Bagi Cak Nur, keberhasilan Nabi hijrah ke Yastrib merupakan siasat politik yang cemerlang. Di Yastrib, Nabi bukan sekedar menjadi kepala agama tetapi beliau juga berhasil mendirikan negara dan sistem pemerintahan. Cak Nur berpandangan, peristiwa hijrah Nabi merupakan titik awal perubahan umat Islam ke arah yang lebih baik. Dari sini bisa dilihat bahwa tindakan Umar bin Khattab untuk memilih hijrah di permulaan kalender Islam—bukan pada masa kelahiran Nabi—menjadi tindakan yang benar.[1]
Cak Nur melihat hijrah ini sebagai semangat umat Islam dalam
menegakan Islam di Makkah. Dengan kata lain, hijrah ke Yastrib bisa dilihat
dari sudut pandang historis-sosiologis. Secara sejarah, hijrah merupakan proses
yang sangat panjang. Secara sosiologis, hijrah adalah sebuah penghargaan kerja Nabi bersama umat
Islam yang sangat lama. Bahkan lewat proses yang panjang itu, Nabi sering
mendapatkan kesulitan dan serangan dari orang-orang kafir Makkah.[2]
Kematian Khadijah dan Abu Thalib di tahun kesepuluh hijrah
merupakan tahun kesedihan bagi Nabi. Hal itu menjadi kesempatan tersendiri bagi
kaum Quraisy kafir yang ingin menindas Nabi. Karena desakan itu, akhirnya Nabi
pindah ke Thaif—sebuah kota yang tidak jauh dari Makkah. Tapi beberapa penduduk
Thaif menolak kehadiran Nabi dan Zaid bin Haritsah sambil melempari keduanya
dengan batu. Karena penolakan itu Nabi akhirnya pulang ke Makkah.
Karena di Makkah saat itu Nabi tidak memiliki lagi kerabat dan
tempat untuk berlindung. Beliau tidak langsung kembali ke rumah tapi menyepi di
Gua Hira. Kemudian ia meminta perlindungan pada Mun’im bin ‘Adiy dan setelah
itu melanjutkan dakwahnya kembali bersama Zaid ke suku-suku di sekitar Makkah:
Bani Muharab, Farazah, Ghassan, Marrah, Hanifah, Suldim, Abs, Kindah, dan
suku-suku lainnya.
Sebelum Nabi melakukan hijrah, sebenarnya telah terjadi kontak
person antara Nabi dan tokoh terkemuka di Yastrib, Suwaib bin Tsamat. Nabi mendakwahkan al-Qur’an ke Suwaib, ia
merasa tertarik tapi tidak begitu saja masuk Islam. Bagi Cak Nur, pertemuan
Nabi dengan Suwaib ini yang melatarbelakangi munculnya perjanjian Aqabah I. sebuah
perjanjian Antara Nabi dengan 12 orang dari golongan Yastrib—dari suku Khazraj.
Isi perjanjiannya bahwa Nabi meminta golongan itu untuk menyerukan kandungan
al-Qur’an yang mulia. Setelah Nabi membacakan al-Qur’an, mereka bersedia masuk
Islam dan dikenalah peristiwa itu sebagai Perjanjian Aqabah I.
Singkat kata, sesampai Nabi kembali ke Yastrib, beliau meletakan
dasar-dasar negara melalui Islam. Semangat itu diperlihatkan oleh Nabi dengan
mengganti kota Yastrib menjadi Madinah. Al-Madaniyyah
berarti kota par excellence, tamadun,
atau kerap disebut sebagai peradaban. Nabi berniat menjadikan Madinah
sebagai bangunan sebuah masyarakat berperadaban (civil society), sebuah kota/polis, yang kelak menjadi contoh
sebagai kota-kota politik umat Islam. Yang menarik di sini bahwa Rasulullah
tidak berniat membangun kota atau negara yang khusus bagi umat Islam. Justru
yang pertama kali ditandatangani adalah proses atau kerja sama dengan berbagai
golongan yang non-Islam. Kehidupan bernegara di Madinah saat itu diatur secara
bersama dan demokratis. Bahkan kepemimpinan Nabi di Madinah tidak terlepas dari
proses yang demokratis.
Bagi Cak Nur, hijrah Nabi bukan sekedar bicara kegiatan fisik:
perpindahan dari Makkah ke Yastrib. Tapi melambangkan peningkatan tata hidup yang ber-madaniyah, bersivilisasi, beradab, dan berbudaya. Dan itulah memang yang
dibangun Nabi setelah hijrah ke Yastrib.
Konsep
Masyarakat Madinah
Madinah dalam bahasa Arab berarti kota. Penegrtian itu tidak
jauh beda dari tiga kata semantiknya dal-ya-nun
yang berarti patuh. Dari situ pula kita dapat mengerti mengapa perkataan Arab
untuk “agama” ialah dîn, suatu perkataan yang mengacu kepada ide tentang
kepatuhan atau sikap patuh. Lebih lanjut, pandangan Madjid ini berkaitan dengan
relasi antara Islam dan peradaban.[3]
Pandangan mengenai peradaban menjadikan agama Islam, dalam
tinjauan sosiologis, kerap disebut sebagai agama yang berorientasi urban. Islam
adalah agama kota, agama kehidupan teratur. Melalui hijrah, Nabi membangun
masyarakat madani, yang bercirikan egalitarianisme, penghargaan berdasarkan
prestasi bukan prestise, keterbukaan partisipasi seluruh anggota masyarakat,
dan penentuan kepemimpinan melalui pemilihan, bukan berdasarkan keturunan.[4]
Dalam
istilah yang poluler di kalangan pemikir sosial Islam, masyarakat madani (civil
society) kerap kali diartikan sebagai suatu masyarakat yang berbudi luhur,
berakhlak mulia, dan berperadaban, seperti dicontohkan dalam kehidupan zaman Nabi dan selama masa khulafaur rasyidin—30 tahun paling ideal masa kejayaan umat Islam dalam mengendalikan
situasi sosial-politik.[5]
Beberapa asumsi lain
mengatakan, masyarakat madani bukan sekadar masyarakat yang mencerminkan
nilai-nilai demokratis dalam kehidupan sosial dan politik, tetapi juga sebuah
bangunan masyarakat yang memiliki budi pekerti dan berakhlak mulia dan
menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Dengan kata lain, masyarakat madani adalah masyarakat yang berbudaya tinggi dan
berperadaban.[6]
Bagi Cak Nur, konsep keadilan itu terbagi menjadi empat poin. Pertama, keadilan itu bersifat
berimbang, tidak pincang. Maksudnya harus ada ikatan antar bagian-bagian
sebagai suatu kesatuan. Apabila suatu masyarakat
ingin bertahan, maka masyarakat itu harus
memiliki keseimbangan (muta‘addil).
Dengan kata lain, bagian-bagiannya harus berada dalam ukuran dan hubungan satu
dengan lainnya secara tepat. Namun bukan berarti keadilan itu menuntut
persamaan di segala aspek. Melainkan bagian-bagian dalam suatu kesatuan itu
memiliki ukuran dan bentuk hubungan sendiri
dan sesuai dengan fungsinya.[7]
Kedua,
prinsip keadilan dengan mengutip pendapat Muthahari adalah mengandung makna
persamaan (musâwâh, égalité) dan tiadanya diskriminasi dalam
bentuk apa pun. Maka salah satu maksud ungkapan bahwa seseorang telah bertindak
adil ialah jika ia memperlakukan semua orang secara sama. Ketiga, pengertian tentang keadilan bermakna sebagai penunaian hak
pada orang-orang yang berhak. Sebaliknya, kezaliman dalam hal ini adalah
perampasan hak dari orang yang berhak, dan pelanggaran hak oleh yang tak
berhak. Keempat, keadilan dicerminkan
dalam kemurahan dan limpahan rahmat Allah pada manusia sebagai ganjaran bagi
pengakuan eksistensi dirinya.[8]
Perlu digaris bawahi, masyarakat madani atau civil society itu, bukan bicara
berkenaan dengan pemerintahan. Tapi negara di sini mempunyai peran kunci untuk
ikut mendorong pertumbuhan demokrasi. Dengan kata lain, demokratisasi atau
masyarakat madani dibentuk oleh negara itu sendiri. Demokratisi tidak dapat
dibina melalui kekuasaan negara, namun harus selalu diingat bahwa ia juga tidak
dapat dibina tanpa kekuasaan negara.[9]
Pandangan masyarakat madani atau berperadaban ini dianggap
Caknur menjadi sistem yang cocok untuk diterapkan di Indonesia. Karena
cita-cita Indonesia tentang terwujudnya keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia
sejalan dengan konsep dari masyarakat Madani.[10]
DAFTAR PUSTAKA
Madjid,
Nucholish. 2011. Ensiklopedi Nurcholish
Madjid: Jilid 1 A-G. Ed. Budhy Munawar Rachman. Jakarta: Democracy Project.
---------------.
2012. Ensiklopedi Nurcholish Madjid:
Jilid 2 H-L. Ed. Budhy Munawar Rachman. Jakarta: Democracy Project.
---------------.
2012. Ensiklopedi Nurcholish Madjid:
Jilid 3 M-P. Ed. Budhy Munawar Rachman. Jakarta: Democracy Project.
---------------.
2012. Ensiklopedi Nurcholish Madjid:
Jilid 4 Q-Z. Ed. Budhy Munawar Rachman. Jakarta: Democracy Project.
Rachman,
Budhy Munawar. 2011. Membaca Nurcholish
Madjid. Jakarta: Democracy Project.
---------------.
2011. Reorientasi Pembaruan Islam: Sekularisme, Liberalisme
dan Pluralisme Paradigma Baru Islam Indonesia. .
Jakarta: Democracy Project.
[1] Nucholish Madjid, Ensiklopedi
Nurcholish Madjid: Jilid 1 A-G, Ed. Budhy Munawar Rachman, (Jakarta:
Democracy Project, 2011), hlm.
[2] Ibid, hlm.
[3] Nucholish Madjid, Ensiklopedi
Nurcholish Madjid: Jilid 3 M-P, Ed. Budhy Munawar Rachman, (Jakarta:
Democracy Project, 2012), hlm. 1746
[4] Ibid, hlm. 1748
[5] Budhy Munawar Rachman, Membaca
Nurcholish Madjid, (Jakarta: Democracy Project, 2011), hlm. 183
[6] Budhy Munawar Rachman, Reorientasi
Pembaruan Islam: Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme Paradigma Baru Islam
Indonesia, (Jakarta: Democracy Project, 2011), hlm. 479
[7] Nucholish Madjid, Ensiklopedi
Nurcholish Madjid: Jilid 2 H-L, Ed. Budhy Munawar Rachman, (Jakarta:
Democracy Project, 2012), hlm. 1687
[8] Ibid, hlm. 1688-1689
[9] Nucholish Madjid, Ensiklopedi
Nurcholish Madjid: Jilid 4 Q-Z, Ed. Budhy Munawar Rachman, (Jakarta:
Democracy Project, 2012), hlm. 2852
[10] Nucholish Madjid, Ensiklopedi
Nurcholish Madjid: Jilid 3 M-P… Op.Cit, hlm.1877
Tidak ada komentar:
Posting Komentar