Oleh:
Yuris Fahman Zaidan
Di
Indonesia, jengkol telah jadi bahan makanan yang tidak asing. Beragam olahan
yang terbuat dari jengkol bisa sering kita jumpai, baik di warteg atau restoran
sekalipun. Jengkol merupakan sayuran yang bisa diolah menjadi beragam macam
hidangan. Namun, tahukah kita bagaimana cara petani menanam bibit hingga
menghasilkan biji jengkol?
Jengkol merupakan tanaman yang tumbuh subur
di Indonesia. Apabila kita ingin memakannya, tinggal pergi ke pasar.
Pasar-pasar di Indonesia pasti selalu memasok sayuran yang mempunyai bau khas
ini. Mengingat, Indonesia merupakan kawasan yang cocok untuk ditanami jengkol.
Menurut Hamda Fauza dkk dalam Jurnal Prov Sem Nas Masy Biodiv Indon Vol.
1, No. 1, Maret 2015, Hal. 23-30 disebutkan bahwa jengkol merupakan tanaman
yang khas di wilayah Asia Tropis serta dapat ditemui di Indonesia, Malaysia,
Thailand, dan Myanmar.
Seperti
yang telah dituliskan Isis Prawiranagara dalam Lalab-Lalaban, pohon
jengkol bisa tumbuh di dataran rendah. Umumnya, di tanah yang sejajar dengan
permukaan laut hingga di tanah dengan ketinggian 1000 mdpl. Pohon jengkol bisa
tumbuh mencapai 10-25 m. Sementara buahnya berukuran kecil, kira-kira mempunyai
diameter 3 cm.
K.
Heyne dalam bukunya Tumbuhan Berguna Indonesia menuliskan, pohon jengkol
tumbuh di bagian barat nusantara. Pohon ini dibudiyakan secara umum oleh
penduduk Jawa, sementara di daerah lain, pohon jengkol tumbuh liar. Kisaran
10-15 tahun, pohon jengkol mampu menghasilkan rata-rata 500 biji tiap tahunnya.
Biji inilah yang nantinya dipanen para petani, sehingga kita dapat merasakan
aneka ragam hidangan yang terbuat dari jengkol.
Selain
bijinya dapat diolah menjadi makanan, para petani juga menggunakan biji itu
untuk bibit pohon jengkol. Menurut Abah Tamin (59)—petani jengkol di Kampung
Parigi, Kabupaten Subang—bibit-bibit pohon jengkol diambil dari biji jengkol
yang sudah tua. Tentunya biji itu merupakan biji pilihan. Setelah mendapatkan bibit
yang cocok, biji itu ditanam di pot. Jika biji yang ditanam itu sirungan, maka itulah yang dijadikan bibit dan
kemudian dipindahkan ke lahan pertanian. Jangan lupa, harus diberi pupuk,
disiram, dan diurus sedemikian rupa hingga jadi pohon jengkol.
Awalnya, sebelum Tamin memiliki kebun
jengkol, ia membeli bibit jengkol kepada petani. Namun, setelah ia memiliki
beberapa pohon jengkol, akhirnya ia mendapatkan bibitnya dari pohon jengkol
yang telah ia tanam dengan jerih payahnya sendiri. Biasanya, ia memanen jengkol
di perkebunannya minimal tiga bulan sekali,
itu juga jika cuacanya mendukung. Tamin menuturkan, jengkol bisa tumbuh
dan dipanen di kawasan yang memiliki udara panas.
Penjualan jengkol biasanya tergantung dari
hasil panen. Jika hasil panennya sedikit, maka Tamin hanya menjual jengkol ke
warung di sekitaran rumahnya. Namun, jika panen banyak, ia membawa jengkolnya
ke Pasar Impres di Subang. Atau kerap kali pengepul datang ke perkebunannya.
Ketika panen berlangsung, Tamin bukannya tidak menemukan hambatan sama sekali.
Ia sering menemukan ulat di biji-biji jengkolnya, sehingga bisa menurunkan
kualitas harga jengkol itu.
Hasil penelitian Hamda Fauza dkk (2015:24)
menyebutkan, akhir-akhir ini jumlah pohon jengkol semakin berkurang. Hal itu
disebabkan karena tanaman jengkol belum menjadi prioritas untuk dikembangkan
dalam kebijakan pemerintah. Selain itu, faktor lain yang memengaruhi kuantitas
tanaman jengkol adalah kondisi iklim yang tidak menguntungkan bagi tumbuhnya
tanaman jengkol.
Hal yang sama dirasakan oleh Adam (40),
petani jengkol asal Desa Belendung, Kabupaten Subang. Menurutnya akhir-akhir
ini panen jengkol tak menentu. Pohon jengkol tidak bisa beradaptasi dengan iklim
di Subang. Seperti yang telah diungkapkan Tamin (59), pohon jengkol dapat
berbuah jika cuacanya lembab dan panas. Adam juga menuturkan, karena sekarang
musim penghujan dan cuacanya tidak bisa diprediksi, maka pohon pun sulit
berbuah.
Jengkol memang disukai oleh masyarakat
Indonesia. Namun ternyata, yang dimanfaatkan dari tumbuhnya pohon jengkol bukan
sekedar bijinya saja. Menurut Jasper & Pirngadie seperti dikutip oleh K.
Heyne, kulit jengkol bisa dibuat cat. Hal ini
terbukti ketika masyatakat di sepanjang pantai Kalimantan Barat membuat bahan
anyam purun, yang kemudian dicat hitam dengan memasak kulitnya.
Sementara di sebagian tempat, masyarakat memasak daun jengkol untuk mendapatkan
cat yang alami dan tahan lama.
Biasanya dari satu pohon, petani bisa memanen
jengkol hingga 100-120 kg. Umumnya di wilayah Jawa Barat, pohon jengkol tumbuh
liar. Namun ada juga yang sengaja membudidayakan pohon jengkol, contohnya Tamin
dan Adam. Akhir-akhir ini mereka menemukan kendala, pohon yang sudah diurus
selama bertahun-tahun sulit berbuah.
Faktor yang paling berpengaruh karena cuaca
yang tidak mendukung bagi pohon jengkol untuk berbuah. Imbasnya, bukan hanya
pada petani saja. Masyarakat pun sulit mendapatkan jengkol, sehingga harga
jengkol di pasaran melambung tinggi. Warung makan yang ada di pinggir jalan pun
turut tidak menyediakan menu makanan berbahan jengkol.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar