Selasa, 10 Januari 2017

Ketidakadilan Gender dalam Novel Perempuan di Titik Nol Karya Nawal El-Saadawi

sumber gambar: obor.or.id

 Oleh: Yuris Fahman Zaidan[1]

ABSTRAK
Pembicaraan ihwal gender menjadi sesuatu yang dianggap menarik. Sebagian feminis beranggapan bahwa ketimpangan sosial terjadi karena ketidakadilan dan/atau kekerasan gender. Kondisi ini yang melatarbelakangi munculnya tulisan-tulisan yang bersifat kritik pada kekerasan gender yang terus saja berlangsung dari dahulu. Salah satu yang gencar mengkritik dan merespon situasi politik di sekitarnya dengan gaya feminisme radikal adalah Nawal el-Saadawi. Nawal menjadi penulis aktif isu-isu kekerasan gender yang menimpa kaum perempuan. Tentunya seperti pemikiran feminisme radikal, Nawal berpendapat akar dari kekerasan gender adalah sistem patriarki. Tidak hanya itu, Nawal juga menyoroti orang beragama yang turut mendorong pada ketimpangan
gender. Dalam novelnya Perempuan di Titik Nol, Nawal mencoba menggambarkan ketidakadilan gender yang menimpa Firdaus. Firdaus adalah seorang perempuan yang dijebloskan ke dalam penjara karena membunuh seorang laki-laki yang hendak berbuat jahat kepadanya. Dalam novel ini Nawal mencoba menggambarkan bahwa laki-laki itu selalu memandang rendah perempuan. Penggambarannya diramu oleh Nawal dengan kata-kata yang sarkastik. Membaca novel Perempuan di Titik Nol adalah memahami kritik Nawal el-Saadawi pada situasi lingkungan dan politik yang patriarki.
Kata Kunci: Patriarki, Gender, Seks, dan Feminisme Radikal.


A.      PENDAHULUAN
Pada tulisan ini, saya mencoba memaparkan tentang kekerasan gender dalam salah satu novel Nawal el-Saadawi yang terkenal. Yaitu, novel yang berjudul, Perempuan di Titik Nol. Novel ini, mendapat perhatian yang cukup besar di kalangan kritikus dan sastrawan. Tentu, dilihat dari isinya, dan juga kiprah Nawal dalam menulis novel atau buku berhaluan feminisme. Bagi saya, ketertarikan utama terhadap novel ini, bukan saja berkaitan dengan isi karyanya, tetapi jika ditinjau dari segi sosiologi sastra, sangat relevan untuk dianalisis. Meski demikian, hal itu bukan fokus saya dalam kajian ini. Melainkan, sedapat mungkin untuk merelasikannya dengan wacana gender dan seksualitas.
Saya menemukan beberapa kecenderungan terhadap novel ini, terutama, yang berhubungan dengan isu gender. Jika novel ini ditulis pada tahun 1983, artinya, novel ini merepresentasikan gejala sosial-budaya pada masa itu, khususnya di Mesir. Namun, bila dilihat dari isinya, novel ini mengarah pada pemikiran feminisme radikal. Suatu pandangan bahwa patriarki merupakan biang keladi dari terjadinya ketidakadilan gender.
Sebagai seorang dokter, Nawal, terhitung banyak mengeluarkan karya-karya yang mengacu pada isu gender dan seksualitas. Beberapa karyanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Salah satunya yaitu novel Perempuan di Titik Nol yang diterjemahkan dari Women at Point Zero (1983) oleh Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Karya lain dari Nawal yang telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia, di antaranya Memoar Seorang Doktor Perempuan, Matinya Sang Penguasa, Matinya Sang Menteri, Tak Ada Tempat Bagi Perempuan di Sorga, dan Wajah Telanjang Perempuan.
Tulisan ini berfokus pada uraian kekerasan gender dalam novel Nawal berjudul, Perempuan di Titik Nol, berdasarkan teori-teori gender yang relevan. Dalam konteks ini, kekerasan gender terkandung dalam isu ketidakadilan gender yang dimaksud oleh Mansour Fakih. Menurut Fakih, ketidakadilan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan, di antaranya: marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotipe atau melalui pelabelan negatif, kekerasan, beban kerja lebih panjang dan lebih banyak, serta sosialisasi dalam ideologi nilai peran gender.[2]
Ciri khas feminisme radikal Nawal juga tergambar dari novel atau cerpen yang pernah ia buat. Nawal selalu memasukan konsep ketidaksetaraan dan/atau ketidakadilan gender yang menimpa kaum perempuan. Ada ciri khas dari karya-karya Nawal, ia mencoba menanamkan bahwa laki-laki bersifat bengis dan kebengisan laki-laki itu selalu disandarkan pada perempuan. Hal tersebut bisa kita lihat dalam fragmen-fragmen dari tulisannya:
“Pada suatu peristiwa dia memukul seluruh badan saya dengan sepatunya. Muka dan badan saya menjadi bengkak dan memar. Lalu saya tinggalkan rumah lalu pergi ke rumah paman tetapi paman mengatakan kepada saya bahwa semua suami memukul isterinya, dan isterinya menambahkan bahwa paman adalah  seorang Syekh yang terhormat, terpelajar dalam ajaran agama, dan dia karena itu tak mungkin memiliki kebiasaan memukul isterinya. Dia menjawab bahwa justru laki-laki yang memahami itulah yang suka memukul isterinya. Aturan agama mengijinkan untuk melakukan hukuman itu.[3]
“Saat suaminya kembali dari ladang, dan karena ia tidak menemukan sang anak dimana-mana ia memulai memukul Sakeya. Begitulah tabiyatnya. “Setiap anak laki-lakinya meninggal suaminya akan memukulnya secara membabi buta begitu pula bila anak yang dilahirkan anak perempuan”[4]
Mengapa kehidupan tak berjalan sebagaimana mestinya ? Mengapa tak terdapat pemahaman yang lebih besar terhadap kebenaran dan keadilan ? Mengapa para ibu tak mengakui bahwa anak perempuan sama saja dengan anak laki-laki atau mengapa lelaki tak mau mengakui perempuan sebagai orang yang sederajat dan sebagai mitra, mengapa masyarakat tak mengakui hak seorang perempuan untuk hidup normal dengan menggunakan otak ataupun tubuhnya.”[5]
"Bapakku memperlakukanku lebih buruk daripada pembunuhan. Permasalahannya adalah undang-undang tidak menghukum bapakku serta tidak menghukum suami Rabiah. Undang-undang juga tidak menghukum para bapak dan para suami yang memperjualbelikan kami atas nama nikah yang sah, talak atau poligami yang sah."[6]
Framen-fragmen di atas menurut penulis memberikan gambaran yang jelas dimana posisi pemikiran Nawal el-Saadawi. Namun karena karya Nawal banyak, maka penulis hanya akan membatasi pembahasan dari salah satu novelnya yang terkenal yang sudah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan judul Perempuan di Titik Nol.
Ada beberapa pokok bahasan yang akan penulis sampaikan. Pertama, kecenderungan pemikiran feminisme radikal dalam novel Perempuan di Titik Nol. Pada sub bab ini penulis memakai teori-teori feminisme radikal yang menganggap sumber ketidakadilan dan/atau kekerasan gender adalah patriarki. Di bagian akhir dari sub bab ini penulis mencoba merelevansikan teori Jessie Bernard berkenaan dengan pernikahan sebagai belenggu yang digambarkan jelas oleh Nawal dalam novelnya.
Kedua, penulis juga membahas perihal kekerasan gender yang digambarkan dalam novel Perempuan di Titik Nol. Dalam menganalisis masalah ini, penulis menggunakan kategori-kategori kekerasan terhadap perempuan seperti yang ditulis oleh Mansour Fakih dalam buku Analisis Gender & Transformasi Sosial (2012).
Ketiga, penulis mencoba menghubungkan kaitan antara agama, gender, dan seks yang terdapat pada novel Perempuan di Titik Nol. Keempat, penulis mencoba menggambarkan bahwa Nawal menyoroti persoalan human trafficking dalam novelnya. Keempat poin ini sebenarnya berkaitan dengan kekerasan gender yang dialami oleh Firdaus sebagai tokoh utama.
Dari keempat sub bahasan tersebut, penulis mencoba menjabarkan penggambaran Nawal el-Saadawi berkenaan dengan kekerasan gender pada perempuan dalam novelnya Perempuan di Titik Nol.




B.       PEMBAHASAN
Sebagaimana yang telah penulis utarakan dalam pendahuluan. Pembahasan ini berkaitan dengan usaha untuk menyingkap penggambaran kekerasan gender yang terdapat dalam novel Perempuan di Titik Nol karya Nawal el-Saadawi.
Nawal merupakan penulis feminis yang tulisan-tulisannya selalu mengkritik dan merespon situasi politik di sekitarnya. Dari tulisan-tulisannya, Nawal menyatakan bahwa ketimpangan sosial yang terjadi diakibatkan oleh kekerasan dan ketidakadilan gender.
Gaya bahasa yang digunakannya selalu sarkatis dan cukup membuat geram para intelektual dan Pemerintah Mesir. Karena tulisan-tulisan kritik pedasnya, tanggal 6 September 1981 Nawal dijebloskan ke dalam penjara Barrages di Mesir pada masa pemerintahan Anwar Sadat atas tuduhan perbuatan kriminal melawan pemerintahan yang sah.
Pembahasan ini diarahkan dalam usaha mengungkap kritik-kritik yang dilontarkan oleh Nawal yang dibagi kedalam tiga bagian seperti yang telah dikemukakan dalam pendahuluan.
Pemikiran Feminisme Radikal dalam Novel Perempuan di Titik Nol
Di dalam beberapa persepektif feminisme radikal, digambarkan bahwa perempuan ditindas oleh sistem-sistem sosial patriarki, yakni penindasan-penindasan yang paling mendasar. Penindasan berganda seperti rasisme, eksploitasi jasmaniah, heteroseksisme, dan kelasisme, terjadi secara signifikan dalam hubungannya dengan penindasan patriarki. Agar perempuan terbebas dari penindasan, perlu mengubah masyarakat yang berstruktur patriarki.[7]
Menurut Jagger dan Rothanberg para teoritisi feminis radikal menunjukkan sifat-sifat mendasar penindasan perempuan lebih besar daripada bentuk-bentuk penindasan lain (ras, kelas) dalam berbagai hal:
Ø  Secara historis, perempuan merupakan kelompok pertama yang ditindas.
Ø  Penindasan perempuan ada di mana-mana, dalam semua masyarakat.
Ø  Penindasan perempuan adalah bentuk penindasan yang paling sulit dilenyapkan, dan tidak akan bisa dihilangkan melalui perubahan-perubahan sosial lain, seperti penghapusan kelas masyarakat.
Ø  Penindasan perempuan menyebabkan penderitaan yang paling berat bagi korban-korbannya; meskipun penderitaan ini barangkali berlangsung tanpa diketahui.
Ø  Penindasan perempuan memberikan suatu model konseptual untuk memahami semua bentuk penindasan lain.
Unsur pokok patriarki di dalam analisis femisnis radikal, adalah kontrol terhadap perempuan melalui kekerasan. Carole Sheffield (1984) menegaskan bahwa kekerasan dan ancaman kekerasan terhadap perempuan oleh laki-laki, menggambarkan kebutuhan sistem patriarki untuk meniadakan kontrol perempuan atas tubuh dan kehidupan mereka sendiri, kekerasan ini terjadi dalam bentuk-bentuk serangan seksual, pemukulan dan pelecehan seksual terhadap perempuan oleh laki-laki.[8]
Penggambaran patriaki sebagai suatu yang bermasalah terlihat jelas dalam novel Perempuan di Titik Nol karya Nawal el-Saadawi yang mengangkat cerita nyata seorang perempuan yang ditahanan di penjara Qanatir, Mesir. Ia bernama Firdaus, ia didakwa hukuman mati oleh pengadilan karena telah melakukan pembunuhan. Namun ternyata pembunuhan itu tidak serta merta dilakukan Firdaus karena balas dendam, ada sekumpulan cerita dibalik kejadian itu. Nawal menuangkan perjuangan hidup Firdaus dalam melewati hidupnya yang kelam, sampai-sampai ajal menjemputnya karena ia dijatuhi hukuman mati.[9]
Bukan hanya menggambarkan bentuk patriarki, lebih jauh novel ini juga mengarahkan pembaca pada asumsi bahwa setiap laki-laki penuh dengan kenegatifan. Beberapa paragraf dan alur carita dari novel Perempuan di Titik Nol cenderung mengarah pada feminisme radikal. Patriarki dan laki-laki dianggap sebagai biangkeladi dari ketidak adilan gender. Nawal misalnya menuliskan:
“Saya dapat pula mengetahui bahwa semua yang memerintah adalah laki-laki. Persamaan di antara mereka adalah kerakusan dan kepribadian yang penuh distorsi, nafsu tanpa batas mengumpul uang, seks dan kekuasaan tanpa batas. Mereka adalah lelaki yang menaburkan korupsi di bumi, yang merampas rakyat mereka, yang bermulut besar, berkesanggupan untuk membujuk, memilih kata-kata manis, dan menembakan panah beracun. Karena itu, kebenaran tentang mereka hanya terbuka setelah mereka mati, dan akibatnya saya menemukan bahwa sejarah cendrung mengulangi dirinya dengan kekerasan kepala yang dungu.”[10]
Paragraf di atas menunjukan bahwa ketimpangan gender diakibatkan oleh patriarki dan laki-laki sebagaimana yang dikemukakan oleh feminisme radikal. Hal itu sejalan dengan pendapat Kate Millett yang mengatakan bahwa patriarki dibawa oleh kontrol gagasan dan kebudayaan laki-laki.[11] Penyudutan terhadap laki-laki itu digambarkan oleh Nawal ketika laki-laki bebas meneksploitasi tubuh perempuan: memperkosa atau menyakiti vaginanya.
Dari sini kita bisa melihat bahwa tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan antara lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas, seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat-publik.[12] Eksploitasi terhadap tubuh ini digambarkan oleh Nawal ketika ia sedang menceritakan Firdaus yang dipaksa menikah dan berhubungan badan dengan lelaki tua—lebih dari 60 tahun—yang kaya:
“Apabila lubangnya kering, saya biarkan dia menciumi saya. Saya dapat measakan bisul yang bengkak itu di muka dan bibir saya seperti sebuah dompet kecil, atau seperti sebuah kantong tempat air, penuh dengan cairan berminyak. Tetapi pada hari-hari lubang itu tidak kering saya akan memalingkan bibir dan muka saya menjauhi dan menghindari bau bangkai anjing yang keluar dari lubang itu.”[13]
Dari teks di atas tergambar jelas bahwa pernikahan merupakan belenggu yang menyakitkan bagi Firdaus. Dia dipaksa behubungan badan dan ciuman dengan seorang laki-laki tua yang penuh dengan bisul bau. Kekerasan ini dilakukan oleh laki-laki sebagai citra dari patriarki. Kekerasan yang dilakukan oleh Syekh Mahmoud (kakek tua) pada Firdaus itu adalah perlambang dari pelecehan seksual. Sedangkan pelecehan seksual merupakan bentuk kekerasan. Menurut feminisme radikal kekerasan ini diakibatkan karena karena laki-laki merasa memiliki sumber daya kekuasaan yang paling dasar dan kekuatan fisik untuk membangun kendali.[14]
Ketidakberdayaan perempuan secara fisik menyebabkan Syeikh Mahmoud bertindak sesuka hati memperlakukan tubuh Firdaus. Hal ini juga yang dikemukakan oleh seorang feminis radikal yang bernama Simone de Beauvoir, menurutnya laki-laki telah melakukan kesewenang-wenangan terhadap alat reproduksi perempuan.[15]
Maka karena itu, Nawal menegaskan bahwa segala bentuk hubungan antara perempuan dan laki-laki akan menimbulkan beragam macam ketidakadilan yang menimpa perempuan. Pernikahan menjadi sorotan Nawal selanjutnya yang ia tuangkan dalam novel Perempuan di Titik Nol. Bagi si tokoh utama, pernikahan menjadi semacam belenggu dari pada kesejahteraan.
“Seorang pelacur yang sukses lebih baik dari seorang suci yang sesat. Semua perempuan adalah korban penipuan. Lelaki memaksakan penipuan pada perempuan, dan kemudian menghukum mereka karena telah tertipu, menindas mereka ke tingkat terbawah, dan menghukum mereka karena telah jatuh bagitu rendah, mengikat mereka dalam perkawinan, dan menghukum mereka dengan kerja sepanjang umur mereka, atau menghantam mereka dengan penghinaan, atau dengan pukulan.”[16]
Pemikiran Nawal el-Saadawi ini sama halnya dengan pemikiran Jessie Bernard dalam bukunya yang terkenal The Future of Marriage (1972/1982) yang menyebutkan bahwa pernikahan dipandang sebagai belenggu. Jessie menganalisis perkawinan sebagai hal yang sekaligus merupakan sistem budaya dari kepercayaan-kepercayaan dan ideal-ideal, susunan institusional peran-peran dan norma-norma, dan suatu kompleks pengalaman-pengalaman interaksional bagi perempuan dan pria secara individual. Secara kultural, perkawinan diidealkan sebagai takdir dan sumber pemenuhan bagi perempuan, suatu anugerah campuran domestisitas, tanggung jawab, dan paksaan bagi pria, dan untuk masyarakat Amerika secara keseluruhan suatu asosiasi di antara suami dan istri yang pada dasarnya egaliter. Secara kelembagaan, perkawinan memperkuat peran suami dengan otoritas dan kebebasan tentu saja, kewajiban untuk bergerak melampaui latar domestik. Pada sisi ini, perkawinan dipandang hanya sebagai otoritas dan kekuasaan laki-laki. Hal itu berakibat bahwa istri harus selalu mengalah, bergantung, mengosongkan diri, dan pada dasarnya berpusat pada kegiatan-kegiatan dan tuntutan-tuntutan rumah tangga domestik yang terisolasi.[17] Penggambaran Firdaus dalam novel Perempuan di Titik Nol sejalan dengan analisis Jessie Bernard. Pernikahan Firdaus menjadi belenggu tersendiri baginya, dan sebaliknya menjadi alat pemuasan seksual dan memperlihatkan kekuasaan dengan cara kasar oleh suaminya.
Lalu secara eksperiensial ada dua perkawinan di dalam setiap perkawinan institusional: perkawinan pria, yaitu sang suami percaya dia dikekang dan dibebani, sambil mengalami apa yang didiktekan norma-norma otoritas, independensi, dan hak untuk mendapat layanan domestik, emosional, dan seksual yang diberikan oleh istri; dan perkawinan perempuan, yaitu istri mengukuhkan kepercayaan kultural akan pemenuhan, sambil mengalami secara normatif diperintah untuk tidak berdaya dan ketergantungan, kewajiban untuk memberikan pelayanan domestik, emosional, dan seksual.[18]
Menurut Jessie Bernard, perempuan yang menikah, apapun klaim-klaim mereka pada pemenuhan, dan pria yang  tidak menikah, apapun klaim-klaim mereka pada kebabasan, menduduki peringkat yang tinggi pada semua indikator stres, termasuk debaran jantung, kepeningan, sakit kepala, pingsan, mimpi buruk, insomnia, dan ketakutan terhadap kemacetan saraf. Justru berbanding terbalik, perempuan yang tidak menikah mempunyai peringkat dan/atau tingkat yang rendah dalam semua indikator stres. Jadi, menurut Bernard pernikahan baik bagi pria dan buruk untuk perempuan.[19] Hal tersebut yang tergambar jelas dalam novel Perempuan di Titik Nol, Firdaus disubordinasikan menjadi perempuan yang menanggung segala bentuk kekerasan akibat pernikahannya dengan Syeikh Mahmoud.
Kekerasan Gender dalam Novel Perempuan di Titik Nol
Dalam menganalis bentuk kekerasan gender yang terdapat dalam novel Perempuan di Titik Nol, saya akan menggunakan beberapa kerangka acuan. Saya akan mengambil pendapat para tokoh yang mendalami kajiannya dalam kekerasan gender ini.
Berkaitan dengan kekerasan gender, Mansour Fakih mengemukakan ada delapan kategori yang dianggap sebagai kejahatan pada perempuan. Pertama, bentuk pemerkosaan perempuan, termasuk pemerkosaan dalam perkawinan. Kedua, tindakan pemukulan dan serangan fisik yang terjadi dalam rumah tangga. Termasuk tindak kekerasan dalam bentuk penyiksaan terhadap anak-anak. Ketiga, bentuk penyiksaan yang mengarah pada organ vital alat kelamin. Keempat, kekerasan dalam bentuk pelacuran. Kelima, kekerasan dalam bentuk pornografi. Keenam, kekerasan dalam bentuk pemaksaan sterilisasi dalam keluarga berencana. Ketujuh, kekerasan dalam bentuk terselubung, yaitu, memegang atau menyentuh bagian tertentu dalam tubuh perempuan dengan berbagai cara maupun kesempatan tanpa kesepakatan pemilik tubuh. Dan kedelapan, adalah jenis kekerasan terhadap perempuan yang paling umum dilakukan di masyarakat, yang dikenal dengan pelecehan seksual.[20]
Apabila merujuk pada delapan kategori di atas, novel Perempuan di Titik Nol, sudah mewakili ketergambaran kejahatan pada perempuan. Pertama, pada bentuk pemerkosaan perempuan. Dalam novel ini, Firdaus diperkosa oleh Syekh Mahmoud, pamannya, ayahnya, hingga akhirnya dia dipaksa menjadi pelacur oleh seorang mucikari yang jahat. Kedua, tindakan pemukulan atau KDRT juga dialami Firdaus ketika ia dipaksa berhubungan badan setelah Bayoumi menjual Firdaus ke para hidung belang.[21] Ketiga, bentuk penyiksaan yang mengarah pada organ vital kelamin juga dirasakan oleh Firdaus ketika ia dipaksa merasakan rasa perih karena melayani para pelanggan dan ketika Firdaus digigit bahu dan buah dadanya oleh lelaki hidung belang.[22] Hal ini sekaligus menjawab poin keempat mengenai kekerasan dalam bentuk pelacuran.
Sementara itu, karena kekerasan gender terus-menerus berulang. Akibatnya, hal itu merupakan bentuk diskriminasi yang serius menghalangi kesempatan perempuan untuk menikmati kebebasannya atas dasar persamaan hak dengan laki-laki.[23] Apabila dikaitkan dengan alur cerita yang ada dalam novel Perempuan di Titik Nol. Masa depan Firdaus menjadi buram, bahkan ia harus mati karena dituduh menjadi penjahat karena telah membuduh serang mucikari yang sudah membuatnya hidup sengsara dan akan mengancam nyawanya saat itu.[24]
Agama, Gender dan Seks
Pembicaraan gender dan seks di sebagian masyarakat, masih saja dianggap tabu. Apalagi, isu ini seringkali dibenturkan dengan agama. Pada titik ini, teks-teks agama yang ditafsir oleh kalangan tertentu menjadi semacam legitimasi bagi masyarakat tanpa melakukan verifikasi terlebih dulu. Lantas, agama seolah bertentangan dengan pembicaraan mengenai gender dan seks. Menurut Julia Suryakusuma, seks seperti halnya gender, dikonstrusikan secara sosial. Peran gender dan seksualitas ditentukan dengan jelas, dan semakin dikendalikan oleh kelas, etnisitas dan agama.[25]
Sementara itu, di samping kurangnya informasi, konotasi negatif gender dan seks telah melekat. Implikasi  yang terjadi pada akhirnya, terdapat ketimpangan sosial yang merugikan satu pihak, karena tidak adanya pemahaman mendalam mengenai gender dan seks. Misalnya, kerugian yang dialami pihak perempuan, seperti pelecehan terhadap tubuh, dan aturan-aturan yang boleh dilakukan laki-laki, tetapi tidak boleh dilakukan oleh perempuan.
Peran agama dalam novel Perempuan di Titik Nol ini tidak bisa memberikan solusi atas ketimpangan dan kekerasan gender yang dialami oleh perempuan. Nawal mencoba menggambarkan bahwa agama—terkhusus Islam—tidak meberikan solusi dari ketimpangan gender. Ini berarti seperti yang dijelaskan di atas agama seolah berbenturan apabila dihubungkan dengan kesetaraan gender dan seks. Buktinya, laki-laki yang suka beribadah dan memanjatkan doa kepada Tuhan pun tetap memandang perempuan sebagai mahluk yang rendah. Secara implisit mencoba memperlihatkan bahwa kekerasa gender tidak hanya bisa diselesaikan dengan doktrin-doktrin agama. Bahkan lebih parah, agama ini dijadikan kepentingan tertentu oleh kaum laki-laki.[26] Maka dari itu, Nawal mencoba membuka mata para pembaca novelnya agar sadar pada konsep gender dan seks.
Menurut Mansour Fakih, perlunya pemahaman terhadap konsep gender dan seks, disebabkan adanya landasan yang terikat pada masalah sosial. Pemahaman dan pembedaan antara konsep seks dan gender sangatlah diperlukan dalam melakukan analisis untuk memahami persoalan-persoalan ketidakadilan sosial, dalam hal ini, yang menimpa kaum perempuan.[27] Artinya, jika ada ketimpangan yang terjadi terhadap perempuan, boleh jadi, pemahaman mengenai konsep gender dan seksnya tidak dikaji.
Gagasan mengenai gender dan seks, memang banyak muncul dari kalangan feminis. Di antaranya, datang dari pemikiran Oakley. Menurut Oakley seks mengacu pada istilah biologis, sedangkan gender lebih pada psikologis dan budaya.[28] Pendapat yang sama dikemukakan juga oleh Maggio (1988) sebagaimana dikutip oleh John Archer dan Barbara Lloyd, bahwa gender dipandang sebagai budaya; apa artinya menjadi laki-laki atau perempuan. Sedangkan seks mengacu pada perbedaan jenis kelamin.[29]
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, umumnya, pengertian gender mengacu pada konstruksi sosial dan budaya. Adapun seks, merujuk pada fakta biologis laki-laki dan perempuan. Dengan demikian, baik gender maupun seks, keduanya saling berkaitan satu sama lain. Asumsi terhadap seks dapat mendorong gender dalam konstruksi maskulin dan feminin. Sehingga, streotip yang sering muncul ialah: menjadi perempuan yang feminin atau menjadi laki-laki yang maskulin itu baik di mata masyarakat.
Dalam konteks ini, seks menunjukkan perbedaan biologis laki-laki dan perempuan. Sebagai contoh, laki-laki mempunyai penis; adapun perempuan dapat melahirkan dan mempunyai payudara untuk menyusui. Berbeda dengan seks, gender lahir dari mitos yang berkembang. Umpamanya, laki-laki dianggap kuat, sedangkan perempuan sebagai makhluk yang lemah.
Subordinasi yang menganggap laki-laki kuat dan perempuan lemah ini digambarkan jelas oleh Nawal, misalnya dalam paragraf berikut:
“Jika salah satu anak perempuan mati, Ayah akan menyantap makan malamnya, Ibu akan membasuh kakinya, dan kemudian ia akan pergi tidur, seperti ia lakukan tiap malam. Apabila yang mati itu seorang anak laki-laki, ia akan memukul Ibu, kemudian makan malam dan merebahkan diri untuk tidur.”[30]
Dari paragraf di atas, membuktikan bahwa kehadiran anak perempuan merupakan hal yang tidak dinanti-nantikan. Maka dari itu apabila yang meninggal perempuan, maka laki-laki seolah tidak memasalahkan hal itu. Namun berbeda lagi, apabila yang meninggal itu anak laki-laki, maka sang ayah akan sangat marah dan kecewa. Ini membuktikan, perempuan disudutkan pada sesuatu yang lemah dan tidak diharapkan. Sementara laki-laki dianggap sebagai anugrah yang dinanti-nantikan.
Maka dari itu, bisa diambil kesimpulan bahwa persoalan gender yang ada dalam novel Perepuan di Titik Nol, karya Nawal ini sejalan dengan teori gender pada umumnya yang mengatakan konstruk gender berasal dari kebudayaan sekitarnya. Konstruksi itu terus dilakukan oleh laki-laki di Mesir, sehingga terbentuklah anggapan laki-laki lebih baik dari perempuan.
Berkaitan dengan itu, novel ini bisa dianalisis menggunakan teori performativitas gender dari Butler. Teori performativitas gender menunjukkan bahwa sebuah tindakan yang dilakukan, baik laki-laki maupun perempuan secara berulang-ulang, menghasilkan pengertian terhadap gender dan seks dalam persfektif masyarakat. Menurut Butler, gender tidak harus dipahami sebagai kata benda atau sesuatu yang subtansial maupun penanda budaya. Tetapi, gender merupakan sebuah tindakan yang dilakukan dengan terus-menerus dan berulang-ulang.[31]
Dalam konteks lain ia menegaskan, jika gender adalah atribut, bagaimanapun juga, bukan merupakan tindakan ekspresif tapi performatif. Maka atribut ini secara efektif merupakan identitas mereka yang dikatakan melalui ungkapan atau pernyataan.[32]
Terkait teori ini, saya membayangkan, bagaimana anggapan menjadi laki-laki yang maskulin dan perempuan harus feminin atau anggapan laki-laki kuat dan perempuan lemah, tidak datang dengan sendirinya. Kewajiban menjadi feminin dan maskulin didatangkan dengan proses secara turun-temurun. Yaitu, melalui pernyataan-pernyataan yang ada dalam masyarakat tertentu. Ini mengindikasikan, bila menjadi feminin atau maskulin bukanlah sebuah takdir yang datang dari tuhan. Tetapi, hal tersebut dibentuk oleh diskursus atau hasil dari justifikasi-justifikasi yang tumbuh subur di masyarakat. Hal ini terlihat jelas dari novel Perempuan di Titik Nol bahwa stigma negatif pada perempuan memang diturunkan terus-menerus.
Human Trafficking dalam Novel Perempuan di Titik Nol
Trafficking merupakan proses perdagangan manusia secara eksploitatif, seperti eksploitasi seksual, kerja paksa tanpa upah, pembunuhan untuk pengambilan organ tubuh dan lain-lain.[33] Perdagangan manusia terjadi karena bermacam-macam kondisi serta persoalan yang berbeda-beda. Tetapi dapat disimpulkan beberapa faktor[34], yakni:
1.    Kurangnya kesadaran ketika mencari pekerjaan dengan tidak mengetahui bahaya perdagangan manusia dan cara-cara yang dipakai untuk menipu atau menjebak korban.
2.    Kemiskinan telah memaksa banyak orang untuk mencari pekerjaan kemana saja, tanpa melihat resiko dari pekerjaan tersebut.
3.    Lemahnya oknum-oknum aparat penegak hukum dan pihak-pihak terkait dalam melakukan pengawalan terhadap indikasi kasus-kasus trafficking.
Dalam novel Perempuan di Titik Nol, Nawal mencoba menggambarkan bahwa kekerasan gender yang dialami oleh Firdaus juga ternyata ketika ia dijadikan alat untuk membayar hutang-hutang milik pamannya. Firdaus menikah dengan Syekh Mahmoud bukan karena ia benar-benar mencintai lelaki tua itu, tetapi karena dipaksa oleh pamannya.
Apabila melihat dari ketiga faktor terjadinya human trafficking, kasus Firdaus ini lebih cocok disandarkan pada faktor kedua. Dengan kata lain, pamannya menjual Firdaus dan menikahkan Firdaus pada orang tua yang kaya.
Tidak hanya dijual oleh pamannya kepada Syekh Mahmoud, ia juga dijual oleh seorang mucikari. Mucikari itu menjual Firdaus pada laki-laki hidung belang, sedangkan uangnya ia nikmati sendiri. Menjadi pelacur bukan keinginan dari Firdaus tapi keadaannya yang memaksa ia berbuat demikian seperti yang dituliskan dalam fragmen berikut:
“Saya bukan seorang pelacur. Tetapi sejak semula, Ayah, Paman, suami saya, mereka semua, mengajarkan untuk menjadi dewasa sebagai pelacur.”[35]
Walaupun Firdaus dipaksa menjadi pelacur, tetapi hati kecilnya tidak ingin memiliki matapencaharian hina tersebut. Hal itu terbukti ketika Firdaus berontak saat mucikari itu datang lagi untuk menjadikannya pelacur kembali. Karena sangat tidak mau, Firdaus membunuh mucikari itu hingga ia dijebloskan ke dalam penjara dan dijatuhi hukuman mati.

C.      PENUTUP
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Novel Perempuan di Titik Nol karya Nawal el-Saadawi memuat ide-ide feminisme radikal. Hal ini terlihat dari asumsi Nawal yang lebih mengarah bahwa ketidakadilan sosial disebabkan oleh sistem patriarki yang melingkupinya.
2.      Kekerasan gender yang digambarkan dalam novel Perempuan di Titik Nol selalu berujung bahwa laki-laki adalah dalang di balik semua itu. Misalnya kekerasan seksual dalam bentuk pemerkosaan perempuan yang dilakukan oleh Syekh Mahmoud, pamannya, dan ayahnya yang tertimpa pada Firdaus. Atau juga tindakan pemukulan dan KDRT yang dialami Firdaus ketika ia dipaksa berhubungan badan setelah Bayoumi menjual Firdaus ke para hidung belang.
3.      Nawal mencoba menggambarkan dalam novel Perempuan di Titik Nol, agama tidak sepenuhnya dijalankan oleh laki-laki. Hal ini terbukti ketika penggambaran tentang seorang laki-laki yang khusyu dalam beribadah tetapi ia masih melakukan kekerasan fisik atau seksual pada perempuan karena perempuan di pandang rendah.
4.      Human trafficking yang digambarkan oleh Nawal dalam novelnya, jelas-jelas menggambarkan bahwa inti masalah yang dihadapi adalah kekerasan gender.
Berdasarkan hasil analisis novel Perempuan di Titik Nol karya el-Saadawi yang telah dikemukakan sebelumnya, saran yang diberikan sebagai berikut:
1.      Semoga laki-laki dapat memandang sama posisi perempuan dengannya.
2.      Segala bentuk kekerasan, penjahahan, dan segala hal yang melanggar kemanusiaan harus dihilangkan sebelum hal tersebut mengakar dan menjadi budaya.
3.      Tidak ada lagi perendahan atau kekerasan yang dialami perempuan diakibatkan karena statusnya sebagai perempuan.


5.       
DAFTAR PUSTAKA
Archer, John & Barbara Lloyd. 2002. Sex and Gender. Edisi kedua. United Kingdom: Cambridge University Press.
Butler, Judith. 1990. Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity.  New York and London: Routledge.
Candraningrum, Dewi. Mengapa SOGIE (Sexual Orientation, Gender Identity and Expression)? dalam Jurnal Perempuan: Keragaman Gender dan Seksualitas, Vol. 20, No. 4, Edisi 87, November 2015, hlm. 4-7.
De Beauvoir, Simone. 2016. Second Sex: Fakta dan Mitos. Terj. Toni Febrianto. Yogyakarta: Narasi.
El-Saadawi, Nawal. 2014. Perempuan di Titik Nol. Terj. Amir Sutaarga. Cet XII. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
_____________. 1992. Matinya Sang Penguasa. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
_____________. 1995. Memoar Seorang Doktor Perempuan. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
_____________. 1992. Matinya Sang Menteri. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
_____________. 2003. Tak Ada Tempat Bagi Perempuan di Sorga. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
_____________. 2003. Wajah Telanjang Perempuan. Terj. Azhariah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Fakih, Mansour. 2012. Analisis Gender & Transformasi Sosial. Cetakan keempat belas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hakim, Irwan. 2009. Hukum Internasional Tentang Human trafficking. Bogor.
Jones, Pip. 2010. Pengantar Teori-teori Sosial; dari Teori Fungsionalisme hingga Postmodernisme. Terj. Achmad Fedyani Saifuddin. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Ma’mur, Jamal. 2015. Rezim Gender di NU. Cet. Pertama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Oakley, Ann. 1985. Sex, Gender and Society. Edisi revisi. England: Gower Publishing Company.
Ollenburger, Jane C. dan Helen A. Moore. 2002. Sosiologi Wanita. Jakarta: PT. Asdi Mahasatya.
Prabasmoro, Aquarini Priyatna. 2006. Kajian Budaya Feminis: Tubuh, Sastra, dan Budaya Pop. Yogyakarta: Jalasutra.
Pusat Kajian Perempuan. 2007. Hak Azazi Perempuan: Instrumen Hukum Untuk Mewujudkan Keadilan Gender. Jakarta: Universitas Indonesia.
Ritzer, George. 2014. Teori Sosiologi; dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. Terj. Saut Pasaribu, dkk. DIY, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cet. II.
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2004. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana.
Suryakusuma, Julia. 2012. Agama, Seks dan Kekuasaan. Depok: Komunitas Bambu.


[1] Mahasiswa Jurusan Sosiologi/V/F, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Sunan Gunung Djati Bandung, NIM. 1148030247
[2] Mansour Fakih, Analisis Gender & Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Putaka Pelajar, 2013), hlm. 12-13
[3] Nawal El-Saadawi, Perempuan di Titik Nol, Terj. Amir Sutaarga, Cet XII, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014), hlm. 70
[4] Nawal El-Saadawi, Matinya Sang Penguasa, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 1992), hlm. 99
[5] Nawal El-Saadawi, Memoar Seorang Doktor Perempuan, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 1995), hlm. 84
[6] Nawal El-Saadawi, Tak Ada Tempat Bagi Perempuan di Sorga, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2003), hlm. 158
[7] Jane C. Ollenburger dan Helen A. Moore, Sosiologi Wanita (Jakarta: PT. Asdi Mahasatya, 2002), hlm. 27
[8] Ibid, hlm. 28
[9] Untuk lebih jelas kenapa Nawal el-Saadawi menulis cerita hidup Firdaus, bisa dibaca dalam tulisan Sekapur Sirih dari Penulis dalam Nawal el-Saadawi, Perempuan di Titik Nol, Terj. Amir Sutaarga, Cet XII, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014), hlm. xvii-xxii
[10] Ibid, hlm. 41
[11] Pip Jones, Pengantar Teori-teori Sosial: dari Fungsionalisme hingga Postmodernisme, Terj. Achmad Fedyani Saifuddin, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2009), hlm. 129.
[12] Mufidah
[13] Nawal el-Saadawi, Perempuan... Op.cit, hlm. 68
[14] George Ritzer, Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern, Terj. Saut Pasaribu, dkk, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), cet. II, hlm. 806
[15] Lebih lanjut bisa dibaca pada bab Kaum Pengembara dalam Simone de Beauvoir, Second Sex: Fakta dan Mitos, Terj. Toni Febrianto, (Yogyakarta: Narasi, 2016), hlm. 85-91.
[16] Nawal el-Saadawi, Perempuan... Op.cit, hlm.
[17] George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 424
[18] Ibid, hlm. 424
[19]Ibid, hlm. 425
[20] Mansour... Op.cit, hlm. 17-20
[21] Untuk lebih jelas silahkan baca percakapan antara Firdaus dengan para hidung belang di Nawal el-Saadawi, Perempuan... Op.cit, hlm.80-81
[22] Baca Ibid, hlm. 80
[23] Pusat Kajian Wanita, Hak Azazi Perempuan: Instrumen Hukum Untuk Mewujudkan Keadilan Gender, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2007), hlm. 47
[24] Eksekusi hukuman mati ini digambarkan pada bab-bab akhir pada novel Perempuan di Titik Nol.
[25] Julia Suryakusuma, Agama, Seks dan Kekuasaan, (Depok: Komunitas Bambu, 2012), hlm. 199
[26] Misalnya seperti yang digambarkan pada kalimat: “Saya dapat melihat bila mereka sedang berdoa dengan penuh khidmat bagi para arwah bagi pahlawan-pahlawan bangsa yang telah mati di medan perang, atau mati karena kelaparan atau mati karena wabah penyakit sampar. Saya mengikuti gerakan kepala mereka yang bersujud dan pantat mereka yang terangkat, pantat bulat berlemak yang membengkak karena daging dan rasa takut. Ketika mereka mengucapkan kata “patriotisme” dengan segera saya tahu, bahwa ketakutan mereka bukan kepada Allah, dan bahwa dalam benak mereka, Patriotisme mereka itu adalah yang miskin harus mati untuk membela tanahnya orang kaya, tanah mereka, karena saya tahu bahwa orang yang miskin tidak memilikitanah” (el-Saadawi, 2014: 41).
[27] Mansour Fakih... Op.Cit, hlm. 3
[28] Ann Oakley, Sex, Gender and Society, Edisi revisi, (England: Gower Publishing Company, 1985), hlm. 158
[29] John Archer & Barbara Lloyd, Sex and Gender, Edisi kedua, (United Kingdom: Cambridge University Press, 2002), hlm. 17
[30] Nawal el-Saadawi... Op.Cit, hlm. 26
[31] Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity, (New York and London: Routledge, 1990), hlm. 148
[32] Ibid, hlm. 180
[33] Jamal Ma’mur, Rezim Gender di NU, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), Cet. Pertama, hlm. 205
[34] Irwan Hakim, Hukum Internasional Tentang Human trafficking, (Bogor, 2009)
[35] Nawal el-Saadawi, Perempuan... Op.Cit, hlm. 164

Tidak ada komentar:

Posting Komentar