sumber gambar: oliveventures.com
Jauh-jauh hari,
Isa Ansory—seorang ulama terkemuka di Indonesia—kerap kali disebut tatkala
membicarakan sejarah terutama yang bertemakan ‘Islam dan komunisme’. Sikap Isa
Ansory dan Persis saat itu berada di garda terdepan dalam menolak komunisme.
Untuk melegitimasi penolakannya terhadap segala bentuk yang berbau komunis, Isa
dan Persis menerbitkan manifesto dan penolakan terhadap komunisme. Sepanjang
tahun 1953-1958 manifesto tersebut gencar disebarkan. Dan saat itu pula Isa
kerap kali menyudutkan dan menyerang komunis dengan menerbitkan majalah Anti
Komunis. Dikemudian hari, Isa lebih serius dalam mendakwahkan bahaya laten
dari komunisme di Indonesia dengan membentuk Front Anti Komunis pada September
1954 (Santosa, 2009: 171-172).
Walaupun dahulu
Ansary telah mengeluarkan ultimatum berkenaan dengan komunisme. Namun, saya
rasa tidak menjadi persoalan ketika kita membahas ulang komunisme. Di samping
isu-isu komunisme sekarang masih hangat, yang paling penting dalam diskusi ini
mengetahui duduk perkara komunisme. Hal tersebut menurut saya dirasa penting.
Supaya kritik yang kita lancarkan terhadap komunisme setidaknya tepat sasaran.
Ketika Islam
disandarkan atau digabungkan dengan ideologi lain, kerap kali muncul anggapan
negatif. Terutama, tidak sedikit umat Islam yang dibuat risih apabila ‘term
Islam’ disandingkan dengan pemahaman yang notabene sering disebut kafir atau datang dari orang non Islam. Pemahaman lain yang penulis maksud adalah Marxisme yang digagas
oleh Karl Marx. Tentu hampir dari semua orang mengetahui siapa Marx. Dia bukan
seorang muslim bahkan bisa disebut sebagai atheis.
Kedua ajaran
agama serta faham ini memiliki dua entitas yang berbeda. Islam sebagai ajaran
agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad serta memiliki aturan tersendiri
berdasarkan al-Qur’an maupun hadits. Sementara Marxisme yang sering kita kenal
komunisme juga, membawa ideologi atau faham yang berbeda. Justru sebaliknya,
karena Marxisme adalah faham yang berbau materialisme, maka dari itu
bertentangan dengan agama. Seperti yang telah diungkapkan oleh Feuerbach—seorang
filsuf yang banyak memengaruhi pemikiran Karl Marx—mengatakan bahwa Tuhan
hanyalah suatu proyeksi manusia atas esensi manusiawinya kepada suatu kekuatan
yang tidak berpribadi. Menurut Feuerbach agama tersebut harus diatasi dan
dibantu oleh suatu materialis. Dalam artian manusia jangan menjadikan agama
sebagai tujuan yang tertinggi serta akhir dari tujuan itu sendiri. Secara garis
besar manusia yang didambakan oleh filsafat materialis adalah manusia yang
benar-benar nyata, bukan ide-ide abstrak seperti agama (Ritzer, 2014: 37).
Dalam sudut
pandang ini sulit atau bahkan mustahil terjadi persinggungan antara Marxisme
dan Islam. Namun sejarah bicara berbeda, ternyata ajaran dari Marxisme dan
Islam di Indonesia pernah menyatu dan saling melengkapi. Seperti yang
diungkapkan oleh Dawam Rahardjo, walaupun sulit untuk dipersatukan tapi
kemungkinan saja bisa disatukan dengan melihat beberapa unsur kesamaan dalam
keduanya. Sebelumnya Dawam Rahardjo juga mengungkapkan perbedaan antara
marxisme dan Islam berada dalam titik tekannya. Islam adalah agama yang titik
beratnya berada dalam wilayah aksiologi.[2]
Sementara Marxisme adalah teori ilmiah empiris yang titik tekannya berada pada
ontologi.[3] Islam
juga adalah agama yang pada umumnya dipandang sebagai spiritualisme yang
percaya penggerak sejarah adalah roh. Sedangkan Marxisme adalah teori ilmiah
yang berpendapat penggerak hubungan sejarah adalah hubungan materi.[4]
Syamsudin
Ramadan (2003: 3-4) mengungkapkan bahwa pertarungan sosialisme, komunisme, dan
kapitalisme adalah pertarungan ideologis. Sebagaimana kapitalisme sangat
merugikan kaum proletar, tentu hal itu dalam Islam sangat dilarang karena tidak
mendatangkan kemaslahatan. Sedangkan ketika Islam berusaha menegakan kembali
syariatnya, mereka selalu memandang Islam sebagai teroris. Karena kapitalisme
didukung dan diemban oleh sistem super power dengan kekuatan
multidimensial. Sementara ideologi Islam tidak lagi didukung oleh sistem-sistem
power. Islam hanya diemban oleh individu dan kelompok Islam. Meskipun
sebagian negara mengklaim sebagai negara Islam, namun hal itu tak lebih dari
antek kaum kapitalis saja. Bahkan, mereka memiliki andil yang besar dalam
menghambat gerakan Islam ideologis. Di sini Syamsudin seolah seperti Islam yang
‘berbau komunis’. Namun, di sisi lain dia juga menyebutkan bahwa Islam itu
bukan kapitalisme dan bukan juga sosialisme—Islam memiliki ideologi tersendiri.
Penolakan Syamsudin terhadap sosialisme, berarti penolakan juga terhadap
komunisme. Baginya Islam bukan dari ketiga aliran atau faham tersebut.
Di lain pihak,
herannya justru penyatuan ajaran-ajaran komunisme dengan Islam itu ada dalam
diri seorang tokoh Islam (ulama) Indonesia saat itu. Terjadinya pertemuan
antara Islam dan Marxisme salah satunya digagas oleh Haji Misbach. Mengutip dari
perkataan Sjafrudin murid kesayangan dari Sjahrir, Dawam Rahardjo mengungkapkan
bahwa bisa saja terjadi pertemuan di antara keduanya, tapi sebenarnya tidak ada
sambungannya sama sekali. Sebab masyarakat Indonesia itu relegius, dan Marxisme
atheis. Namun di sisi lain Sjafrudin juga menyebutkan pertemuan itu bisa
terjadi, dan dia memakai istilah ‘sosialisme-relegius’ untuk menggambarkan
keadaan saat itu. Sebenarnya sosialisme-relegius terdapat di Eropa, pertama
kali muncul dalam agama Kristen.[5]
Persilangan
Islam dan marxisme bukan hanya terdapat dalam diri Haji Misbach. Presiden
pertama Indonesia, Soekarno, mengungkapkan bahwa Indonesia mempunyai tiga sifat
yang menjadi nyawa pergerakan rakyatnya; Nasionalistis, Islamistis, dan
Marxistis. Soekarno mengamini hubungan antara ketiga haluan tersebut. Bahkan ia
menyarankan agar ketiga gelombang atau haluan ini bisa bekerjasama menjadi satu
gelombang yang kuat dan maha-besar. Di sela-sela tulisannya ia menganalogikan
daya kekuatan tersebut sebagai terjangan ombak yang tidak dapat ditahan oleh
apapun. Maka dari itu Soekarno menyerukan kepada masyarakat Indonesia untuk
sama-sama menyatukan ketiga haluan tersebut, seolah-olah itu menjadi kewajiban
yang harus dipikul oleh rakyat (Soekarno, 2015: 11)
Masuknya Paham Komunis ke Serekat
Dagang Islam
Komunisme
pertama kali diperkenalkan ke Indonesia oleh Hendricus Josephus Franciscus
Marie Sneevliet. Dia adalah orang Belanda yang datang ke Indonesia pada tahun
1913. Dia mulanya bekerja sebagai
pemimpin redaksi HendeIsblad Surabaya selama dua bulan. Kemudian dia
juga menjabat sebagai sekretaris Kamar Dagang Semarang pada tahun yang sama.
Bersama Adolf Baars, Sneevliet mendirikan Indische Sociaal-Democratische
Vereniging (ISDV), sebuah perhimpunan sosial demokrasi Hindia yang
didirikan tahun 1914. Mulanya perhimpunan ini diperuntukan bagi orang-orang
Indo yang tidak bersifat komunis. Namun setelah Rusia revolusi maka ISDV
mempropagandakan pemikiran sosialis dan mengubah dirinya menjadi perkumpulan
komunis. Organisasi ini ingin memainkan peranan memimpin di dalam pergerakan
rakyat umumnya, serta ingin masuk dan memengaruhi organisasi-organisasi lain,
terutama organisasi-organsasi massa. Mereka memperoleh angin segar di Semarang
yang ketika itu dipimpin oleh Semaun (Noer, 1982: 136).
Jika dilihat
gerakan sosialis yang masuk ke Serekat Islam, maka sebenarnya bukan gerakan
sosialis radikal atau totaliter yang diusung oleh Karl Marx, melainkan gerakan
sosialisme demokrasi. Pada umumnya hubungan antara demokrasi dan sosialisme
adalah unsur yang paling penting dalam pemikiran sosialis. Namun
sosialisme-demokrasi bisa berhasil di negara yang memeiliki tradisi demokrasi
yang kuat, seperti Inggris, Skandinavia, Belanda, Swiss, dan negara lainnya
yang serupa. Namun, walaupun pemikiran sosialis yang satu ini bukan yang
dimaksudkan oleh Marx, tetapi setidaknya ada unsur-unsur yang sama dengan
sosialisme radikal. Dalam pemerintahan demokratis dan konstitusional ada
beberapa hal yang masih bisa diterima oleh kaum sosialis. Di antaranya,
menciptakan kesempatan pekerjaan yang banyak bagi kelas-kelas rendah;
mengakhiri perbedaan yang didasarkan atas kelahiran bukan karena jasa; membuka
lapangan-lapangan pendidikan bagi seluruh rakyat; menghapuskan praktik
diskriminasi yang didasarkan pada jenis kelamin, agama, suku bangsa dan kelas
sosial; mengatur dan mengorganisasi ekonomi untuk kepentingan seluruh
masyarakat, dan banyak hal lainnya (Ebenstein, 2014: 293).
