Sabtu, 23 Desember 2017

Jengkol Menurut Petani Jengkol

sumber gambar: komoditas.co.id
Oleh: Yuris Fahman Zaidan

Di Indonesia, jengkol telah jadi bahan makanan yang tidak asing. Beragam olahan yang terbuat dari jengkol bisa sering kita jumpai, baik di warteg atau restoran sekalipun. Jengkol merupakan sayuran yang bisa diolah menjadi beragam macam hidangan. Namun, tahukah kita bagaimana cara petani menanam bibit hingga menghasilkan biji jengkol?
Jengkol merupakan tanaman yang tumbuh subur di Indonesia. Apabila kita ingin memakannya, tinggal pergi ke pasar. Pasar-pasar di Indonesia pasti selalu memasok sayuran yang mempunyai bau khas ini. Mengingat, Indonesia merupakan kawasan yang cocok untuk ditanami jengkol.
Menurut Hamda Fauza dkk dalam Jurnal Prov Sem Nas Masy Biodiv Indon Vol. 1, No. 1, Maret 2015, Hal. 23-30 disebutkan bahwa jengkol merupakan tanaman yang khas di wilayah Asia Tropis serta dapat ditemui di Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Myanmar.
Seperti yang telah dituliskan Isis Prawiranagara dalam Lalab-Lalaban, pohon jengkol bisa tumbuh di dataran rendah. Umumnya, di tanah yang sejajar dengan permukaan laut hingga di tanah dengan ketinggian 1000 mdpl. Pohon jengkol bisa tumbuh mencapai 10-25 m. Sementara buahnya berukuran kecil, kira-kira mempunyai diameter 3 cm.
K. Heyne dalam bukunya Tumbuhan Berguna Indonesia menuliskan, pohon jengkol tumbuh di bagian barat nusantara. Pohon ini dibudiyakan secara umum oleh penduduk Jawa, sementara di daerah lain, pohon jengkol tumbuh liar. Kisaran 10-15 tahun, pohon jengkol mampu menghasilkan rata-rata 500 biji tiap tahunnya. Biji inilah yang nantinya dipanen para petani, sehingga kita dapat merasakan aneka ragam hidangan yang terbuat dari jengkol.
Selain bijinya dapat diolah menjadi makanan, para petani juga menggunakan biji itu untuk bibit pohon jengkol. Menurut Abah Tamin (59)—petani jengkol di Kampung Parigi, Kabupaten Subang—bibit-bibit pohon jengkol diambil dari biji jengkol yang sudah tua. Tentunya biji itu merupakan biji pilihan. Setelah mendapatkan bibit yang cocok, biji itu ditanam di pot. Jika biji yang ditanam itu sirungan, maka itulah yang dijadikan bibit dan kemudian dipindahkan ke lahan pertanian. Jangan lupa, harus diberi pupuk, disiram, dan diurus sedemikian rupa hingga jadi pohon jengkol.
Awalnya, sebelum Tamin memiliki kebun jengkol, ia membeli bibit jengkol kepada petani. Namun, setelah ia memiliki beberapa pohon jengkol, akhirnya ia mendapatkan bibitnya dari pohon jengkol yang telah ia tanam dengan jerih payahnya sendiri. Biasanya, ia memanen jengkol di perkebunannya minimal tiga bulan sekali,  itu juga jika cuacanya mendukung. Tamin menuturkan, jengkol bisa tumbuh dan dipanen di kawasan yang memiliki udara panas.
Penjualan jengkol biasanya tergantung dari hasil panen. Jika hasil panennya sedikit, maka Tamin hanya menjual jengkol ke warung di sekitaran rumahnya. Namun, jika panen banyak, ia membawa jengkolnya ke Pasar Impres di Subang. Atau kerap kali pengepul datang ke perkebunannya. Ketika panen berlangsung, Tamin bukannya tidak menemukan hambatan sama sekali. Ia sering menemukan ulat di biji-biji jengkolnya, sehingga bisa menurunkan kualitas harga jengkol itu.
Hasil penelitian Hamda Fauza dkk (2015:24) menyebutkan, akhir-akhir ini jumlah pohon jengkol semakin berkurang. Hal itu disebabkan karena tanaman jengkol belum menjadi prioritas untuk dikembangkan dalam kebijakan pemerintah. Selain itu, faktor lain yang memengaruhi kuantitas tanaman jengkol adalah kondisi iklim yang tidak menguntungkan bagi tumbuhnya tanaman jengkol.
Hal yang sama dirasakan oleh Adam (40), petani jengkol asal Desa Belendung, Kabupaten Subang. Menurutnya akhir-akhir ini panen jengkol tak menentu. Pohon jengkol tidak bisa beradaptasi dengan iklim di Subang. Seperti yang telah diungkapkan Tamin (59), pohon jengkol dapat berbuah jika cuacanya lembab dan panas. Adam juga menuturkan, karena sekarang musim penghujan dan cuacanya tidak bisa diprediksi, maka pohon pun sulit berbuah.
Jengkol memang disukai oleh masyarakat Indonesia. Namun ternyata, yang dimanfaatkan dari tumbuhnya pohon jengkol bukan sekedar bijinya saja. Menurut Jasper & Pirngadie seperti dikutip oleh K. Heyne,  kulit jengkol bisa dibuat cat. Hal ini terbukti ketika masyatakat di sepanjang pantai Kalimantan Barat membuat bahan anyam purun, yang kemudian dicat hitam dengan memasak kulitnya. Sementara di sebagian tempat, masyarakat memasak daun jengkol untuk mendapatkan cat yang alami dan tahan lama.
Biasanya dari satu pohon, petani bisa memanen jengkol hingga 100-120 kg. Umumnya di wilayah Jawa Barat, pohon jengkol tumbuh liar. Namun ada juga yang sengaja membudidayakan pohon jengkol, contohnya Tamin dan Adam. Akhir-akhir ini mereka menemukan kendala, pohon yang sudah diurus selama bertahun-tahun sulit berbuah.
Faktor yang paling berpengaruh karena cuaca yang tidak mendukung bagi pohon jengkol untuk berbuah. Imbasnya, bukan hanya pada petani saja. Masyarakat pun sulit mendapatkan jengkol, sehingga harga jengkol di pasaran melambung tinggi. Warung makan yang ada di pinggir jalan pun turut tidak menyediakan menu makanan berbahan jengkol.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar