sumber gambar: www.cartoonstock.com/
Oleh: Yuris Fahman Zaidan[2]
Sejak abad ke 20 Plato diserang dari berbagai arah. Dalam tradisi
filsafat misalnya, Nietzche memandang Plato sebagai pemikir awal yang
menyebarkan sumber nihilisme di Eropa. Sementara Heidegger meyakini Plato telah
melupakan pembicaraan Ada dalam filsafat, dengan menyatakan bahwa Plato telah
mengawali sejarah metafisika—sejarah kelupaan akan ada. Dan Delueze menyerang
pemikiran Plato sebagai filsafat transendensi.[3]
Kritik besar-besaran pada pemikiran Plato juga bukan hanya hadir
dalam tradisi filsafat. Dalam lanskap sosial-ekonomi-politik, ajaran Plato
tentang Negara yang Adil pun tidak lepas dari kritikan. Adalah Karl Popper yang
mengritik habis-habisan konsep Negara Adil Plato sebagai sumber dari totaliterisme.
Anggapan Popper ini didasarkan pada negara yang diideal-Idealkan Plato,
sebagaimana ia tulis dalam bukunya:
Analisa sosiologi Plato mempermudah penjelasan program politiknya. Tuntutan
fundamentalnya dapat ditunjukan dengan dua buah formula. Formula pertama
berhubungan dengan teori Idealisnya tentang perubahan dan kemandegan, sedangkan
yang kedua berhubungan dengan naturalismenya. Formula Idealisnya itu adalah: Hentikan
semua perubahan Politik! Perubahan adalah suatu kejahatan, kemandegan
adalah kebaikan. Semua perubahan dapat dihentikan jika negara itu merupakan
salinan sempurna dari aslinya, yaitu Forma atau Ide kotanya. Jika timbul
pertanyaan bagaimana hal ini bisa dipraktikan, kita dapat menjawabnya dengan
formula naturalis, yaitu: Kembalikan ke kodrat! Kembali ke jaman asli
leluhur kita, negara primitif yang sesuai dengan kodrat manusia, dan oleh
karenanya bersifat stabil; kembali ke bentuk patriarki tribal pra-Kejatuhan,
kembali ke hakikat pemerintah kelas di mana minoritas cerdik pandai memerintah
mayoritas rakyat yang dungu.[4]
Dari kutipan di atas, terlihat bagaimana alih-alih negara itu Ideal
tapi ujungnya keidealan tersebut bisa mewujud dalam sistem totaliter: ketika
tidak ada pembebasan pada individu. Negara Adil versi Plato selalu saja
didasarkan pada kebenaran para penguasa Platonik (Raja Filsuf).[5] Hal ini
yang menurut Popper akan berimplikasi bahwa otoritas kebijakan negara hanya
boleh muncul dari satu pihak: raja (sekaligus) filsuf.
Namun ada yang luput dari pembacaan Popper, Raja Filsuf tidak
seperti yang dibayangkan akan mengatur segala elemen dalam masyrakat. Sebab
menurut George Klosko, Raja Filsuf memerintah bukan untuk dirinya sendiri.
Plato juga memiliki batasan pada tindak-tanduk yang didaulatnya sebagai Raja
Filsuf.
Di antara batasan itu misalnya: 1) Penguasa tidak boleh menjadikan
wewenangnya untuk memonopoli barang dan jasa milik kaum produktor (petani dan
pedagang); 2) Negara Adil yang dibayangkan Plato berbeda dengan rezim timokrasi
dan oligarki—di mana kelas penguasa mengerup kekayaan Negara dan memerbudak
rakyat; 3) Raja Filsuf musti mengorbankan hak milik dan hak keluarga agar
mendapat kepercayaan dari kelas bawah; 4) Sementara kelas bawah walaupun tidak
memiliki hak berkuasa, tapi memiliki hak khusus untuk mengendalikan harta
kekayaan Negara.[6]
Di sisi lain, kaum pedagang secara naluriah adalah orang-orang yang
menyukai uang (seks, makan, minum) sehingga secara instingtif mereka tidak
peduli pada urusan politik. Dari penggambaran ini saja kita bisa mengandaikan,
bahwa para pedagang tidak rela bertukar posisi dengan Raja Filsuf.[7] Sebab
Raja Filsuf harus memiliki rasa pengorbanan diri yang justru tidak ada dalam
kelas bawah yang hanya melulu bicara persoalan epithumia.
Selain Raja Filsuf yang menjadi sasaran kritik Popper, ia juga
memersoalkan ‘kemandegan’ sebagai sesuatu yang baik tinimbang ‘perubahan’. Menurutnya,
Plato telah menahan—bahkan lebih parah tidak menghendaki—laju perubahan dan
mendasarkan sistem negara yang Ideal hanya pada satu masa (dalam hal ini masa
awal/dahulu).
Dari pendasarannya pada masa lampau, salah satu asumsi negara yang
diidealkan Plato berkaitan dengan pengontrolan ekonomi. Menurut Russell, sistem
ekonomi Plato menyarankan komunisme. Kendati komunisme yang digaungkan Plato
hanya bertitik tolak pada otoritas kelas pemimpin[8] dan
kelas serdadu.[9]
Otoritas inilah yang menghalangi kebebasan individu,—dalam kerangka Popperian—negara
seolah menjadi alat represi yang dikendalikan oleh Raja Filsuf. Tapi di balik
kritik Popper atas Plato, saya melihat vis-a-vis antara komunisme dan
liberalisme.
Komunisme plato jelas didasarkan pada cara-cara kolektif dalam
berkehidupan. Russel menyontohkannya seperti hidup dalam asrama, makan bersama
secara berkelompok, atau mereka dilarang memiliki barang pribadi kecuali memang
sangat dibutuhkan. Semuanya diperuntukan untuk kemaslahatan umum.[10]
Sebagaimana seorang liberal, Popper hendak membantah argumen
kolektivisme Plato sebagai awal dari ketidakberpihakan pada individu. Tendensi
liberalisme itu diperlihatkan Popper dalam tulisannya yang lain:
Prinsip-prinsip liberalisme mungkin digambarkan (paling tidak
sekarang ini) sebagai prinsip-prinsip penilaian, dan jika perlu perombakan atau
pengubahan, atas lembaga-lembaga yang ada. Seseorang juga dapat mengungkapkan
hal ini dengan mengatakan bahwa liberalisme lebih merupakan suatu keyakinan
evolusioner ketimbang revolusioner (kecuali jika ia dihadapkan dengan sebuah
rezim tiranis).[11]
Dari kutipan di atas, beberapa tesis liberalisme Popper jelas bertentangan
dengan konsep kolektivisme Plato. Pertentangan itu bisa dilihat dari dua poin. Pertama,
Plato mendukung kemandegan, tapi Popper justru mengarah pada
perubahan/perombakan. Kedua, Plato mengusung kolektivisme, sementara
Popper mendaulat kebebasan individu—yang memuat dasar-dasar liberalisme.
Berbeda dengan Popper, Alain Badiou justru melihat positif gagasan idea
Plato. Idea Plato inilah yang Badiou rekonstruksi menjadi “kebenaran” yang
dibedakan dari opini umum masyarakat tentang apa yang patut dan tidak. Badiou
mencoba menghidupkan idealisme melalui Plato, namun uniknya sambil
memerjuangkan idea tentang kesetaraan radikal. Degan kata lain, ia mencoba
menghidupkan idea komunisme yang abadi dengan mewujudkan beragam masyarakat
tanpa kelas.[12]
Tapi pertentangan antara gagasan komunisme Plato versus liberalisme
Popper bukan yang akan saya persoalkan. Saya hanya menunjukan bahwa Popper pun
tidak lepas dari ideologi tertentu dan ia mencoba memangkas ideologi lain yang
berseberangan dengannya: komunisme. Tulisan ini akan menjadi pembacaan ulang
saya pada Popper terkait tuduhan totaliter atas Plato. Terutama saya akan
banyak membahas konten-konten yang ada di bab delapan (tentang Raja Filsuf)
dalam bukunya, Masyarakat Terbuka dan Musuh-musuhnya (2008).
Menyoal Raja Filsuf dan Rasionalitas Instrumental
Pembicaraan Raja Filsuf dalam
kerangka Platonian penting untuk dihubungkan dengan rasionalitas instrumental.
Karena di dalam tulisan ini kita akan membahas perbedaan rasionalitas
instrumental kelas-kelas yang telah disebutkan dalam Negara Adil versi Plato.
Dalam kajian sosiologi, kajian
rasionalitas instrumental mengemuka pada pandangan Weber. Menurutnya, tindakan
sosial terbagi dalam empat bagian. Pertama, tindakan tradisional. Dalam
tindakan ini, seseorang memperlihatkan perilaku tertentu karena kebiasaan yang
diperoleh nenek moyang, tanpa refleksi dan perencanaan yang sadar. Kedua, tindakan
afektif, yaitu tindakan yang didominasi perasaan atau emosi dan tanpa diiiringi
perencanaan secara sadar. Tindakan afektif sifatnya spontan, tidak rasional dan
merupakan ekspresi emosional dari individu. Ketiga, tindakan
rasionalitas instrumental, yaitu tindakan sosial yang dilakukan seseorang
didasarkan atas pertimbangan dan pilihan sadar yang berhubungan dengan tujuan
dan ketersediaan alat untuk mencapainya. Keempat, tindakan rasionalitas
yang berorientasi pada nilai, yaitu sifat rasionalnya bahwa alat-alat yang ada
hanya merupakan pertimbangan dan perhitungan yang sadar, sementara
tujuan-tujuannya sudah ada di dalam hubungannya dengan nilai-nilai individu
yang bersifat absolut. Dalam artian tindakan-tindakan sosial
ditentukan oleh pertimbangan atas dasar keyakinan individu pada nilai-nilai
estetis, etis dan keagamaan.[13]
Dari kacamata Weber ini, saya akan
mencoba mengelaborasi bahwa anjuran Plato tentang Raja Filsuf sebagai pemimpin
itu dimungkinkan. Bagi Weber, tindakan
rasionalitas instrumental merupakan sebuah tindakan yang didasarkan pada
pertimbangan sadar yang berkaitan dengan tujuan dari tindakan itu sendiri.
George Klosko berpendapat, tiap
kelas yang digambarkan Plato memiliki rasionalitas instrumentalnya
masing-masing. Kelas pedagang memiliki rasionalitas instrumental berupa
keutamaan keugaharian[14]
(mengarah pada pencarian keuntungan). Kelas tentara memiliki keutamaan
keugaharian dan keberanian, artinya rasionalitas instrumentalnya mengarah pada
pencarian keuntungan dan mementingkan nilai-nilai harga diri yang benar.
Sementara kelas penguasa (dalam hal ini Raja Filsuf) menjadi bijak karena
rasionalitasnya juga mengukur batas-batas pikirannya sendiri.[15]
Secara sederhana pendasaran Plato
tentang Raja Filsuf yang menjadi pemimpin itu tidak salah amat. Sebab rasionalitas
instrumentalnya pun telah memenuhi kualifikasinya. Selama kaum produktor dan
tentara belum mencapai kebijaksanaan seperti yang dimiliki oleh Raja Filsuf
maka ia tidak berhak untuk menjadi penguasa negara. Dan perlu diingat walaupun
Raja Filsuf yang diperkenankan oleh Plato menjadi sang penguasa, mereka juga
tidak boleh berbuat sewenang-wenang. Mereka harus mendasarkan diri pada
kemaslahatan umat. Karena jika tidak mendasarkan diri pada kemaslahatan umat
dan ujung-ujungnya bertindak sewenang dewek, ini akan jatuh pada
oligarki dan tirani—yang justru Plato pun telah mengritiknya. Tentang pembagian
kerja, lebih jelasnya lihat bagan di bawah:
Jiwa (Psukhe)
|
Keutamaan (Arete)
|
Negara (Polis)
|
Epithumia
|
Keugaharian
|
Kaum produktor
(money-makers)
|
Thumos
|
Keugaharian +
Keberanian
|
Para penjaga
(the helpers/guardians)
|
Logistikon
|
Keugaharian +
Keberanian +
Kebijaksanaan
|
Para pemimpin
(the counselors/filosopher kings)
|
Disarikan dari: A. Setyo Wibowo, Op.Cit,
hlm. 235
Saya melihat konsep Plato ini
bukan totaliterisme seperti yang dikatakan Popper. Tapi justru spesifikasi
kerja. Contoh konkretnya, jika kita tidak memiliki keahlian untuk membuat besi
maka kita tidak boleh mengambil kerja itu. Karena jika diambil niscaya struktur
sosial akan kacau balau. Begitu pun terkait Negara Adil Platonian, jika kau
hanya memiliki tingkat keutamaan keugaharian dan tidak memiliki keberanian
serta kebijaksanaan lebih baik kau jadi kaum produktor. Karena jika ingin
mengatur negara kau tak cukup hanya menggunakan keugaharian, tapi harus juga
menggunakan keberanian dan kebijaksanaan.
Contoh lainnya, apakah militer
seperti Menwa di UIN SGD Bandung berhak menjadi para pemimpin? Jika kita
memakai konsep Plato jawabannya jelas tidak bisa. Sebab Menwa katakanlah hanya
memiliki keugaharian dan keberanian. Menimbang peristiwa G 30 S saja hanya
berdasarkan satu film (Film G 30 S/PKI garapan Arifin C. Noer) bagaimana
mereka bisa merengkuh kebijaksanaan! Jalas, dalam konsepsi ini Menwa hanya bisa
ditaruh di posisi para penjaga.
Alih-alih memandang konsep ini
sebagai totaliter justru saya melihatnya sebagai tawaran spesifikasi kerja di
abad pra masehi. Durkheim sebenarnya telah panjang lebar bicara tentang
spesifikasi kerja dalam bukunya yang terkenal The Division of Labour in
Society. Menurutnya pembagian kerja hadir menjadi sesuatu yang niscaya
dalam masyarakat organik.[16]
Di dalam kajian sosiologi
organisasi, spesifikasi kerja terbentuk karena masyarakat atau kelompoknya itu
heterogen. Ciri dari masyarakat homogen umumnya kurang memiliki konflik antar
sesama, hanya sedikit perbedaan pendapat di antara anggota kelompok, komunikasi
yang mengandalkan perasaan dan lebih banyak interaksinya. Sementara ciri
masyarakat heterogen memiliki intensitas konflik yang tinggi, interaksinya
sedikit, serta memiliki banyak perbedaan pendapat di antara anggota.[17]
Karena masyarakatnya heterogen maka
akan lebih bermanfaat jika tugas-tugasnya itu kompleks, kolektif, membutuhkan kreativitas tinggi, dan
memerlukan penyelesaian yang cepat.[18]
Bila kita relasikan pada konsepsi Plato, maka terlebih dahulu kita harus
mengajukan pertanyaan: “Apakah masyarakat Athena saat itu dalam posisi
heterogen sehingga memantik Plato untuk mengeluarkan ajaran tentang Raja
Filsuf?”
Untuk menjawab pertanyaan di atas,
mari kita simak dulu dengan seksama sejarah kemunculan ajaran-ajaran Plato ini
dari uraian Setyo Wibowo ketika mengisi ceramah tentang Platonisme di Salihara
tanggal 19 Maret 2016:
“Platon
lahir di Athena tahun 428/427 SM, dan meninggal di Athena juga pada tahun
348/347 SM pada usia 81 tahun. Ia hidup persis di periode ketika polis
(kota/negara) Athena yang demokratis pelan-pelan meredup sebelum akhirnya nanti
dikalahkan oleh Philippos Makedonia, ayah Alexander Agung, sepuluh tahun
setelah kematian Platon (tahun 338 SM).
Platon
tampaknya menyadari situasi yang menurun ini.
Ketika
Platon lahir, Athena masih menikmati posisi puncaknya sebagai pimpinan Liga
Delos. Athena adalah polis (negara-kota) dengan sistem
demokrasi yang paling berkuasa. Kekuatan militer dan maritimnya nomor satu,
kultur intelektual dan artistiknya jauh mengatasi polis-polis
lainnya di Yunani. Apalagi setelah kemenangan dalam perang Medik—perang melawan
Kerajaan Persia yang terjadi pada tahun 492-490 SM, yang diingat sejarah karena
kemenangan heroik Athena di medan laga Marathon—, Athena menjadi pemimpin untuk
koalisi polis-polis di Yunani. Namun sebagaimana
pepatah Lord Acton berlaku universal, bahwa power tends to corrupt, absolute
power corrupt absolutely, kekuasaan Athena yang terlalu
besar akhirnya membuat Athena terlalu mendahulukan kepentingannya sendiri
daripada kepentingan koalisi! Athena menjadi imperialis dan ekspansionis. Polis
tetangga, Sparta, sebuah polis dengan sistem pemerintahan
oligarkis, muncul memimpin koalisi lain yang menjadi rival Athena.
Persaingan
pengaruh ini akan berujung, akhirnya, pada perang antar sesama orang Yunani! Polis-polis
yang bernaung di bawah pimpinan Athena dan Sparta akan saling bertempur. Tahun
431 SM pecahlah perang Peloponnesos.Perang saudara antara « rejim demokrasi »
melawan « rejim oligarkis » berlangsung sangat panjang (kurang lebih 30 tahun)
dan menggerogoti segala sendi kehidupan kedua belah pihak. Namun, tidak sesederhana
demokrasi melawan oligarki, yang terjadi sebenarnya, mereka yang membela
“demokrasi” sejatinya hanya membela rejim imperialis dan ekspansionis Athena.
Sebaliknya, polis-polis yang membela
Sparta (rejim oligarkis) justru mereka yang mendukung ide kemerdekaan dan
otonomi tiap polis dari kungkungan Athena!
Perang
saudara Peloponessos (Athena dengan sekutu-sekutunya melawan polis-polis
lain di bawah pimpinan Sparta) mengakhiri kejayaan Athena.Di lautan
Aegos-Potamos, armada laut Athena hancur kalah pada tahun 404 SM. Athena keluar
sebagai pecundang dari perang saudara ini.Sparta menguasai Athena dan
menempatkan rejim boneka. Sebuah oligarki, yang terkenal dengan nama “Tirani 30
Orang” ditempatkan. Xarmides (paman Platon dari pihak ibu) dan Kritias (keponakan
ibu Platon) ikut masuk dalam rejim para Tiran ini.Mereka berkuasa sangat
singkat (hanya satu tahun), tetapi pemerintahan mereka kejam dan berlumuran
darah. Terror meraja di Athena.Kaum demokrat terpaksa lari mengungsi.Akhirnya,
tahun 403 SM rejim Tiran diruntuhkan, dan demokrasi dikukuhkan lagi di Athena.
Sebuah
bentuk pemerintahan yang justru akan mengguncangkan Platon karena sistem
demokratis inilah yang menghukum mati gurunya, Sokrates, pada tahun 399 SM.
Maka
suatu hari, Platon memutuskan untuk memberikan hidupnya bagi filsafat. Dua
keputusan besar membuat dia menjauhkan diri secara radikal dari keluarga dan
konteks politik saat itu. Pertama, dia tidak mau menikah, padahal memiliki anak
yang nantinya akan dibesarkan menjadi warga polis
adalah kewajiban terhadap keluarga dan klan keluarganya. Untunglah, meski tidak
memiliki anak, Platon masih bisa memenuhi kewajibannya sebagai warga negara
Athena. Kalau Platon tidak memiliki anak, ini juga tidak bisa begitu saja
digunakan sebagai bukti akan homoseksualitas yang tampak dalam dialog-dialog
yang ditulisnya. Kedua, pada tahun 387 SM, ia mendirikan sebuah sekolah
filsafat, yang bernama Akademeia. Platon
mendirikan dan menjalankan sekolah ini dengan biayanya sendiri.
Lembaga
baru yang terletak di sebelah barat daya Athena ini segera menarik minat
banyak.”
Dari uraian di atas saya mencatat
ada keheterogenan di Athena. Sehingga dalam kerangka sosiologi organisasi jika
kelompok ingin lebih bermanfaat maka kerja-kerja anggota dalam kelompok itu
harus dispesifikasikan dan dikolektifkan. Spesifikasi dan kolektifisasi itulah
yang tercermin dari ajaran-ajaran Plato (tentang tiga kelas) seperti yang telah
dibahas sebelumnya. Untuk menguatkan bahwa saat itu Athena telah heterogen saya
catatkan dalam beberapa poin.
Pertama, Athena terlalu mendahulukan kepentingannya sendiri daripada
kepentingan koalisi. Kedua, Athena menjadi imperialis dan ekspansionis. Ketiga,
polis tetangga, Sparta, sebuah polis dengan sistem pemerintahan
oligarkis, muncul memimpin koalisi lain yang menjadi rival Athena. Keempat, ada
perang antar sesama orang Yunani: Athena vs Sparta. Dari keempat poin inilah
setidaknya yang bagi saya menunjukan bahwa masyarakat Athena waktu itu telah
heterogen sehingga memantik Plato untuk memunculkan konsepsi tentang pembagian
kerja.
Disamping keheterogenan Athena
waktu itu, tuduhan totaliterisme pada Plato yang dilakukan Popper juga seperti
membabi buta. Popper memukul rata ajaran Plato bahwa ia adalah dalang di balik
ide-ide totaliter. Padahal jika kita lihat pada bentuk-bentuk toliter pun
bergam.
C. C. W. Taylor tidak memungkiri
bahwa Plato bersifat totaliter, tapi jenis totaliternya belum jelas seperti
apa. Berawal dari itu Taylor berangkat dari tiga jenis totaliter sesuai dengan
tahapannya. Pertama, totaliterisme ekstrem, individu dikebawahkan dan
menjadi eksploitasi negara, contoh fiktifnya negara Oceania dalam novel
Orwell, 1948; contoh konkretnya adalah Nazi yang memiliki anti-humanis,
anti-individu, dan anti-rasional. Kedua, totaliterisme lunak yang
mempunyai anggapan bahwa visi Negara sebagai kesatuan organ di mana individu
bukan menjadi sarana, karena individu bekerja keras demi negara itu
sendiri. Ketiga, paternalisme, di
mana prioritas ada pada individu.[19]
Lalu di mana posisi Plato di balik
ketiga bentuk totaliterisme itu? Menurut Taylor, pemikiran Plato sesungguhnya
hanya paternalisme dan bukan totaliterisme ideologis. Ajaran Plato hanya
didasarkan pada pengetahuan orang yang lebih tahu pada pengondisian negara. Di
titik ini, Plato tidak bisa disebut totaliter sebagaimana yang dituduhkan
Popper.
Maka tidak ada bias bahwa kebahagian
seolah-olah adalah kebahagian para Raja Filsuf yang harus diterapkan bagi
seluruh anggota lainnya. Kebahagian para filsuf dan kelas lainnya dilakukan
secara bersama-sama. Pada tataran praktisnya, para penjaga hanya memiliki communal
property dan communal family. Hal itu dilakukan bukan untuk
keuntungan sempit para penjaga, tapi agar mereka tidak mengganggu kepentingan
Negara (bersama). Sementara tanah dan property hanya dimiliki kelas
bawah.
Kenapa Plato di sisi lain merujuk
pada Sparta dibanding Athena? Karena Sparta sendiri pun justru menerapkan
gagasan yang sepertinya sama dengan ajaran Plato. Konstitusi Sparta melarang
warga Negaranya memerjualkan tanah. Bahkan private property
diperbolehkan dipakai secara bersama-sama walaupun hakikatnya tetap dimiliki
oleh pribadi (dimiliki kelas bawah).
Di sisi lain, Popper juga salah
mengartikan kebahagiaan Platonik, menurutnya kebahagian Plato lebih bersifat
abstrak, sebuah happiness of the whole yang berdiri sendiri mengorbankan
individu-individu lainnya. G. Vlastos jelas tidak sepakat dengan argumen Popper
ini, dengan teliti ia menunjukan kesalahan pengambilan keputusan Popper tentang
happiness dalam buku The Republic. Menurut Vlastos happiness Plato
bukan happiness of the whole sebagai entitas yang terpisah. Justru the
whole yang dimaksud bukan merujuk pada Raja Filsuf tapi pada polis
sendiri. Dengan kata lain, kebahagian/keuntungan itu ditujukan bukan bagi polis
sebagai entitas terpisah, melainkan keuntungan seluruh anggota yang menghuni polis
itu.[20]
Kelas dan Kodrat
Konsep kelas dan korat sebenarnya bukan
diawali oleh Plato. Adalah Orakel Delphoi dan pembicaraan moralitas baru
yang jauh mendahului ajaran kelas dan kodratnya Plato. Konsep itu dinamakan Isonomia,
yakni pembagian time (martabat) bagi setiap orang sesuai dengan
porsinya. Isonomia sebenarnya hadir dari mitologi Yunani, yakni suatu
kepercayaan yang didasarkan pada dewa-dewi Yunani. Saat itu, kedudukan peramal
(orakel) menempati posisi sentral dalam kehidupan keberagamaan orang
Yunani.[21]
Ada beberapa situs peramal yang terkenal, seperti Delphoi, Dodona, dan Lebadea.
Tetapi situs yang paling terkenal saat itu adalah kuil Apollo di Delphoi. Kisah
keterkenalan Delphoi sebagai tempat ramal sebenarnya sudah dimulai sejak
Agamemnon, raja Argos, meminta nasihat peruntungan kaum Yunani dalam perang
Troia.[22]
Pembagian time juga turut
hadir dalam ajaran-ajaran Plato yang bisa dilihat dari perdebatan Sokrates
bersama lawan debatnya. Salah satu lawan debat Sokrates saat itu yang gigih
memertanyakan konsep Raja Filsuf Sokrates adalah Glaukon. Ia kemudian
mengajukan pertanyaan pada Sokrates: mungkinkah polis ideal itu terengkuh? Atau
hanya itu merupakan politik Sokrates? Dan bagaimana langkah konkret menuju
polis ideal itu? Untuk menjawab pertanyaan dari Glakoun tersebut, Sokrates
menekankan kehadiran Raja Filsuf sebagai solusi merengkuh polis ideal. Hal itu
seperti yang dicatat oleh Plato dalam Poleiteia:
“Sampai ... para filsuf menjadi
raja dalam negeri kita dalam mereka yang sekarang kita sebut raja (basilēs)
dan tuan (dunastai) mempelajari filsafat sungguh-sungguh—sehingga
terwujud rangkaian antara kedua hal ini, yakni kekuatan politik dan filsafat (dumanis
te politikē kai philosophia)—... tak akan ada akhir masalah-masalah,
Glaukon yang baik, di negeri kita ataupun, aku rasa, bagi seluruh umat manusia.
Sebelum hal itu terjadi, tak akan ada kesempatan bagi konstitusi yang telah
kita ungkapkan dalam teori untuk dipraktikan dalam batas-batas kemungkinan dan
mewujud.” (Republic 473c9-e2)[23]
Dari pernyataan tersebut jelas melihat
bahwa Raja Filsuf menjadi tonggak satu-satunya kepemimpinan yang ada di suatu
negara. Jika dihubungkan dengan model emansipasi Alegori Gua dalam konteks
pemikiran konstitusi Plato, kita akan mengetahui bahwa pembebasan itu bisa
dilakukan oleh orang yang berpengetahuan. Sebab dalam lanskap Plato, seorang
pemimpin politik adalah orang yang tahu cara mengurus polis. Demikian
juga dalam Alegori Gua, sang tawanan yang terbebas adalah seseorang yang
mempunyai akses pada kenyataan yang sesungguhnya di luar goa.
Kalau memang seperti itu apakah
tuduhan Popper benar bahwa orang yang dianggap memiliki pengetahuan bisa
menimbulkan totaliterisme? Memang, Plato mendasarkan negara dipimpin oleh
orang-orang terbaik (dalam hal ini Raja Filsuf). Tetapi bagi Plato, orang-orang
baik itu juga tidak boleh bertindak semena-mena. Kenapa bisa seperti itu? Mari
kita baca dari yang disebut Plato sebagai degenerasi.
Ada lima bentuk degenerasi
konstitusi dalam pemikiran Plato[24]:
1 1. Aristokrasi : pemerintahan oleh orang-orang terbaik
2 2. Timokrasi : pemerintahan oleh orang-orang terhormat
3 3. Oligarki : pemerintahan oleh orang-orang berpunya
4. Demokrasi : pemerintahan oleh semua orang
5. Tirani : pemerintahan
oleh satu orang
Walaupun ketiga bentuk pertama
bisa digolongkan pada oligarki, yakni pemerintahan oleh sebagian orang. Tapi
Plato memiliki pengertian sendiri atas nama-nama tersebut. Aristokrasi dalam
versinya bukan pemerintahan yang dipimpin kaum bangsawan, melainkan oleh “kaum
terbaik”. Mungkin kata aristos sendiri yang bisa diterjemahkan pada ‘baik’
atau ‘bangsawan’. Maka tak aneh jika ada komentator yang bernama Laks, menyebut
pemerintahan terbaik Plato itu bukan aristokrasi tapi nookrasi.[25]
Dari sini kita dapat mengetahui
bahwa tuduhan totaliter Popper bisa diragukan. Karena konsep aristokrasi Plato
bukan aristokrasi seperti biasanya. Aristokrasi Plato adalah nookrasi, di mana
kerja kenegaraan itu terspesialisasi sesuai kemampuan anggota yang ada dalam
negara itu.
Daftar Bacaan
George, Ritzer. (2015). Teori Sosiologi: dari Sosiologi Klasik
Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. Terj. Saut Pasaribu, dkk. Cet. II.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Jones, Pip. (2009). Pengantar Teori-teori Sosial; dari
Teori Fungsionalisme hingga Post-modernisme. Cet. II. Jakarta: Yayasan
Putaka Obor Indoneisia.
Liliweri, Alo. (2008). Sosiologi dan Komunikasi Organisasi. Jakarta:
Bumi Aksara.
Platon. 2015. Xarmides: Keugaharian. Penerjemah dan penafsir
A. Setyo Wibowo. Yogyakarta: Kanisius.
Popper, Karl. (2008). Masyarakat Terbuka dan Musuh-musuhnya. Terj.
Uzair Fauzan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
–––––––. Liberalisme – Beberapa Tesis, dalam Liberalisme, Ed.
Detmar Doering, versi pdf dari http://bukuliat.blogspot.com.
Rudyansjah, Tony. (2015). Emile Durkheim: Pemikiran Utama dan
Percabangannya ke Redcliffe-Brown, Fortes, Levi-Strauss, Turner, dan Holbraad. Jakarta:
Kompas.
Russel, Bertrand. (2007). Sejarah Filsafat Barat: Kaitannya
dengan Kondisi Sosial-Politik Zaman Kuno hingga
Sekarang. Terj. Sigit Jatmiko, dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suryajaya, Martin . (2011). Alain Badiou dan Masa Depan
Marxisme. Yogyakarta: Resist Book.
–––––––.
(2016). Sejarah Pemikiran Politik Klasik: Dari Prasejarah hingga Abad ke-4
M. Tangerang: Marjin Kiri.
Wibowo, A. Setyo. (2017). Paideia: Filsafat Pendidikan-Politik
Platon. Yogyakarta: Kanisius.
[1]
Tulisan ini dibuat sebagai pembacaan ulang penulis pada asumsi Popper yang
mengatakan bahwa Plato adalah orang yang mengawali toteliterisme melalui sistem
pemerintahan yang dipegang oleh Raja Filsuf di bab 8 dalam bukunya Masyarakat
Terbuka dan Musuh-musuhnya. Tulisan ini pernah dimuat di https://www.lpik.org/ , dimuat ulang di web
saya sebagai media pembelajaran.
[2]
Mahasiswa yang terus mencoba mengada dengan berdiskusi, menulis, dan membaca.
[3]
Martin Suryajaya, Alain Badiou dan Masa Depan Marxisme, (Yogyakarta:
Resist Book, 2011), hlm. 31
[4]
Karl Popper, Masyarakat Terbuka dan Musuh-musuhnya, Terj. Uzair Fauzan,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 109
[5]
Ibid, hlm. 174
[6]
A. Setyo Wibowo, Paideia: Filsafat Pendidikan-Politik Platon,
(Yogyakarta: Kanisius, 2017), hlm. 254-255
[7]
Ibid, hlm. 255
[8]
Dalam Popper disebut sebagai Raja Filsuf.
[9]
Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat: Kaitannya dengan Kondisi Sosial-Politik
Zaman Kuno hingga Sekarang, Terj.
Sigit Jatmiko, dkk, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 150
[10]
Ibid, hlm. 150
[11]
Karl Popper, Liberalisme – Beberapa Tesis, dalam Liberalisme, Ed. Detmar
Doering, versi pdf dari http://bukuliat.blogspot.com,
hlm. 8
[12]
Martin Suryajaya, Op.Cit,hlm. 35
[13]
Pip Jones, Pengantar Teori-teori Sosial; dari Teori Fungsionalisme hingga
Post-modernisme, (Jakarta: Yayasan Putaka Obor Indoneisia, 2009), cet. II,
hlm. 144
[14]
Lebih jauh silahkan baca buku khusus Plato tentang keugaharian di Platon, Xarmides:
Keugaharian, penerjemah dan penafsir A. Setyo Wibowo, (Yogyakarta: Kanisius,
2015).
[15]
George Klosko, The Development of Plato’s Political Theory dikutip dari
A. Setyo Wibowo, Op.Cit, hlm.
[16]
Ritzer George, Teori Sosiologi: dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan
Terakhir Postmodern, Terj. Saut Pasaribu dkk, Cet. II, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2014), hlm. 148. Untuk mempermudah pembacaan Durkheim dan bagaimana
relasi agensi pada struktur sosial silahkan baca Tony Rudyansjah, Emile
Durkheim: Pemikiran Utama dan Percabangannya ke Redcliffe-Brown, Fortes,
Levi-Strauss, Turner, dan Holbraad, (Jakarta: Kompas, 2015).
[17]
Alo Liliweri, Sosiologi dan Komunikasi Organisasi, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2008), hlm. 24-25
[18]
Ibid, hlm. 24
[19]
A. Setyo Wibowo, Op.Cit, hlm. 247
[20]
A. Setyo Wibowo, Op.Cit, hlm. 263-264
[21]
Bedakan dengan pendapat Plato, posisi sentral negara itu justru ada di tangan
Raja Filsuf.
[22]
Martin Suryajaya, Sejarah Pemikiran Politik Klasik: Dari Prasejarah hingga
Abad ke-4 M, (Tangerang: Marjin Kiri, 2016), hlm. 52-53
[23]
Dikutip dari Ibid, hlm. 159
[24]
Lebih jauh coba baca Popper tentang perubahan dan kemandegan, Op.Cit, hlm.
47-72
[25]
Martin Suryajaya, Sejarah..., Op.Cit, hlm. 164
Tidak ada komentar:
Posting Komentar