: Kitab 9 Imam Hadits
Maktabah
Syamilah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar