Kamis, 28 Desember 2017

Raja Filsuf sebagai Benih Totaliterisme, Benarkah?[1]

sumber gambar: www.cartoonstock.com/
 
Oleh: Yuris Fahman Zaidan[2]

Sejak abad ke 20 Plato diserang dari berbagai arah. Dalam tradisi filsafat misalnya, Nietzche memandang Plato sebagai pemikir awal yang menyebarkan sumber nihilisme di Eropa. Sementara Heidegger meyakini Plato telah melupakan pembicaraan Ada dalam filsafat, dengan menyatakan bahwa Plato telah mengawali sejarah metafisika—sejarah kelupaan akan ada. Dan Delueze menyerang pemikiran Plato sebagai filsafat transendensi.[3]
Kritik besar-besaran pada pemikiran Plato juga bukan hanya hadir dalam tradisi filsafat. Dalam lanskap sosial-ekonomi-politik, ajaran Plato tentang Negara yang Adil pun tidak lepas dari kritikan. Adalah Karl Popper yang mengritik habis-habisan konsep Negara Adil Plato sebagai sumber dari totaliterisme. Anggapan Popper ini didasarkan pada negara yang diideal-Idealkan Plato, sebagaimana ia tulis dalam bukunya:

Analisa sosiologi Plato mempermudah penjelasan program politiknya. Tuntutan fundamentalnya dapat ditunjukan dengan dua buah formula. Formula pertama berhubungan dengan teori Idealisnya tentang perubahan dan kemandegan, sedangkan yang kedua berhubungan dengan naturalismenya. Formula Idealisnya itu adalah: Hentikan semua perubahan Politik! Perubahan adalah suatu kejahatan, kemandegan adalah kebaikan. Semua perubahan dapat dihentikan jika negara itu merupakan salinan sempurna dari aslinya, yaitu Forma atau Ide kotanya. Jika timbul pertanyaan bagaimana hal ini bisa dipraktikan, kita dapat menjawabnya dengan formula naturalis, yaitu: Kembalikan ke kodrat! Kembali ke jaman asli leluhur kita, negara primitif yang sesuai dengan kodrat manusia, dan oleh karenanya bersifat stabil; kembali ke bentuk patriarki tribal pra-Kejatuhan, kembali ke hakikat pemerintah kelas di mana minoritas cerdik pandai memerintah mayoritas rakyat yang dungu.[4]
Dari kutipan di atas, terlihat bagaimana alih-alih negara itu Ideal tapi ujungnya keidealan tersebut bisa mewujud dalam sistem totaliter: ketika tidak ada pembebasan pada individu. Negara Adil versi Plato selalu saja didasarkan pada kebenaran para penguasa Platonik (Raja Filsuf).[5] Hal ini yang menurut Popper akan berimplikasi bahwa otoritas kebijakan negara hanya boleh muncul dari satu pihak: raja (sekaligus) filsuf.
Namun ada yang luput dari pembacaan Popper, Raja Filsuf tidak seperti yang dibayangkan akan mengatur segala elemen dalam masyrakat. Sebab menurut George Klosko, Raja Filsuf memerintah bukan untuk dirinya sendiri. Plato juga memiliki batasan pada tindak-tanduk yang didaulatnya sebagai Raja Filsuf.
Di antara batasan itu misalnya: 1) Penguasa tidak boleh menjadikan wewenangnya untuk memonopoli barang dan jasa milik kaum produktor (petani dan pedagang); 2) Negara Adil yang dibayangkan Plato berbeda dengan rezim timokrasi dan oligarki—di mana kelas penguasa mengerup kekayaan Negara dan memerbudak rakyat; 3) Raja Filsuf musti mengorbankan hak milik dan hak keluarga agar mendapat kepercayaan dari kelas bawah; 4) Sementara kelas bawah walaupun tidak memiliki hak berkuasa, tapi memiliki hak khusus untuk mengendalikan harta kekayaan Negara.[6]
Di sisi lain, kaum pedagang secara naluriah adalah orang-orang yang menyukai uang (seks, makan, minum) sehingga secara instingtif mereka tidak peduli pada urusan politik. Dari penggambaran ini saja kita bisa mengandaikan, bahwa para pedagang tidak rela bertukar posisi dengan Raja Filsuf.[7] Sebab Raja Filsuf harus memiliki rasa pengorbanan diri yang justru tidak ada dalam kelas bawah yang hanya melulu bicara persoalan epithumia.
Selain Raja Filsuf yang menjadi sasaran kritik Popper, ia juga memersoalkan ‘kemandegan’ sebagai sesuatu yang baik tinimbang ‘perubahan’. Menurutnya, Plato telah menahan—bahkan lebih parah tidak menghendaki—laju perubahan dan mendasarkan sistem negara yang Ideal hanya pada satu masa (dalam hal ini masa awal/dahulu).
Dari pendasarannya pada masa lampau, salah satu asumsi negara yang diidealkan Plato berkaitan dengan pengontrolan ekonomi. Menurut Russell, sistem ekonomi Plato menyarankan komunisme. Kendati komunisme yang digaungkan Plato hanya bertitik tolak pada otoritas kelas pemimpin[8] dan kelas serdadu.[9] Otoritas inilah yang menghalangi kebebasan individu,—dalam kerangka Popperian—negara seolah menjadi alat represi yang dikendalikan oleh Raja Filsuf. Tapi di balik kritik Popper atas Plato, saya melihat vis-a-vis antara komunisme dan liberalisme.
Komunisme plato jelas didasarkan pada cara-cara kolektif dalam berkehidupan. Russel menyontohkannya seperti hidup dalam asrama, makan bersama secara berkelompok, atau mereka dilarang memiliki barang pribadi kecuali memang sangat dibutuhkan. Semuanya diperuntukan untuk kemaslahatan umum.[10]
Sebagaimana seorang liberal, Popper hendak membantah argumen kolektivisme Plato sebagai awal dari ketidakberpihakan pada individu. Tendensi liberalisme itu diperlihatkan Popper dalam tulisannya yang lain:
Prinsip-prinsip liberalisme mungkin digambarkan (paling tidak sekarang ini) sebagai prinsip-prinsip penilaian, dan jika perlu perombakan atau pengubahan, atas lembaga-lembaga yang ada. Seseorang juga dapat mengungkapkan hal ini dengan mengatakan bahwa liberalisme lebih merupakan suatu keyakinan evolusioner ketimbang revolusioner (kecuali jika ia dihadapkan dengan sebuah rezim tiranis).[11]
Dari kutipan di atas, beberapa tesis liberalisme Popper jelas bertentangan dengan konsep kolektivisme Plato. Pertentangan itu bisa dilihat dari dua poin. Pertama, Plato mendukung kemandegan, tapi Popper justru mengarah pada perubahan/perombakan. Kedua, Plato mengusung kolektivisme, sementara Popper mendaulat kebebasan individu—yang memuat dasar-dasar liberalisme.
Berbeda dengan Popper, Alain Badiou justru melihat positif gagasan idea Plato. Idea Plato inilah yang Badiou rekonstruksi menjadi “kebenaran” yang dibedakan dari opini umum masyarakat tentang apa yang patut dan tidak. Badiou mencoba menghidupkan idealisme melalui Plato, namun uniknya sambil memerjuangkan idea tentang kesetaraan radikal. Degan kata lain, ia mencoba menghidupkan idea komunisme yang abadi dengan mewujudkan beragam masyarakat tanpa kelas.[12]
Tapi pertentangan antara gagasan komunisme Plato versus liberalisme Popper bukan yang akan saya persoalkan. Saya hanya menunjukan bahwa Popper pun tidak lepas dari ideologi tertentu dan ia mencoba memangkas ideologi lain yang berseberangan dengannya: komunisme. Tulisan ini akan menjadi pembacaan ulang saya pada Popper terkait tuduhan totaliter atas Plato. Terutama saya akan banyak membahas konten-konten yang ada di bab delapan (tentang Raja Filsuf) dalam bukunya, Masyarakat Terbuka dan Musuh-musuhnya (2008).

Menyoal Raja Filsuf dan Rasionalitas Instrumental
Pembicaraan Raja Filsuf dalam kerangka Platonian penting untuk dihubungkan dengan rasionalitas instrumental. Karena di dalam tulisan ini kita akan membahas perbedaan rasionalitas instrumental kelas-kelas yang telah disebutkan dalam Negara Adil versi Plato.
Dalam kajian sosiologi, kajian rasionalitas instrumental mengemuka pada pandangan Weber. Menurutnya, tindakan sosial terbagi dalam empat bagian. Pertama, tindakan tradisional. Dalam tindakan ini, seseorang memperlihatkan perilaku tertentu karena kebiasaan yang diperoleh nenek moyang, tanpa refleksi dan perencanaan yang sadar. Kedua, tindakan afektif, yaitu tindakan yang didominasi perasaan atau emosi dan tanpa diiiringi perencanaan secara sadar. Tindakan afektif sifatnya spontan, tidak rasional dan merupakan ekspresi emosional dari individu. Ketiga, tindakan rasionalitas instrumental, yaitu tindakan sosial yang dilakukan seseorang didasarkan atas pertimbangan dan pilihan sadar yang berhubungan dengan tujuan dan ketersediaan alat untuk mencapainya. Keempat, tindakan rasionalitas yang berorientasi pada nilai, yaitu sifat rasionalnya bahwa alat-alat yang ada hanya merupakan pertimbangan dan perhitungan yang sadar, sementara tujuan-tujuannya sudah ada di dalam hubungannya dengan nilai-nilai individu yang bersifat absolut.  Dalam artian tindakan-tindakan sosial ditentukan oleh pertimbangan atas dasar keyakinan individu pada nilai-nilai estetis, etis dan keagamaan.[13]
Dari kacamata Weber ini, saya akan mencoba mengelaborasi bahwa anjuran Plato tentang Raja Filsuf sebagai pemimpin itu dimungkinkan.  Bagi Weber, tindakan rasionalitas instrumental merupakan sebuah tindakan yang didasarkan pada pertimbangan sadar yang berkaitan dengan tujuan dari tindakan itu sendiri.
George Klosko berpendapat, tiap kelas yang digambarkan Plato memiliki rasionalitas instrumentalnya masing-masing. Kelas pedagang memiliki rasionalitas instrumental berupa keutamaan keugaharian[14] (mengarah pada pencarian keuntungan). Kelas tentara memiliki keutamaan keugaharian dan keberanian, artinya rasionalitas instrumentalnya mengarah pada pencarian keuntungan dan mementingkan nilai-nilai harga diri yang benar. Sementara kelas penguasa (dalam hal ini Raja Filsuf) menjadi bijak karena rasionalitasnya juga mengukur batas-batas pikirannya sendiri.[15]
Secara sederhana pendasaran Plato tentang Raja Filsuf yang menjadi pemimpin itu tidak salah amat. Sebab rasionalitas instrumentalnya pun telah memenuhi kualifikasinya. Selama kaum produktor dan tentara belum mencapai kebijaksanaan seperti yang dimiliki oleh Raja Filsuf maka ia tidak berhak untuk menjadi penguasa negara. Dan perlu diingat walaupun Raja Filsuf yang diperkenankan oleh Plato menjadi sang penguasa, mereka juga tidak boleh berbuat sewenang-wenang. Mereka harus mendasarkan diri pada kemaslahatan umat. Karena jika tidak mendasarkan diri pada kemaslahatan umat dan ujung-ujungnya bertindak sewenang dewek, ini akan jatuh pada oligarki dan tirani—yang justru Plato pun telah mengritiknya. Tentang pembagian kerja, lebih jelasnya lihat bagan di bawah:

Jiwa (Psukhe)
Keutamaan (Arete)
Negara (Polis)
Epithumia
Keugaharian
Kaum produktor
(money-makers)
Thumos
Keugaharian +
Keberanian
Para penjaga
(the helpers/guardians)
Logistikon
Keugaharian +
Keberanian +
Kebijaksanaan
Para pemimpin
(the counselors/filosopher kings)
 Disarikan dari: A. Setyo Wibowo, Op.Cit, hlm. 235

Saya melihat konsep Plato ini bukan totaliterisme seperti yang dikatakan Popper. Tapi justru spesifikasi kerja. Contoh konkretnya, jika kita tidak memiliki keahlian untuk membuat besi maka kita tidak boleh mengambil kerja itu. Karena jika diambil niscaya struktur sosial akan kacau balau. Begitu pun terkait Negara Adil Platonian, jika kau hanya memiliki tingkat keutamaan keugaharian dan tidak memiliki keberanian serta kebijaksanaan lebih baik kau jadi kaum produktor. Karena jika ingin mengatur negara kau tak cukup hanya menggunakan keugaharian, tapi harus juga menggunakan keberanian dan kebijaksanaan.
Contoh lainnya, apakah militer seperti Menwa di UIN SGD Bandung berhak menjadi para pemimpin? Jika kita memakai konsep Plato jawabannya jelas tidak bisa. Sebab Menwa katakanlah hanya memiliki keugaharian dan keberanian. Menimbang peristiwa G 30 S saja hanya berdasarkan satu film (Film G 30 S/PKI garapan Arifin C. Noer) bagaimana mereka bisa merengkuh kebijaksanaan! Jalas, dalam konsepsi ini Menwa hanya bisa ditaruh di posisi para penjaga.
Alih-alih memandang konsep ini sebagai totaliter justru saya melihatnya sebagai tawaran spesifikasi kerja di abad pra masehi. Durkheim sebenarnya telah panjang lebar bicara tentang spesifikasi kerja dalam bukunya yang terkenal The Division of Labour in Society. Menurutnya pembagian kerja hadir menjadi sesuatu yang niscaya dalam masyarakat organik.[16]
Di dalam kajian sosiologi organisasi, spesifikasi kerja terbentuk karena masyarakat atau kelompoknya itu heterogen. Ciri dari masyarakat homogen umumnya kurang memiliki konflik antar sesama, hanya sedikit perbedaan pendapat di antara anggota kelompok, komunikasi yang mengandalkan perasaan dan lebih banyak interaksinya. Sementara ciri masyarakat heterogen memiliki intensitas konflik yang tinggi, interaksinya sedikit, serta memiliki banyak perbedaan pendapat di antara anggota.[17]
Karena masyarakatnya heterogen maka akan lebih bermanfaat jika tugas-tugasnya itu kompleks,  kolektif, membutuhkan kreativitas tinggi, dan memerlukan penyelesaian yang cepat.[18] Bila kita relasikan pada konsepsi Plato, maka terlebih dahulu kita harus mengajukan pertanyaan: “Apakah masyarakat Athena saat itu dalam posisi heterogen sehingga memantik Plato untuk mengeluarkan ajaran tentang Raja Filsuf?”
Untuk menjawab pertanyaan di atas, mari kita simak dulu dengan seksama sejarah kemunculan ajaran-ajaran Plato ini dari uraian Setyo Wibowo ketika mengisi ceramah tentang Platonisme di Salihara tanggal 19 Maret 2016:
“Platon lahir di Athena tahun 428/427 SM, dan meninggal di Athena juga pada tahun 348/347 SM pada usia 81 tahun. Ia hidup persis di periode ketika polis (kota/negara) Athena yang demokratis pelan-pelan meredup sebelum akhirnya nanti dikalahkan oleh Philippos Makedonia, ayah Alexander Agung, sepuluh tahun setelah kematian Platon (tahun 338 SM).
Platon tampaknya menyadari situasi yang menurun ini.
Ketika Platon lahir, Athena masih menikmati posisi puncaknya sebagai pimpinan Liga Delos. Athena adalah polis (negara-kota) dengan sistem demokrasi yang paling berkuasa. Kekuatan militer dan maritimnya nomor satu, kultur intelektual dan artistiknya jauh mengatasi polis-polis lainnya di Yunani. Apalagi setelah kemenangan dalam perang Medik—perang melawan Kerajaan Persia yang terjadi pada tahun 492-490 SM, yang diingat sejarah karena kemenangan heroik Athena di medan laga Marathon—, Athena menjadi pemimpin untuk koalisi polis-polis di Yunani. Namun sebagaimana pepatah Lord Acton berlaku universal, bahwa power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely, kekuasaan Athena yang terlalu besar akhirnya membuat Athena terlalu mendahulukan kepentingannya sendiri daripada kepentingan koalisi! Athena menjadi imperialis dan ekspansionis. Polis tetangga, Sparta, sebuah polis dengan sistem pemerintahan oligarkis, muncul memimpin koalisi lain yang menjadi rival Athena.
Persaingan pengaruh ini akan berujung, akhirnya, pada perang antar sesama orang Yunani! Polis-polis yang bernaung di bawah pimpinan Athena dan Sparta akan saling bertempur. Tahun 431 SM pecahlah perang Peloponnesos.Perang saudara antara « rejim demokrasi » melawan « rejim oligarkis » berlangsung sangat panjang (kurang lebih 30 tahun) dan menggerogoti segala sendi kehidupan kedua belah pihak. Namun, tidak sesederhana demokrasi melawan oligarki, yang terjadi sebenarnya, mereka yang membela “demokrasi” sejatinya hanya membela rejim imperialis dan ekspansionis Athena. Sebaliknya, polis-polis yang membela Sparta (rejim oligarkis) justru mereka yang mendukung ide kemerdekaan dan otonomi tiap polis dari kungkungan Athena!
Perang saudara Peloponessos (Athena dengan sekutu-sekutunya melawan polis-polis lain di bawah pimpinan Sparta) mengakhiri kejayaan Athena.Di lautan Aegos-Potamos, armada laut Athena hancur kalah pada tahun 404 SM. Athena keluar sebagai pecundang dari perang saudara ini.Sparta menguasai Athena dan menempatkan rejim boneka. Sebuah oligarki, yang terkenal dengan nama “Tirani 30 Orang” ditempatkan. Xarmides (paman Platon dari pihak ibu) dan Kritias (keponakan ibu Platon) ikut masuk dalam rejim para Tiran ini.Mereka berkuasa sangat singkat (hanya satu tahun), tetapi pemerintahan mereka kejam dan berlumuran darah. Terror meraja di Athena.Kaum demokrat terpaksa lari mengungsi.Akhirnya, tahun 403 SM rejim Tiran diruntuhkan, dan demokrasi dikukuhkan lagi di Athena.
Sebuah bentuk pemerintahan yang justru akan mengguncangkan Platon karena sistem demokratis inilah yang menghukum mati gurunya, Sokrates, pada tahun 399 SM.
Maka suatu hari, Platon memutuskan untuk memberikan hidupnya bagi filsafat. Dua keputusan besar membuat dia menjauhkan diri secara radikal dari keluarga dan konteks politik saat itu. Pertama, dia tidak mau menikah, padahal memiliki anak yang nantinya akan dibesarkan menjadi warga polis adalah kewajiban terhadap keluarga dan klan keluarganya. Untunglah, meski tidak memiliki anak, Platon masih bisa memenuhi kewajibannya sebagai warga negara Athena. Kalau Platon tidak memiliki anak, ini juga tidak bisa begitu saja digunakan sebagai bukti akan homoseksualitas yang tampak dalam dialog-dialog yang ditulisnya. Kedua, pada tahun 387 SM, ia mendirikan sebuah sekolah filsafat, yang bernama Akademeia. Platon mendirikan dan menjalankan sekolah ini dengan biayanya sendiri.
Lembaga baru yang terletak di sebelah barat daya Athena ini segera menarik minat banyak.”
Dari uraian di atas saya mencatat ada keheterogenan di Athena. Sehingga dalam kerangka sosiologi organisasi jika kelompok ingin lebih bermanfaat maka kerja-kerja anggota dalam kelompok itu harus dispesifikasikan dan dikolektifkan. Spesifikasi dan kolektifisasi itulah yang tercermin dari ajaran-ajaran Plato (tentang tiga kelas) seperti yang telah dibahas sebelumnya. Untuk menguatkan bahwa saat itu Athena telah heterogen saya catatkan dalam beberapa poin.
Pertama, Athena terlalu mendahulukan kepentingannya sendiri daripada kepentingan koalisi. Kedua, Athena menjadi imperialis dan ekspansionis. Ketiga, polis tetangga, Sparta, sebuah polis dengan sistem pemerintahan oligarkis, muncul memimpin koalisi lain yang menjadi rival Athena. Keempat, ada perang antar sesama orang Yunani: Athena vs Sparta. Dari keempat poin inilah setidaknya yang bagi saya menunjukan bahwa masyarakat Athena waktu itu telah heterogen sehingga memantik Plato untuk memunculkan konsepsi tentang pembagian kerja.
Disamping keheterogenan Athena waktu itu, tuduhan totaliterisme pada Plato yang dilakukan Popper juga seperti membabi buta. Popper memukul rata ajaran Plato bahwa ia adalah dalang di balik ide-ide totaliter. Padahal jika kita lihat pada bentuk-bentuk toliter pun bergam.
C. C. W. Taylor tidak memungkiri bahwa Plato bersifat totaliter, tapi jenis totaliternya belum jelas seperti apa. Berawal dari itu Taylor berangkat dari tiga jenis totaliter sesuai dengan tahapannya. Pertama, totaliterisme ekstrem, individu dikebawahkan dan menjadi eksploitasi negara, contoh fiktifnya negara Oceania dalam novel Orwell, 1948; contoh konkretnya adalah Nazi yang memiliki anti-humanis, anti-individu, dan anti-rasional. Kedua, totaliterisme lunak yang mempunyai anggapan bahwa visi Negara sebagai kesatuan organ di mana individu bukan menjadi sarana, karena individu bekerja keras demi negara itu sendiri.  Ketiga, paternalisme, di mana prioritas ada pada individu.[19]
Lalu di mana posisi Plato di balik ketiga bentuk totaliterisme itu? Menurut Taylor, pemikiran Plato sesungguhnya hanya paternalisme dan bukan totaliterisme ideologis. Ajaran Plato hanya didasarkan pada pengetahuan orang yang lebih tahu pada pengondisian negara. Di titik ini, Plato tidak bisa disebut totaliter sebagaimana yang dituduhkan Popper.
Maka tidak ada bias bahwa kebahagian seolah-olah adalah kebahagian para Raja Filsuf yang harus diterapkan bagi seluruh anggota lainnya. Kebahagian para filsuf dan kelas lainnya dilakukan secara bersama-sama. Pada tataran praktisnya, para penjaga hanya memiliki communal property dan communal family. Hal itu dilakukan bukan untuk keuntungan sempit para penjaga, tapi agar mereka tidak mengganggu kepentingan Negara (bersama). Sementara tanah dan property hanya dimiliki kelas bawah.
Kenapa Plato di sisi lain merujuk pada Sparta dibanding Athena? Karena Sparta sendiri pun justru menerapkan gagasan yang sepertinya sama dengan ajaran Plato. Konstitusi Sparta melarang warga Negaranya memerjualkan tanah. Bahkan private property diperbolehkan dipakai secara bersama-sama walaupun hakikatnya tetap dimiliki oleh pribadi (dimiliki kelas bawah).
Di sisi lain, Popper juga salah mengartikan kebahagiaan Platonik, menurutnya kebahagian Plato lebih bersifat abstrak, sebuah happiness of the whole yang berdiri sendiri mengorbankan individu-individu lainnya. G. Vlastos jelas tidak sepakat dengan argumen Popper ini, dengan teliti ia menunjukan kesalahan pengambilan keputusan Popper tentang happiness dalam buku The Republic. Menurut Vlastos happiness Plato bukan happiness of the whole sebagai entitas yang terpisah. Justru the whole yang dimaksud bukan merujuk pada Raja Filsuf tapi pada polis sendiri. Dengan kata lain, kebahagian/keuntungan itu ditujukan bukan bagi polis sebagai entitas terpisah, melainkan keuntungan seluruh anggota yang menghuni polis itu.[20]

Kelas dan Kodrat
Konsep kelas dan korat sebenarnya bukan diawali oleh Plato. Adalah Orakel Delphoi dan pembicaraan moralitas baru yang jauh mendahului ajaran kelas dan kodratnya Plato. Konsep itu dinamakan Isonomia, yakni pembagian time (martabat) bagi setiap orang sesuai dengan porsinya. Isonomia sebenarnya hadir dari mitologi Yunani, yakni suatu kepercayaan yang didasarkan pada dewa-dewi Yunani. Saat itu, kedudukan peramal (orakel) menempati posisi sentral dalam kehidupan keberagamaan orang Yunani.[21] Ada beberapa situs peramal yang terkenal, seperti Delphoi, Dodona, dan Lebadea. Tetapi situs yang paling terkenal saat itu adalah kuil Apollo di Delphoi. Kisah keterkenalan Delphoi sebagai tempat ramal sebenarnya sudah dimulai sejak Agamemnon, raja Argos, meminta nasihat peruntungan kaum Yunani dalam perang Troia.[22]
Pembagian time juga turut hadir dalam ajaran-ajaran Plato yang bisa dilihat dari perdebatan Sokrates bersama lawan debatnya. Salah satu lawan debat Sokrates saat itu yang gigih memertanyakan konsep Raja Filsuf Sokrates adalah Glaukon. Ia kemudian mengajukan pertanyaan pada Sokrates: mungkinkah polis ideal itu terengkuh? Atau hanya itu merupakan politik Sokrates? Dan bagaimana langkah konkret menuju polis ideal itu? Untuk menjawab pertanyaan dari Glakoun tersebut, Sokrates menekankan kehadiran Raja Filsuf sebagai solusi merengkuh polis ideal. Hal itu seperti yang dicatat oleh Plato dalam Poleiteia:
“Sampai ... para filsuf menjadi raja dalam negeri kita dalam mereka yang sekarang kita sebut raja (basilēs) dan tuan (dunastai) mempelajari filsafat sungguh-sungguh—sehingga terwujud rangkaian antara kedua hal ini, yakni kekuatan politik dan filsafat (dumanis te politikē kai philosophia)—... tak akan ada akhir masalah-masalah, Glaukon yang baik, di negeri kita ataupun, aku rasa, bagi seluruh umat manusia. Sebelum hal itu terjadi, tak akan ada kesempatan bagi konstitusi yang telah kita ungkapkan dalam teori untuk dipraktikan dalam batas-batas kemungkinan dan mewujud.” (Republic 473c9-e2)[23]
Dari pernyataan tersebut jelas melihat bahwa Raja Filsuf menjadi tonggak satu-satunya kepemimpinan yang ada di suatu negara. Jika dihubungkan dengan model emansipasi Alegori Gua dalam konteks pemikiran konstitusi Plato, kita akan mengetahui bahwa pembebasan itu bisa dilakukan oleh orang yang berpengetahuan. Sebab dalam lanskap Plato, seorang pemimpin politik adalah orang yang tahu cara mengurus polis. Demikian juga dalam Alegori Gua, sang tawanan yang terbebas adalah seseorang yang mempunyai akses pada kenyataan yang sesungguhnya di luar goa.
Kalau memang seperti itu apakah tuduhan Popper benar bahwa orang yang dianggap memiliki pengetahuan bisa menimbulkan totaliterisme? Memang, Plato mendasarkan negara dipimpin oleh orang-orang terbaik (dalam hal ini Raja Filsuf). Tetapi bagi Plato, orang-orang baik itu juga tidak boleh bertindak semena-mena. Kenapa bisa seperti itu? Mari kita baca dari yang disebut Plato sebagai degenerasi.
Ada lima bentuk degenerasi konstitusi dalam pemikiran Plato[24]:
1            1. Aristokrasi       : pemerintahan oleh orang-orang terbaik
2            2. Timokrasi        : pemerintahan oleh orang-orang terhormat
3            3. Oligarki           : pemerintahan oleh orang-orang berpunya
              4. Demokrasi       : pemerintahan oleh semua orang
              5. Tirani               : pemerintahan oleh satu orang

Walaupun ketiga bentuk pertama bisa digolongkan pada oligarki, yakni pemerintahan oleh sebagian orang. Tapi Plato memiliki pengertian sendiri atas nama-nama tersebut. Aristokrasi dalam versinya bukan pemerintahan yang dipimpin kaum bangsawan, melainkan oleh “kaum terbaik”. Mungkin kata aristos sendiri yang bisa diterjemahkan pada ‘baik’ atau ‘bangsawan’. Maka tak aneh jika ada komentator yang bernama Laks, menyebut pemerintahan terbaik Plato itu bukan aristokrasi tapi nookrasi.[25]
Dari sini kita dapat mengetahui bahwa tuduhan totaliter Popper bisa diragukan. Karena konsep aristokrasi Plato bukan aristokrasi seperti biasanya. Aristokrasi Plato adalah nookrasi, di mana kerja kenegaraan itu terspesialisasi sesuai kemampuan anggota yang ada dalam negara itu.

Daftar Bacaan
George, Ritzer. (2015). Teori Sosiologi: dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. Terj. Saut Pasaribu, dkk. Cet. II. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Jones, Pip. (2009). Pengantar Teori-teori Sosial; dari Teori Fungsionalisme hingga Post-modernisme. Cet. II. Jakarta: Yayasan Putaka Obor Indoneisia.
Liliweri, Alo. (2008). Sosiologi dan Komunikasi Organisasi. Jakarta: Bumi Aksara.
Platon. 2015. Xarmides: Keugaharian. Penerjemah dan penafsir A. Setyo Wibowo. Yogyakarta: Kanisius.
Popper, Karl. (2008). Masyarakat Terbuka dan Musuh-musuhnya. Terj. Uzair Fauzan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
–––––––. Liberalisme – Beberapa Tesis, dalam Liberalisme, Ed. Detmar Doering, versi pdf dari http://bukuliat.blogspot.com.
Rudyansjah, Tony. (2015). Emile Durkheim: Pemikiran Utama dan Percabangannya ke Redcliffe-Brown, Fortes, Levi-Strauss, Turner, dan Holbraad. Jakarta: Kompas.
Russel, Bertrand. (2007). Sejarah Filsafat Barat: Kaitannya dengan Kondisi Sosial-Politik Zaman Kuno hingga  Sekarang. Terj. Sigit Jatmiko, dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suryajaya, Martin . (2011). Alain Badiou dan Masa Depan Marxisme. Yogyakarta: Resist Book.
–––––––. (2016). Sejarah Pemikiran Politik Klasik: Dari Prasejarah hingga Abad ke-4 M. Tangerang: Marjin Kiri.
Wibowo, A. Setyo. (2017). Paideia: Filsafat Pendidikan-Politik Platon. Yogyakarta: Kanisius.



[1] Tulisan ini dibuat sebagai pembacaan ulang penulis pada asumsi Popper yang mengatakan bahwa Plato adalah orang yang mengawali toteliterisme melalui sistem pemerintahan yang dipegang oleh Raja Filsuf di bab 8 dalam bukunya Masyarakat Terbuka dan Musuh-musuhnya. Tulisan ini pernah dimuat di https://www.lpik.org/ , dimuat ulang di web saya sebagai media pembelajaran.
[2] Mahasiswa yang terus mencoba mengada dengan berdiskusi, menulis, dan membaca.
[3] Martin Suryajaya, Alain Badiou dan Masa Depan Marxisme, (Yogyakarta: Resist Book, 2011), hlm. 31
[4] Karl Popper, Masyarakat Terbuka dan Musuh-musuhnya, Terj. Uzair Fauzan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 109
[5] Ibid, hlm. 174
[6] A. Setyo Wibowo, Paideia: Filsafat Pendidikan-Politik Platon, (Yogyakarta: Kanisius, 2017), hlm. 254-255
[7] Ibid, hlm. 255
[8] Dalam Popper disebut sebagai Raja Filsuf.
[9] Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat: Kaitannya dengan Kondisi Sosial-Politik Zaman Kuno hingga  Sekarang, Terj. Sigit Jatmiko, dkk, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 150
[10] Ibid, hlm. 150
[11] Karl Popper, Liberalisme – Beberapa Tesis, dalam Liberalisme, Ed. Detmar Doering, versi pdf dari http://bukuliat.blogspot.com, hlm. 8
[12] Martin Suryajaya, Op.Cit,hlm. 35
[13] Pip Jones, Pengantar Teori-teori Sosial; dari Teori Fungsionalisme hingga Post-modernisme, (Jakarta: Yayasan Putaka Obor Indoneisia, 2009), cet. II, hlm. 144
[14] Lebih jauh silahkan baca buku khusus Plato tentang keugaharian di Platon, Xarmides: Keugaharian, penerjemah dan penafsir A. Setyo Wibowo, (Yogyakarta: Kanisius, 2015).
[15] George Klosko, The Development of Plato’s Political Theory dikutip dari A. Setyo Wibowo, Op.Cit, hlm.
[16] Ritzer George, Teori Sosiologi: dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern, Terj. Saut Pasaribu dkk, Cet. II, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), hlm. 148. Untuk mempermudah pembacaan Durkheim dan bagaimana relasi agensi pada struktur sosial silahkan baca Tony Rudyansjah, Emile Durkheim: Pemikiran Utama dan Percabangannya ke Redcliffe-Brown, Fortes, Levi-Strauss, Turner, dan Holbraad, (Jakarta: Kompas, 2015).
[17] Alo Liliweri, Sosiologi dan Komunikasi Organisasi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm. 24-25
[18] Ibid, hlm. 24
[19] A. Setyo Wibowo, Op.Cit, hlm. 247
[20] A. Setyo Wibowo, Op.Cit, hlm. 263-264
[21] Bedakan dengan pendapat Plato, posisi sentral negara itu justru ada di tangan Raja Filsuf.
[22] Martin Suryajaya, Sejarah Pemikiran Politik Klasik: Dari Prasejarah hingga Abad ke-4 M, (Tangerang: Marjin Kiri, 2016), hlm. 52-53
[23] Dikutip dari Ibid, hlm. 159
[24] Lebih jauh coba baca Popper tentang perubahan dan kemandegan, Op.Cit, hlm. 47-72
[25] Martin Suryajaya, Sejarah..., Op.Cit, hlm. 164

Tidak ada komentar:

Posting Komentar