Sabtu, 23 Desember 2017

Cak Nur dan Gagasan Masyarakat Madani


sumber gambar: beritagar.id 
Oleh: Yuris Fahman Zaidan

Bagi Cak Nur, keberhasilan Nabi hijrah ke Yastrib merupakan siasat politik yang cemerlang. Di Yastrib, Nabi bukan sekedar menjadi kepala agama tetapi beliau juga berhasil mendirikan negara dan sistem pemerintahan. Cak Nur berpandangan, peristiwa hijrah Nabi merupakan titik awal perubahan umat Islam ke arah yang lebih baik. Dari sini bisa dilihat bahwa tindakan Umar bin Khattab untuk memilih hijrah di permulaan kalender Islam—bukan pada masa kelahiran Nabi—menjadi tindakan yang benar.[1]

Cak Nur melihat hijrah ini sebagai semangat umat Islam dalam menegakan Islam di Makkah. Dengan kata lain, hijrah ke Yastrib bisa dilihat dari sudut pandang historis-sosiologis. Secara sejarah, hijrah merupakan proses yang sangat panjang. Secara sosiologis, hijrah adalah  sebuah penghargaan kerja Nabi bersama umat Islam yang sangat lama. Bahkan lewat proses yang panjang itu, Nabi sering mendapatkan kesulitan dan serangan dari orang-orang kafir Makkah.[2]
Kematian Khadijah dan Abu Thalib di tahun kesepuluh hijrah merupakan tahun kesedihan bagi Nabi. Hal itu menjadi kesempatan tersendiri bagi kaum Quraisy kafir yang ingin menindas Nabi. Karena desakan itu, akhirnya Nabi pindah ke Thaif—sebuah kota yang tidak jauh dari Makkah. Tapi beberapa penduduk Thaif menolak kehadiran Nabi dan Zaid bin Haritsah sambil melempari keduanya dengan batu. Karena penolakan itu Nabi akhirnya pulang ke Makkah.
Karena di Makkah saat itu Nabi tidak memiliki lagi kerabat dan tempat untuk berlindung. Beliau tidak langsung kembali ke rumah tapi menyepi di Gua Hira. Kemudian ia meminta perlindungan pada Mun’im bin ‘Adiy dan setelah itu melanjutkan dakwahnya kembali bersama Zaid ke suku-suku di sekitar Makkah: Bani Muharab, Farazah, Ghassan, Marrah, Hanifah, Suldim, Abs, Kindah, dan suku-suku lainnya.
Sebelum Nabi melakukan hijrah, sebenarnya telah terjadi kontak person antara Nabi dan tokoh terkemuka di Yastrib, Suwaib bin Tsamat.  Nabi mendakwahkan al-Qur’an ke Suwaib, ia merasa tertarik tapi tidak begitu saja masuk Islam. Bagi Cak Nur, pertemuan Nabi dengan Suwaib ini yang melatarbelakangi munculnya perjanjian Aqabah I. sebuah perjanjian Antara Nabi dengan 12 orang dari golongan Yastrib—dari suku Khazraj. Isi perjanjiannya bahwa Nabi meminta golongan itu untuk menyerukan kandungan al-Qur’an yang mulia. Setelah Nabi membacakan al-Qur’an, mereka bersedia masuk Islam dan dikenalah peristiwa itu sebagai Perjanjian Aqabah I.
Singkat kata, sesampai Nabi kembali ke Yastrib, beliau meletakan dasar-dasar negara melalui Islam. Semangat itu diperlihatkan oleh Nabi dengan mengganti kota Yastrib menjadi Madinah. Al-Madaniyyah berarti kota par excellence, tamadun, atau kerap disebut sebagai peradaban. Nabi berniat menjadikan Madinah sebagai bangunan sebuah masyarakat berperadaban (civil society), sebuah kota/polis, yang kelak menjadi contoh sebagai kota-kota politik umat Islam. Yang menarik di sini bahwa Rasulullah tidak berniat membangun kota atau negara yang khusus bagi umat Islam. Justru yang pertama kali ditandatangani adalah proses atau kerja sama dengan berbagai golongan yang non-Islam. Kehidupan bernegara di Madinah saat itu diatur secara bersama dan demokratis. Bahkan kepemimpinan Nabi di Madinah tidak terlepas dari proses yang demokratis.
Bagi Cak Nur, hijrah Nabi bukan sekedar bicara kegiatan fisik: perpindahan dari Makkah ke Yastrib. Tapi melambangkan peningkatan tata hidup yang ber-madaniyah, bersivilisasi, beradab, dan berbudaya. Dan itulah memang yang dibangun Nabi setelah hijrah ke Yastrib.

Konsep Masyarakat Madinah
Madinah dalam bahasa Arab berarti kota. Penegrtian itu tidak jauh beda dari tiga kata semantiknya dal-ya-nun yang berarti patuh. Dari situ pula kita dapat mengerti mengapa perkataan Arab untuk “agama” ialah dîn, suatu perkataan yang mengacu kepada ide tentang kepatuhan atau sikap patuh. Lebih lanjut, pandangan Madjid ini berkaitan dengan relasi antara Islam dan peradaban.[3]
Pandangan mengenai peradaban menjadikan agama Islam, dalam tinjauan sosiologis, kerap disebut sebagai agama yang berorientasi urban. Islam adalah agama kota, agama kehidupan teratur. Melalui hijrah, Nabi membangun masyarakat madani, yang bercirikan egalitarianisme, penghargaan berdasarkan prestasi bukan prestise, keterbukaan partisipasi seluruh anggota masyarakat, dan penentuan kepemimpinan melalui pemilihan, bukan berdasarkan keturunan.[4]
Dalam istilah yang poluler di kalangan pemikir sosial Islam, masyarakat madani (civil society) kerap kali diartikan sebagai suatu masyarakat yang berbudi luhur, berakhlak mulia, dan berperadaban, seperti dicontohkan dalam kehidupan zaman Nabi dan selama masa khulafaur rasyidin—30 tahun paling ideal masa kejayaan umat Islam dalam mengendalikan situasi sosial-politik.[5]
Beberapa asumsi lain mengatakan, masyarakat madani bukan sekadar masyarakat yang mencerminkan nilai-nilai demokratis dalam kehidupan sosial dan politik, tetapi juga sebuah bangunan masyarakat yang memiliki budi pekerti dan berakhlak mulia dan menjunjung tinggi   hak asasi manusia. Dengan kata lain, masyarakat madani adalah masyarakat yang berbudaya tinggi dan berperadaban.[6]
Bagi Cak Nur, konsep keadilan itu terbagi menjadi empat poin. Pertama, keadilan itu bersifat berimbang, tidak pincang. Maksudnya harus ada ikatan antar bagian-bagian sebagai suatu kesatuan. Apabila suatu masyarakat ingin bertahan, maka masyarakat itu harus  memiliki keseimbangan (muta‘addil). Dengan kata lain, bagian-bagiannya harus berada dalam ukuran dan hubungan satu dengan lainnya secara tepat. Namun bukan berarti keadilan itu menuntut persamaan di segala aspek. Melainkan bagian-bagian dalam suatu kesatuan itu memiliki ukuran dan bentuk hubungan sendiri  dan sesuai dengan fungsinya.[7]
Kedua, prinsip keadilan dengan mengutip pendapat Muthahari adalah mengandung makna persamaan (musâwâh, égalité) dan tiadanya diskriminasi dalam bentuk apa pun. Maka salah satu maksud ungkapan bahwa seseorang telah bertindak adil ialah jika ia memperlakukan semua orang secara sama. Ketiga, pengertian tentang keadilan bermakna sebagai penunaian hak pada orang-orang yang berhak. Sebaliknya, kezaliman dalam hal ini adalah perampasan hak dari orang yang berhak, dan pelanggaran hak oleh yang tak berhak. Keempat, keadilan dicerminkan dalam kemurahan dan limpahan rahmat Allah pada manusia sebagai ganjaran bagi pengakuan eksistensi dirinya.[8]
Perlu digaris bawahi, masyarakat madani atau civil society itu, bukan bicara berkenaan dengan pemerintahan. Tapi negara di sini mempunyai peran kunci untuk ikut mendorong pertumbuhan demokrasi. Dengan kata lain, demokratisasi atau masyarakat madani dibentuk oleh negara itu sendiri. Demokratisi tidak dapat dibina melalui kekuasaan negara, namun harus selalu diingat bahwa ia juga tidak dapat dibina tanpa kekuasaan negara.[9]
Pandangan masyarakat madani atau berperadaban ini dianggap Caknur menjadi sistem yang cocok untuk diterapkan di Indonesia. Karena cita-cita Indonesia tentang terwujudnya keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia sejalan dengan konsep dari masyarakat Madani.[10]



DAFTAR PUSTAKA
Madjid, Nucholish. 2011. Ensiklopedi Nurcholish Madjid: Jilid 1 A-G. Ed. Budhy Munawar Rachman. Jakarta: Democracy Project.
---------------. 2012. Ensiklopedi Nurcholish Madjid: Jilid 2 H-L. Ed. Budhy Munawar Rachman. Jakarta: Democracy Project.
---------------. 2012. Ensiklopedi Nurcholish Madjid: Jilid 3 M-P. Ed. Budhy Munawar Rachman. Jakarta: Democracy Project.
---------------. 2012. Ensiklopedi Nurcholish Madjid: Jilid 4 Q-Z. Ed. Budhy Munawar Rachman. Jakarta: Democracy Project.
Rachman, Budhy Munawar. 2011. Membaca Nurcholish Madjid. Jakarta: Democracy Project.
---------------. 2011. Reorientasi Pembaruan Islam: Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme Paradigma Baru Islam Indonesia. . Jakarta: Democracy Project.


[1] Nucholish Madjid, Ensiklopedi Nurcholish Madjid: Jilid 1 A-G, Ed. Budhy Munawar Rachman, (Jakarta: Democracy Project, 2011), hlm.
[2] Ibid, hlm.
[3] Nucholish Madjid, Ensiklopedi Nurcholish Madjid: Jilid 3 M-P, Ed. Budhy Munawar Rachman, (Jakarta: Democracy Project, 2012), hlm. 1746
[4] Ibid, hlm. 1748
[5] Budhy Munawar Rachman, Membaca Nurcholish Madjid, (Jakarta: Democracy Project, 2011), hlm. 183
[6] Budhy Munawar Rachman, Reorientasi Pembaruan Islam: Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme Paradigma Baru Islam Indonesia, (Jakarta: Democracy Project, 2011), hlm. 479
[7] Nucholish Madjid, Ensiklopedi Nurcholish Madjid: Jilid 2 H-L, Ed. Budhy Munawar Rachman, (Jakarta: Democracy Project, 2012), hlm. 1687
[8] Ibid, hlm. 1688-1689
[9] Nucholish Madjid, Ensiklopedi Nurcholish Madjid: Jilid 4 Q-Z, Ed. Budhy Munawar Rachman, (Jakarta: Democracy Project, 2012), hlm. 2852
[10] Nucholish Madjid, Ensiklopedi Nurcholish Madjid: Jilid 3 M-P… Op.Cit, hlm.1877

Tidak ada komentar:

Posting Komentar