ABSTRAK
Pembicaraan ihwal gender menjadi sesuatu yang dianggap menarik.
Sebagian feminis beranggapan bahwa ketimpangan sosial terjadi karena
ketidakadilan dan/atau kekerasan gender. Kondisi ini yang melatarbelakangi
munculnya tulisan-tulisan yang bersifat kritik pada kekerasan gender yang terus
saja berlangsung dari dahulu. Salah satu yang gencar mengkritik dan merespon
situasi politik di sekitarnya dengan gaya feminisme radikal adalah Nawal
el-Saadawi. Nawal menjadi penulis aktif isu-isu kekerasan gender yang menimpa
kaum perempuan. Tentunya seperti pemikiran feminisme radikal, Nawal berpendapat
akar dari kekerasan gender adalah sistem patriarki. Tidak hanya itu, Nawal juga
menyoroti orang beragama yang turut mendorong pada ketimpangan
gender. Dalam novelnya Perempuan di Titik Nol, Nawal mencoba menggambarkan ketidakadilan gender yang menimpa Firdaus. Firdaus adalah seorang perempuan yang dijebloskan ke dalam penjara karena membunuh seorang laki-laki yang hendak berbuat jahat kepadanya. Dalam novel ini Nawal mencoba menggambarkan bahwa laki-laki itu selalu memandang rendah perempuan. Penggambarannya diramu oleh Nawal dengan kata-kata yang sarkastik. Membaca novel Perempuan di Titik Nol adalah memahami kritik Nawal el-Saadawi pada situasi lingkungan dan politik yang patriarki.
gender. Dalam novelnya Perempuan di Titik Nol, Nawal mencoba menggambarkan ketidakadilan gender yang menimpa Firdaus. Firdaus adalah seorang perempuan yang dijebloskan ke dalam penjara karena membunuh seorang laki-laki yang hendak berbuat jahat kepadanya. Dalam novel ini Nawal mencoba menggambarkan bahwa laki-laki itu selalu memandang rendah perempuan. Penggambarannya diramu oleh Nawal dengan kata-kata yang sarkastik. Membaca novel Perempuan di Titik Nol adalah memahami kritik Nawal el-Saadawi pada situasi lingkungan dan politik yang patriarki.
Kata
Kunci: Patriarki, Gender, Seks, dan Feminisme Radikal.
A.
PENDAHULUAN
Pada tulisan
ini, saya mencoba memaparkan tentang kekerasan gender dalam salah satu novel
Nawal el-Saadawi yang terkenal. Yaitu, novel yang berjudul, Perempuan di
Titik Nol. Novel ini, mendapat perhatian yang cukup besar di kalangan
kritikus dan sastrawan. Tentu, dilihat dari isinya, dan juga kiprah Nawal dalam
menulis novel atau buku berhaluan feminisme. Bagi saya, ketertarikan utama
terhadap novel ini, bukan saja berkaitan dengan isi karyanya, tetapi jika
ditinjau dari segi sosiologi sastra, sangat relevan untuk dianalisis. Meski
demikian, hal itu bukan fokus saya dalam kajian ini. Melainkan, sedapat mungkin
untuk merelasikannya dengan wacana gender dan seksualitas.
Saya menemukan
beberapa kecenderungan terhadap novel ini, terutama, yang berhubungan dengan
isu gender. Jika novel ini ditulis pada tahun 1983, artinya, novel ini
merepresentasikan gejala sosial-budaya pada masa itu, khususnya di Mesir.
Namun, bila dilihat dari isinya, novel ini mengarah pada pemikiran feminisme
radikal. Suatu pandangan bahwa patriarki merupakan biang keladi dari terjadinya
ketidakadilan gender.
Sebagai seorang
dokter, Nawal, terhitung banyak mengeluarkan karya-karya yang mengacu pada isu
gender dan seksualitas. Beberapa karyanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia. Salah satunya yaitu novel Perempuan di Titik Nol yang
diterjemahkan dari Women at Point Zero (1983) oleh Yayasan
Pustaka Obor Indonesia. Karya lain dari Nawal yang telah diterjemahkan
ke bahasa Indonesia, di antaranya Memoar Seorang Doktor Perempuan, Matinya
Sang Penguasa, Matinya Sang Menteri, Tak Ada Tempat Bagi Perempuan di Sorga, dan
Wajah Telanjang Perempuan.
Tulisan ini
berfokus pada uraian kekerasan gender dalam novel Nawal berjudul, Perempuan
di Titik Nol, berdasarkan teori-teori gender yang relevan. Dalam konteks
ini, kekerasan gender terkandung dalam isu ketidakadilan gender yang dimaksud
oleh Mansour Fakih. Menurut Fakih, ketidakadilan gender termanifestasikan dalam
berbagai bentuk ketidakadilan, di antaranya: marginalisasi atau proses
pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan
politik, pembentukan stereotipe atau melalui pelabelan negatif, kekerasan,
beban kerja lebih panjang dan lebih banyak, serta sosialisasi dalam ideologi
nilai peran gender.[2]
Ciri khas
feminisme radikal Nawal juga tergambar dari novel atau cerpen yang pernah ia buat.
Nawal selalu memasukan konsep ketidaksetaraan dan/atau ketidakadilan gender
yang menimpa kaum perempuan. Ada ciri khas dari karya-karya Nawal, ia mencoba
menanamkan bahwa laki-laki bersifat bengis dan kebengisan laki-laki itu selalu
disandarkan pada perempuan. Hal tersebut bisa kita lihat dalam fragmen-fragmen
dari tulisannya:
“Pada suatu
peristiwa dia memukul seluruh badan saya dengan sepatunya. Muka dan badan saya
menjadi bengkak dan memar. Lalu saya tinggalkan rumah lalu pergi ke rumah paman
tetapi paman mengatakan kepada saya bahwa semua suami memukul isterinya, dan
isterinya menambahkan bahwa paman adalah
seorang Syekh yang terhormat, terpelajar dalam ajaran agama, dan dia
karena itu tak mungkin memiliki kebiasaan memukul isterinya. Dia menjawab bahwa
justru laki-laki yang memahami itulah yang suka memukul isterinya. Aturan agama
mengijinkan untuk melakukan hukuman itu.[3]
“Saat suaminya
kembali dari ladang, dan karena ia tidak menemukan sang anak dimana-mana ia
memulai memukul Sakeya. Begitulah tabiyatnya. “Setiap anak laki-lakinya
meninggal suaminya akan memukulnya secara membabi buta begitu pula bila anak
yang dilahirkan anak perempuan”[4]
“Mengapa
kehidupan tak berjalan sebagaimana mestinya ? Mengapa tak terdapat pemahaman
yang lebih besar terhadap kebenaran dan keadilan ? Mengapa para ibu tak
mengakui bahwa anak perempuan sama saja dengan anak laki-laki atau mengapa
lelaki tak mau mengakui perempuan sebagai orang yang sederajat dan sebagai
mitra, mengapa masyarakat tak mengakui hak seorang perempuan untuk hidup normal
dengan menggunakan otak ataupun tubuhnya.”[5]
"Bapakku
memperlakukanku lebih buruk daripada pembunuhan. Permasalahannya adalah
undang-undang tidak menghukum bapakku serta tidak menghukum suami Rabiah.
Undang-undang juga tidak menghukum para bapak dan para suami yang
memperjualbelikan kami atas nama nikah yang sah, talak atau poligami yang sah."[6]
Framen-fragmen di atas menurut
penulis memberikan gambaran yang jelas dimana posisi pemikiran Nawal
el-Saadawi. Namun karena karya Nawal banyak, maka penulis hanya akan membatasi
pembahasan dari salah satu novelnya yang terkenal yang sudah diterjemahkan
kedalam bahasa Indonesia dengan judul Perempuan di Titik Nol.
Ada beberapa pokok bahasan yang akan
penulis sampaikan. Pertama, kecenderungan pemikiran feminisme radikal
dalam novel Perempuan di Titik Nol. Pada sub bab ini penulis memakai
teori-teori feminisme radikal yang menganggap sumber ketidakadilan dan/atau
kekerasan gender adalah patriarki. Di bagian akhir dari sub bab ini penulis
mencoba merelevansikan teori Jessie Bernard berkenaan dengan pernikahan sebagai
belenggu yang digambarkan jelas oleh Nawal dalam novelnya.
Kedua, penulis juga membahas perihal kekerasan gender yang digambarkan
dalam novel Perempuan di Titik Nol. Dalam menganalisis masalah
ini, penulis menggunakan kategori-kategori kekerasan terhadap perempuan seperti
yang ditulis oleh Mansour Fakih dalam buku Analisis Gender &
Transformasi Sosial (2012).
Ketiga, penulis mencoba menghubungkan kaitan antara agama, gender, dan seks
yang terdapat pada novel Perempuan di Titik Nol. Keempat, penulis
mencoba menggambarkan bahwa Nawal menyoroti persoalan human trafficking
dalam novelnya. Keempat poin ini sebenarnya berkaitan dengan kekerasan
gender yang dialami oleh Firdaus sebagai tokoh utama.
Dari keempat sub bahasan tersebut,
penulis mencoba menjabarkan penggambaran Nawal el-Saadawi berkenaan dengan
kekerasan gender pada perempuan dalam novelnya Perempuan di Titik Nol.
B.
PEMBAHASAN
Sebagaimana yang telah penulis utarakan dalam pendahuluan.
Pembahasan ini berkaitan dengan usaha untuk menyingkap penggambaran kekerasan
gender yang terdapat dalam novel Perempuan di Titik Nol karya Nawal
el-Saadawi.
Nawal merupakan penulis feminis yang tulisan-tulisannya selalu
mengkritik dan merespon situasi politik di sekitarnya. Dari tulisan-tulisannya,
Nawal menyatakan bahwa ketimpangan sosial yang terjadi diakibatkan oleh
kekerasan dan ketidakadilan gender.
Gaya bahasa yang digunakannya selalu sarkatis dan cukup membuat
geram para intelektual dan Pemerintah Mesir. Karena tulisan-tulisan kritik
pedasnya, tanggal 6 September 1981 Nawal dijebloskan ke dalam penjara Barrages
di Mesir pada masa pemerintahan Anwar Sadat atas tuduhan perbuatan kriminal
melawan pemerintahan yang sah.
Pembahasan ini diarahkan dalam usaha mengungkap kritik-kritik yang
dilontarkan oleh Nawal yang dibagi kedalam tiga bagian seperti yang telah
dikemukakan dalam pendahuluan.
Pemikiran Feminisme Radikal dalam Novel Perempuan di Titik Nol
Di dalam beberapa
persepektif feminisme radikal, digambarkan bahwa perempuan ditindas oleh
sistem-sistem sosial patriarki, yakni penindasan-penindasan yang paling
mendasar. Penindasan berganda seperti rasisme, eksploitasi jasmaniah,
heteroseksisme, dan kelasisme, terjadi secara signifikan dalam hubungannya
dengan penindasan patriarki. Agar perempuan terbebas dari penindasan, perlu
mengubah masyarakat yang berstruktur patriarki.[7]
Menurut Jagger dan
Rothanberg para teoritisi feminis radikal menunjukkan sifat-sifat mendasar
penindasan perempuan lebih besar daripada bentuk-bentuk penindasan lain (ras,
kelas) dalam berbagai hal:
Ø Secara
historis, perempuan merupakan kelompok pertama yang ditindas.
Ø Penindasan
perempuan ada di mana-mana, dalam semua masyarakat.
Ø Penindasan
perempuan adalah bentuk penindasan yang paling sulit dilenyapkan, dan tidak
akan bisa dihilangkan melalui perubahan-perubahan sosial lain, seperti
penghapusan kelas masyarakat.
Ø Penindasan
perempuan menyebabkan penderitaan yang paling berat bagi korban-korbannya;
meskipun penderitaan ini barangkali berlangsung tanpa diketahui.
Ø Penindasan
perempuan memberikan suatu model konseptual untuk memahami semua bentuk
penindasan lain.
Unsur pokok patriarki di
dalam analisis femisnis radikal, adalah kontrol terhadap perempuan melalui
kekerasan. Carole Sheffield (1984) menegaskan bahwa kekerasan dan ancaman
kekerasan terhadap perempuan oleh laki-laki, menggambarkan kebutuhan sistem
patriarki untuk meniadakan kontrol perempuan atas tubuh dan kehidupan mereka sendiri,
kekerasan ini terjadi dalam bentuk-bentuk serangan seksual, pemukulan dan
pelecehan seksual terhadap perempuan oleh laki-laki.[8]
Penggambaran
patriaki sebagai suatu yang bermasalah terlihat jelas dalam novel Perempuan
di Titik Nol karya Nawal el-Saadawi yang mengangkat cerita nyata seorang
perempuan yang ditahanan di penjara Qanatir, Mesir. Ia bernama Firdaus, ia
didakwa hukuman mati oleh pengadilan karena telah melakukan pembunuhan. Namun
ternyata pembunuhan itu tidak serta merta dilakukan Firdaus karena balas
dendam, ada sekumpulan cerita dibalik kejadian itu. Nawal menuangkan perjuangan
hidup Firdaus dalam melewati hidupnya yang kelam, sampai-sampai ajal
menjemputnya karena ia dijatuhi hukuman mati.[9]
Bukan hanya menggambarkan bentuk
patriarki, lebih jauh novel ini juga mengarahkan pembaca pada asumsi bahwa
setiap laki-laki penuh dengan kenegatifan. Beberapa paragraf dan alur carita
dari novel Perempuan di Titik Nol cenderung mengarah pada feminisme
radikal. Patriarki dan laki-laki dianggap sebagai biangkeladi dari ketidak
adilan gender. Nawal misalnya menuliskan:
“Saya
dapat pula mengetahui bahwa semua yang memerintah adalah laki-laki. Persamaan
di antara mereka adalah kerakusan dan kepribadian yang penuh distorsi, nafsu
tanpa batas mengumpul uang, seks dan kekuasaan tanpa batas. Mereka adalah
lelaki yang menaburkan korupsi di bumi, yang merampas rakyat mereka, yang
bermulut besar, berkesanggupan untuk membujuk, memilih kata-kata manis, dan
menembakan panah beracun. Karena itu, kebenaran tentang mereka hanya terbuka
setelah mereka mati, dan akibatnya saya menemukan bahwa sejarah cendrung
mengulangi dirinya dengan kekerasan kepala yang dungu.”[10]
Paragraf di atas menunjukan bahwa
ketimpangan gender diakibatkan oleh patriarki dan laki-laki sebagaimana yang
dikemukakan oleh feminisme radikal. Hal itu sejalan dengan pendapat Kate
Millett yang mengatakan bahwa patriarki dibawa oleh kontrol gagasan dan
kebudayaan laki-laki.[11]
Penyudutan terhadap laki-laki itu digambarkan oleh Nawal ketika laki-laki bebas
meneksploitasi tubuh perempuan: memperkosa atau menyakiti vaginanya.
Dari sini kita bisa melihat bahwa tubuh perempuan merupakan objek
utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal
mempermasalahkan antara lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas,
seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat-publik.[12]
Eksploitasi terhadap tubuh ini digambarkan oleh Nawal ketika ia sedang
menceritakan Firdaus yang dipaksa menikah dan berhubungan badan dengan lelaki
tua—lebih dari 60 tahun—yang kaya:
“Apabila lubangnya kering, saya biarkan dia
menciumi saya. Saya dapat measakan bisul yang bengkak itu di muka dan bibir
saya seperti sebuah dompet kecil, atau seperti sebuah kantong tempat air, penuh
dengan cairan berminyak. Tetapi pada hari-hari lubang itu tidak kering saya
akan memalingkan bibir dan muka saya menjauhi dan menghindari bau bangkai
anjing yang keluar dari lubang itu.”[13]
Dari teks di
atas tergambar jelas bahwa pernikahan merupakan belenggu yang menyakitkan bagi
Firdaus. Dia dipaksa behubungan badan dan ciuman dengan seorang laki-laki tua
yang penuh dengan bisul bau. Kekerasan ini dilakukan oleh laki-laki sebagai
citra dari patriarki. Kekerasan yang dilakukan oleh Syekh Mahmoud (kakek tua)
pada Firdaus itu adalah perlambang dari pelecehan seksual. Sedangkan pelecehan
seksual merupakan bentuk kekerasan. Menurut feminisme radikal kekerasan ini
diakibatkan karena karena laki-laki merasa memiliki sumber daya kekuasaan yang
paling dasar dan kekuatan fisik untuk membangun kendali.[14]
Ketidakberdayaan perempuan secara
fisik menyebabkan Syeikh Mahmoud bertindak sesuka hati memperlakukan tubuh
Firdaus. Hal ini juga yang dikemukakan oleh seorang feminis radikal yang
bernama Simone de Beauvoir, menurutnya laki-laki telah melakukan
kesewenang-wenangan terhadap alat reproduksi perempuan.[15]
Maka karena itu, Nawal menegaskan
bahwa segala bentuk hubungan antara perempuan dan laki-laki akan menimbulkan
beragam macam ketidakadilan yang menimpa perempuan. Pernikahan menjadi sorotan
Nawal selanjutnya yang ia tuangkan dalam novel Perempuan di Titik Nol.
Bagi si tokoh utama, pernikahan menjadi semacam belenggu dari pada
kesejahteraan.
“Seorang pelacur yang sukses lebih baik dari seorang suci yang
sesat. Semua perempuan adalah korban penipuan. Lelaki memaksakan penipuan pada
perempuan, dan kemudian menghukum mereka karena telah tertipu, menindas mereka
ke tingkat terbawah, dan menghukum mereka karena telah jatuh bagitu rendah,
mengikat mereka dalam perkawinan, dan menghukum mereka dengan kerja sepanjang
umur mereka, atau menghantam mereka dengan penghinaan, atau dengan pukulan.”[16]
Pemikiran Nawal
el-Saadawi ini sama halnya dengan pemikiran Jessie Bernard dalam bukunya yang
terkenal The Future of Marriage
(1972/1982) yang menyebutkan bahwa pernikahan dipandang sebagai belenggu. Jessie
menganalisis perkawinan sebagai hal yang sekaligus merupakan sistem budaya dari
kepercayaan-kepercayaan dan ideal-ideal, susunan institusional peran-peran dan
norma-norma, dan suatu kompleks pengalaman-pengalaman interaksional bagi perempuan
dan pria secara individual. Secara kultural, perkawinan diidealkan sebagai
takdir dan sumber pemenuhan bagi perempuan, suatu anugerah campuran
domestisitas, tanggung jawab, dan paksaan bagi pria, dan untuk masyarakat
Amerika secara keseluruhan suatu asosiasi di antara suami dan istri yang pada
dasarnya egaliter. Secara kelembagaan, perkawinan memperkuat peran suami dengan
otoritas dan kebebasan tentu saja, kewajiban untuk bergerak melampaui latar domestik.
Pada sisi ini, perkawinan dipandang hanya sebagai otoritas dan kekuasaan laki-laki.
Hal itu berakibat bahwa istri harus selalu mengalah, bergantung, mengosongkan
diri, dan pada dasarnya berpusat pada kegiatan-kegiatan dan tuntutan-tuntutan
rumah tangga domestik yang terisolasi.[17] Penggambaran Firdaus
dalam novel Perempuan di Titik Nol sejalan dengan analisis Jessie
Bernard. Pernikahan Firdaus menjadi belenggu tersendiri baginya, dan sebaliknya
menjadi alat pemuasan seksual dan memperlihatkan kekuasaan dengan cara kasar
oleh suaminya.
Lalu secara eksperiensial
ada dua perkawinan di dalam setiap perkawinan institusional: perkawinan pria,
yaitu sang suami percaya dia dikekang dan dibebani, sambil mengalami apa yang
didiktekan norma-norma otoritas, independensi, dan hak untuk mendapat layanan
domestik, emosional, dan seksual yang diberikan oleh istri; dan perkawinan perempuan,
yaitu istri mengukuhkan kepercayaan kultural akan pemenuhan, sambil mengalami
secara normatif diperintah untuk tidak berdaya dan ketergantungan, kewajiban
untuk memberikan pelayanan domestik, emosional, dan seksual.[18]
Menurut
Jessie Bernard, perempuan yang menikah, apapun klaim-klaim mereka pada
pemenuhan, dan pria yang tidak menikah,
apapun klaim-klaim mereka pada kebabasan, menduduki peringkat yang tinggi pada
semua indikator stres, termasuk debaran jantung, kepeningan, sakit kepala,
pingsan, mimpi buruk, insomnia, dan ketakutan terhadap kemacetan saraf. Justru
berbanding terbalik, perempuan yang tidak menikah mempunyai peringkat dan/atau
tingkat yang rendah dalam semua indikator stres. Jadi, menurut Bernard
pernikahan baik bagi pria dan buruk untuk perempuan.[19] Hal tersebut yang
tergambar jelas dalam novel Perempuan di Titik Nol, Firdaus
disubordinasikan menjadi perempuan yang menanggung segala bentuk kekerasan
akibat pernikahannya dengan Syeikh Mahmoud.
Kekerasan Gender dalam Novel Perempuan
di Titik Nol
Dalam menganalis bentuk kekerasan gender yang terdapat dalam novel Perempuan
di Titik Nol, saya akan menggunakan beberapa kerangka acuan. Saya akan
mengambil pendapat para tokoh yang mendalami kajiannya dalam kekerasan gender
ini.
Berkaitan dengan kekerasan gender, Mansour
Fakih mengemukakan ada delapan kategori yang dianggap sebagai kejahatan pada
perempuan. Pertama, bentuk pemerkosaan perempuan, termasuk pemerkosaan
dalam perkawinan. Kedua, tindakan pemukulan dan serangan fisik yang
terjadi dalam rumah tangga. Termasuk tindak kekerasan dalam bentuk penyiksaan
terhadap anak-anak. Ketiga, bentuk penyiksaan yang mengarah pada organ
vital alat kelamin. Keempat, kekerasan dalam bentuk pelacuran. Kelima,
kekerasan dalam bentuk pornografi. Keenam, kekerasan dalam bentuk
pemaksaan sterilisasi dalam keluarga berencana. Ketujuh, kekerasan dalam
bentuk terselubung, yaitu, memegang atau menyentuh bagian tertentu dalam tubuh
perempuan dengan berbagai cara maupun kesempatan tanpa kesepakatan pemilik
tubuh. Dan kedelapan, adalah jenis kekerasan terhadap perempuan yang
paling umum dilakukan di masyarakat, yang dikenal dengan pelecehan seksual.[20]
Apabila merujuk pada delapan
kategori di atas, novel Perempuan di Titik Nol, sudah mewakili ketergambaran
kejahatan pada perempuan. Pertama, pada bentuk pemerkosaan perempuan.
Dalam novel ini, Firdaus diperkosa oleh Syekh Mahmoud, pamannya, ayahnya,
hingga akhirnya dia dipaksa menjadi pelacur oleh seorang mucikari yang jahat. Kedua,
tindakan pemukulan atau KDRT juga dialami Firdaus ketika ia dipaksa
berhubungan badan setelah Bayoumi menjual Firdaus ke para hidung belang.[21] Ketiga,
bentuk penyiksaan yang mengarah pada organ vital kelamin juga dirasakan oleh
Firdaus ketika ia dipaksa merasakan rasa perih karena melayani para pelanggan
dan ketika Firdaus digigit bahu dan buah dadanya oleh lelaki hidung belang.[22] Hal ini
sekaligus menjawab poin keempat mengenai kekerasan dalam bentuk pelacuran.
Sementara
itu, karena kekerasan gender terus-menerus berulang. Akibatnya, hal itu
merupakan bentuk diskriminasi yang serius menghalangi kesempatan perempuan
untuk menikmati kebebasannya atas dasar persamaan hak dengan laki-laki.[23] Apabila
dikaitkan dengan alur cerita yang ada dalam novel Perempuan di Titik Nol.
Masa depan Firdaus menjadi buram, bahkan ia harus mati karena dituduh menjadi
penjahat karena telah membuduh serang mucikari yang sudah membuatnya hidup
sengsara dan akan mengancam nyawanya saat itu.[24]
Agama, Gender dan Seks
Pembicaraan gender dan seks di
sebagian masyarakat, masih saja dianggap tabu. Apalagi, isu ini seringkali
dibenturkan dengan agama. Pada titik ini, teks-teks agama yang ditafsir oleh
kalangan tertentu menjadi semacam legitimasi bagi masyarakat tanpa melakukan
verifikasi terlebih dulu. Lantas, agama seolah bertentangan dengan pembicaraan
mengenai gender dan seks. Menurut Julia Suryakusuma, seks seperti halnya
gender, dikonstrusikan secara sosial. Peran gender dan seksualitas ditentukan
dengan jelas, dan semakin dikendalikan oleh kelas, etnisitas dan agama.[25]
Sementara itu, di samping kurangnya
informasi, konotasi negatif gender dan seks telah melekat. Implikasi yang terjadi pada akhirnya, terdapat
ketimpangan sosial yang merugikan satu pihak, karena tidak adanya pemahaman
mendalam mengenai gender dan seks. Misalnya, kerugian yang dialami pihak
perempuan, seperti pelecehan terhadap tubuh, dan aturan-aturan yang boleh
dilakukan laki-laki, tetapi tidak boleh dilakukan oleh perempuan.
Peran agama dalam novel Perempuan
di Titik Nol ini tidak bisa memberikan solusi atas ketimpangan dan
kekerasan gender yang dialami oleh perempuan. Nawal mencoba menggambarkan bahwa
agama—terkhusus Islam—tidak meberikan solusi dari ketimpangan gender. Ini
berarti seperti yang dijelaskan di atas agama seolah berbenturan apabila
dihubungkan dengan kesetaraan gender dan seks. Buktinya, laki-laki yang suka
beribadah dan memanjatkan doa kepada Tuhan pun tetap memandang perempuan
sebagai mahluk yang rendah. Secara implisit mencoba memperlihatkan bahwa
kekerasa gender tidak hanya bisa diselesaikan dengan doktrin-doktrin agama.
Bahkan lebih parah, agama ini dijadikan kepentingan tertentu oleh kaum
laki-laki.[26]
Maka dari itu, Nawal mencoba membuka mata para pembaca novelnya agar sadar pada
konsep gender dan seks.
Menurut Mansour Fakih, perlunya
pemahaman terhadap konsep gender dan seks, disebabkan adanya landasan yang
terikat pada masalah sosial. Pemahaman dan pembedaan antara konsep seks dan
gender sangatlah diperlukan dalam melakukan analisis untuk memahami
persoalan-persoalan ketidakadilan sosial, dalam hal ini, yang menimpa kaum
perempuan.[27]
Artinya, jika ada ketimpangan yang terjadi terhadap perempuan, boleh jadi,
pemahaman mengenai konsep gender dan seksnya tidak dikaji.
Gagasan mengenai gender dan seks,
memang banyak muncul dari kalangan feminis. Di antaranya, datang dari pemikiran
Oakley. Menurut Oakley seks mengacu pada istilah biologis, sedangkan gender lebih
pada psikologis dan budaya.[28]
Pendapat yang sama dikemukakan juga oleh Maggio (1988) sebagaimana dikutip oleh
John Archer dan Barbara Lloyd, bahwa gender dipandang sebagai budaya; apa
artinya menjadi laki-laki atau perempuan. Sedangkan seks mengacu pada perbedaan
jenis kelamin.[29]
Berdasarkan beberapa pendapat
tersebut, umumnya, pengertian gender mengacu pada konstruksi sosial dan budaya.
Adapun seks, merujuk pada fakta biologis laki-laki dan perempuan. Dengan
demikian, baik gender maupun seks, keduanya saling berkaitan satu sama lain.
Asumsi terhadap seks dapat mendorong gender dalam konstruksi maskulin dan
feminin. Sehingga, streotip yang sering muncul ialah: menjadi perempuan yang
feminin atau menjadi laki-laki yang maskulin itu baik di mata masyarakat.
Dalam konteks ini, seks menunjukkan
perbedaan biologis laki-laki dan perempuan. Sebagai contoh, laki-laki mempunyai
penis; adapun perempuan dapat melahirkan dan mempunyai payudara untuk menyusui.
Berbeda dengan seks, gender lahir dari mitos yang berkembang. Umpamanya,
laki-laki dianggap kuat, sedangkan perempuan sebagai makhluk yang lemah.
Subordinasi yang menganggap
laki-laki kuat dan perempuan lemah ini digambarkan jelas oleh Nawal, misalnya
dalam paragraf berikut:
“Jika salah satu anak perempuan
mati, Ayah akan menyantap makan malamnya, Ibu akan membasuh kakinya, dan
kemudian ia akan pergi tidur, seperti ia lakukan tiap malam. Apabila yang mati
itu seorang anak laki-laki, ia akan memukul Ibu, kemudian makan malam dan
merebahkan diri untuk tidur.”[30]
Dari paragraf di atas, membuktikan bahwa kehadiran anak perempuan
merupakan hal yang tidak dinanti-nantikan. Maka dari itu apabila yang meninggal
perempuan, maka laki-laki seolah tidak memasalahkan hal itu. Namun berbeda lagi,
apabila yang meninggal itu anak laki-laki, maka sang ayah akan sangat marah dan
kecewa. Ini membuktikan, perempuan disudutkan pada sesuatu yang lemah dan tidak
diharapkan. Sementara laki-laki dianggap sebagai anugrah yang dinanti-nantikan.
Maka dari itu, bisa diambil
kesimpulan bahwa persoalan gender yang ada dalam novel Perepuan di Titik Nol,
karya Nawal ini sejalan dengan teori gender pada umumnya yang mengatakan
konstruk gender berasal dari kebudayaan sekitarnya. Konstruksi itu terus dilakukan
oleh laki-laki di Mesir, sehingga terbentuklah anggapan laki-laki lebih baik
dari perempuan.
Berkaitan dengan itu, novel ini bisa
dianalisis menggunakan teori performativitas gender dari Butler. Teori
performativitas gender menunjukkan bahwa sebuah tindakan yang dilakukan, baik
laki-laki maupun perempuan secara berulang-ulang, menghasilkan pengertian
terhadap gender dan seks dalam persfektif masyarakat. Menurut Butler, gender
tidak harus dipahami sebagai kata benda atau sesuatu yang subtansial maupun penanda
budaya. Tetapi, gender merupakan sebuah tindakan yang dilakukan dengan
terus-menerus dan berulang-ulang.[31]
Dalam konteks lain ia menegaskan,
jika gender adalah atribut, bagaimanapun juga, bukan merupakan tindakan
ekspresif tapi performatif. Maka atribut ini secara efektif merupakan identitas
mereka yang dikatakan melalui ungkapan atau pernyataan.[32]
Terkait teori ini, saya
membayangkan, bagaimana anggapan menjadi laki-laki yang maskulin dan perempuan
harus feminin atau anggapan laki-laki kuat dan perempuan lemah, tidak datang
dengan sendirinya. Kewajiban menjadi feminin dan maskulin didatangkan dengan
proses secara turun-temurun. Yaitu, melalui pernyataan-pernyataan yang ada
dalam masyarakat tertentu. Ini mengindikasikan, bila menjadi feminin atau
maskulin bukanlah sebuah takdir yang datang dari tuhan. Tetapi, hal tersebut
dibentuk oleh diskursus atau hasil dari justifikasi-justifikasi yang tumbuh
subur di masyarakat. Hal ini terlihat jelas dari novel Perempuan di Titik
Nol bahwa stigma negatif pada perempuan memang diturunkan terus-menerus.
Human
Trafficking dalam Novel Perempuan di Titik Nol
Trafficking merupakan
proses perdagangan manusia secara eksploitatif, seperti eksploitasi seksual,
kerja paksa tanpa upah, pembunuhan untuk pengambilan organ tubuh dan lain-lain.[33] Perdagangan manusia terjadi karena bermacam-macam kondisi serta
persoalan yang berbeda-beda. Tetapi dapat disimpulkan beberapa faktor[34], yakni:
1. Kurangnya kesadaran
ketika mencari pekerjaan dengan tidak mengetahui bahaya perdagangan manusia dan cara-cara yang
dipakai untuk menipu atau menjebak korban.
2.
Kemiskinan telah memaksa banyak orang
untuk mencari pekerjaan kemana saja, tanpa melihat resiko dari pekerjaan
tersebut.
3.
Lemahnya oknum-oknum aparat penegak hukum dan
pihak-pihak terkait dalam melakukan pengawalan terhadap indikasi kasus-kasus trafficking.
Dalam novel Perempuan di Titik
Nol, Nawal mencoba menggambarkan bahwa kekerasan gender yang dialami oleh
Firdaus juga ternyata ketika ia dijadikan alat untuk membayar hutang-hutang
milik pamannya. Firdaus menikah dengan Syekh Mahmoud bukan karena ia
benar-benar mencintai lelaki tua itu, tetapi karena dipaksa oleh pamannya.
Apabila melihat dari ketiga faktor
terjadinya human trafficking, kasus Firdaus ini lebih cocok disandarkan
pada faktor kedua. Dengan kata lain, pamannya menjual Firdaus dan menikahkan
Firdaus pada orang tua yang kaya.
Tidak hanya dijual oleh pamannya
kepada Syekh Mahmoud, ia juga dijual oleh seorang mucikari. Mucikari itu
menjual Firdaus pada laki-laki hidung belang, sedangkan uangnya ia nikmati
sendiri. Menjadi pelacur bukan keinginan dari Firdaus tapi keadaannya yang
memaksa ia berbuat demikian seperti yang dituliskan dalam fragmen berikut:
“Saya bukan seorang pelacur. Tetapi sejak semula, Ayah, Paman,
suami saya, mereka semua, mengajarkan untuk menjadi dewasa sebagai pelacur.”[35]
Walaupun Firdaus dipaksa menjadi
pelacur, tetapi hati kecilnya tidak ingin memiliki matapencaharian hina
tersebut. Hal itu terbukti ketika Firdaus berontak saat mucikari itu datang
lagi untuk menjadikannya pelacur kembali. Karena sangat tidak mau, Firdaus
membunuh mucikari itu hingga ia dijebloskan ke dalam penjara dan dijatuhi
hukuman mati.
C.
PENUTUP
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan, dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Novel Perempuan di Titik Nol karya Nawal el-Saadawi memuat
ide-ide feminisme radikal. Hal ini terlihat dari asumsi Nawal yang lebih
mengarah bahwa ketidakadilan sosial disebabkan oleh sistem patriarki yang
melingkupinya.
2.
Kekerasan
gender yang digambarkan dalam novel Perempuan di Titik Nol selalu
berujung bahwa laki-laki adalah dalang di balik semua itu. Misalnya kekerasan
seksual dalam bentuk pemerkosaan perempuan yang dilakukan oleh Syekh Mahmoud,
pamannya, dan ayahnya yang tertimpa pada Firdaus. Atau juga tindakan
pemukulan dan KDRT yang dialami Firdaus ketika ia dipaksa berhubungan
badan setelah Bayoumi menjual Firdaus ke para hidung belang.
3.
Nawal
mencoba menggambarkan dalam novel Perempuan di Titik Nol, agama tidak
sepenuhnya dijalankan oleh laki-laki. Hal ini terbukti ketika penggambaran
tentang seorang laki-laki yang khusyu dalam beribadah tetapi ia masih
melakukan kekerasan fisik atau seksual pada perempuan karena perempuan di
pandang rendah.
4.
Human
trafficking yang digambarkan oleh Nawal dalam
novelnya, jelas-jelas menggambarkan bahwa inti masalah yang dihadapi adalah
kekerasan gender.
Berdasarkan hasil analisis novel Perempuan
di Titik Nol karya el-Saadawi yang telah dikemukakan sebelumnya, saran yang
diberikan sebagai berikut:
1. Semoga laki-laki dapat memandang sama posisi perempuan dengannya.
2. Segala bentuk kekerasan, penjahahan, dan segala hal yang melanggar
kemanusiaan harus dihilangkan sebelum hal tersebut mengakar dan menjadi budaya.
3. Tidak ada lagi perendahan atau kekerasan yang dialami perempuan
diakibatkan karena statusnya sebagai perempuan.
5.
DAFTAR
PUSTAKA
Archer, John
& Barbara Lloyd. 2002. Sex and Gender. Edisi kedua. United Kingdom:
Cambridge University Press.
Butler, Judith.
1990. Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity. New York and London: Routledge.
Candraningrum,
Dewi. Mengapa SOGIE (Sexual Orientation, Gender Identity and Expression)?
dalam Jurnal Perempuan: Keragaman Gender dan Seksualitas, Vol. 20, No. 4,
Edisi 87, November 2015, hlm. 4-7.
De Beauvoir,
Simone. 2016. Second Sex: Fakta dan Mitos. Terj. Toni Febrianto.
Yogyakarta: Narasi.
El-Saadawi,
Nawal. 2014. Perempuan di Titik Nol. Terj. Amir Sutaarga. Cet XII.
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
_____________. 1992. Matinya
Sang Penguasa. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
_____________. 1995. Memoar
Seorang Doktor Perempuan. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia.
_____________. 1992. Matinya
Sang Menteri. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
_____________. 2003. Tak Ada Tempat
Bagi Perempuan di Sorga. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia.
_____________. 2003. Wajah
Telanjang Perempuan. Terj. Azhariah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Fakih, Mansour.
2012. Analisis Gender & Transformasi Sosial. Cetakan keempat belas.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hakim, Irwan. 2009. Hukum Internasional Tentang Human trafficking. Bogor.
Jones, Pip. 2010. Pengantar Teori-teori Sosial; dari Teori
Fungsionalisme hingga Postmodernisme. Terj. Achmad Fedyani Saifuddin.
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Ma’mur, Jamal. 2015. Rezim Gender di NU. Cet. Pertama. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Oakley, Ann.
1985. Sex, Gender and Society. Edisi revisi. England: Gower Publishing
Company.
Ollenburger, Jane
C. dan Helen A. Moore. 2002. Sosiologi
Wanita. Jakarta: PT. Asdi Mahasatya.
Prabasmoro,
Aquarini Priyatna. 2006. Kajian Budaya Feminis: Tubuh, Sastra, dan Budaya
Pop. Yogyakarta: Jalasutra.
Pusat Kajian Perempuan.
2007. Hak Azazi Perempuan: Instrumen Hukum Untuk Mewujudkan Keadilan Gender.
Jakarta: Universitas Indonesia.
Ritzer, George. 2014. Teori Sosiologi; dari Sosiologi
Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. Terj. Saut Pasaribu, dkk.
DIY, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cet. II.
Ritzer, George dan Douglas J.
Goodman. 2004. Teori Sosiologi Modern.
Jakarta: Kencana.
Suryakusuma,
Julia. 2012. Agama, Seks dan Kekuasaan. Depok: Komunitas Bambu.
[1]
Mahasiswa Jurusan Sosiologi/V/F, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP)
UIN Sunan Gunung Djati Bandung, NIM. 1148030247
[2]
Mansour Fakih, Analisis Gender & Transformasi Sosial, (Yogyakarta:
Putaka Pelajar, 2013), hlm. 12-13
[3] Nawal El-Saadawi, Perempuan
di Titik Nol, Terj. Amir Sutaarga, Cet XII, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2014), hlm. 70
[4] Nawal El-Saadawi, Matinya Sang Penguasa,
(Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 1992),
hlm. 99
[5] Nawal El-Saadawi, Memoar
Seorang Doktor Perempuan, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 1995),
hlm. 84
[6] Nawal El-Saadawi, Tak Ada
Tempat Bagi Perempuan di Sorga, (Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2003),
hlm. 158
[7]
Jane C. Ollenburger dan
Helen A. Moore, Sosiologi Wanita
(Jakarta: PT. Asdi Mahasatya, 2002), hlm. 27
[9]
Untuk lebih jelas kenapa Nawal el-Saadawi menulis cerita hidup Firdaus, bisa
dibaca dalam tulisan Sekapur Sirih dari Penulis dalam Nawal el-Saadawi, Perempuan
di Titik Nol, Terj. Amir Sutaarga, Cet XII, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2014), hlm. xvii-xxii
[10]
Ibid, hlm. 41
[11]
Pip Jones, Pengantar Teori-teori Sosial:
dari Fungsionalisme hingga Postmodernisme, Terj. Achmad Fedyani Saifuddin,
(Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2009), hlm. 129.
[12]
Mufidah
[13]
Nawal el-Saadawi, Perempuan... Op.cit, hlm. 68
[14]
George Ritzer, Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan
Terakhir Postmodern, Terj. Saut Pasaribu, dkk, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2014), cet. II, hlm. 806
[15]
Lebih lanjut bisa dibaca pada bab Kaum Pengembara dalam Simone de
Beauvoir, Second Sex: Fakta dan Mitos, Terj. Toni Febrianto,
(Yogyakarta: Narasi, 2016), hlm. 85-91.
[16]
Nawal el-Saadawi, Perempuan... Op.cit, hlm.
[17]
George Ritzer dan Douglas
J. Goodman, Teori Sosiologi Modern
(Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 424
[20]
Mansour... Op.cit, hlm. 17-20
[21]
Untuk lebih jelas silahkan baca percakapan antara Firdaus dengan para hidung
belang di Nawal el-Saadawi, Perempuan... Op.cit, hlm.80-81
[22]
Baca Ibid, hlm. 80
[23]
Pusat Kajian Wanita, Hak Azazi Perempuan: Instrumen Hukum Untuk Mewujudkan
Keadilan Gender, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2007), hlm. 47
[24]
Eksekusi hukuman mati ini digambarkan pada bab-bab akhir pada novel Perempuan
di Titik Nol.
[25]
Julia Suryakusuma, Agama, Seks dan Kekuasaan, (Depok: Komunitas Bambu,
2012), hlm. 199
[26]
Misalnya seperti yang digambarkan pada kalimat: “Saya dapat melihat bila mereka
sedang berdoa dengan penuh khidmat bagi para arwah bagi pahlawan-pahlawan
bangsa yang telah mati di medan perang, atau mati karena kelaparan atau mati
karena wabah penyakit sampar. Saya mengikuti gerakan kepala mereka yang
bersujud dan pantat mereka yang terangkat, pantat bulat berlemak yang
membengkak karena daging dan rasa takut. Ketika mereka mengucapkan kata
“patriotisme” dengan segera saya tahu, bahwa ketakutan mereka bukan kepada
Allah, dan bahwa dalam benak mereka, Patriotisme mereka itu adalah yang miskin
harus mati untuk membela tanahnya orang kaya, tanah mereka, karena saya tahu
bahwa orang yang miskin tidak memilikitanah” (el-Saadawi, 2014: 41).
[27]
Mansour Fakih... Op.Cit, hlm. 3
[28] Ann Oakley, Sex, Gender
and Society, Edisi revisi, (England: Gower Publishing Company, 1985), hlm.
158
[29] John Archer & Barbara
Lloyd, Sex and Gender, Edisi kedua, (United Kingdom: Cambridge
University Press, 2002), hlm. 17
[30]
Nawal el-Saadawi... Op.Cit, hlm. 26
[31] Judith Butler, Gender
Trouble: Feminism and the Subversion of Identity, (New York and London:
Routledge, 1990), hlm. 148
[32]
Ibid, hlm. 180
[35]
Nawal el-Saadawi, Perempuan... Op.Cit, hlm. 164
Tidak ada komentar:
Posting Komentar