Setelah ISDV
mendapatkan tanah subur dalam Serekat Islam setempat di Semerang yang ketika
itu dipimpin oleh Semaun, di sisi lain Abdoel Moeis mnyebutkan bahwa Sneevliet
seakan-akan di kirim ke Indonesia untuk memecah gerakan rakyat. Hal senada
diungkapkan oleh Salim dan Sosrardono, yang terakhir adalah sekretaris dari Central
Serikat Islam. Salim melihat bahwa kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh ISDV
adalah sebagai usaha untuk memindahkan pertikaian-pertikaian yang terdapat di
Eropa ke Indonesia (Noer, 1982: 136).
Setelah ada
perselisihan antara Stokvis dan ISDV, akhirnya dia mendirikan satu partai baru
yaitu Indische Social-Democratische Partij (ISDP), partai sosial
demokrat Hindia yang dibentuk pada bulan September 1917. Di kemudian hari
perjuangan ideologi yang kedua terjadi dalam Kongres VII ISDV, pada tanggal 23
Mei 1920 di Semarang. Kongres ini dipandang sebagai kumandang Revolusi Oktober
Sosialis 1917 sampai di Indonesia, sesudah lama Lenin menjulang tinggi di
angkasa, sesudah Revolusi Jerman 1918 meletus dan gagal karena pengkhianatan
kaum sosialis-merdeka yang dipimpin Noske, dan sesudah berdiri Internasionale
III tahun 1919, di mana Lenin menyerukan agar semua Partai Sosial Demokratis
diubah menjadi Partai Komunis. Maka dari itu pada kongres tahunan VII nama ISDV
diubah menjadi PKI (Latif, 2014: 57).
Pada tahun 1920
golongan komunis melalui Darsono menyatakan ketidak percayaan terhadap
Tjokroaminoto terutama mengenai persoalan keuangan. Di kemudian hari dalam
membela pihak PKI, Semaun mengungkapkan bahwa PKI dapat membela hak-hak orang
Indonesia, baik muslim atau penganut agama lainnya. Dia mengungkapkan bahwa
pemikiran Sarikat Islam bukannya tidak bersesuaian dengan PKI, malahan PKI
berjasa besar atas perubahan Sarekat Islam yang asalnya partai kapitalistis
menjadi partai untuk rakyat. Maka dari itu dia menyarankan dengan sangat agar
pikiran untuk mendisiplin PKI dihilangkan saja (Noer, 1982: 140).
Usaha pembelaan
dari Semaun tidak berhasil. Kongres tahun 1921 di Surabaya yang diadakan ketika
Tjokroaminotomasih berada di dalam tahanan, menyokong pihak Salim-Moeis dengan
23 lawan 7 suara. Dengan demikian orang-orang komunis dikeluarkan dari Sarekat
Islam. Mereka yang menentang Salim-Moeis adalah Serekat Islam dari Semarang,
Solo, Salatiga, Sukabumi dan Bandung (Noer, 1982: 140).
Komunisme
memang telah mengggoncangkan Sarekat Islam saat itu, terutama ketika Semaun
memasukan ajaran komunisme pada Sarekat Islam. Sehingga saat itu Sarekat Islam
terbagi menjadi dua bagian; Sarekat Islam Putih yang masih dipimpin oleh
Tjokroaminoto, dan Sarekat Islam Merah yang memisahkan diri dari pimpinan
Tjokroa-minoto. Dengan kata lain, Sarekat Islam terbelah dua, terdiri dari
mereka yang pro komunis dan yang anti komunis.
Tertariknya
Semaun ke dalam PKI bukan atas dasar paksaan. Melainkan seperti yang penulis
tuliskan di muka, bahwa dia meyakini PKI dapat membela hak-hak orang Indonesia.
Tujuan dari PKI sebenarnya sederhana, mereka ingin mensejahtrakan rakyat
Indonesia. Titik awal dibangunnya PKI pada tanggal 23 Mei 1920 tiada lain untuk
merespon kepentingan rakyat. Mereka melihat kemiskinan semakin merajalela,
kesukaran makin memuncak, serta ketidaksenangan rakyat terhadap kaum penjajah
Belanda makin meluap. Upah riil kaum buruh sangat menurun karena harga-harga
barang impor naik, termasuk barang-barang keperluan sehari-hari. Sedangkan
kenaikan barang pokok tersebut tidak sepadan dengan upah yang mereka terima
(Latif, 2014: 57).
Haji Misbach: Islam dan Komunisme
Haji Muhammad
Misbach atau juga sering dikenal sebagi Haji Misbach mempunyai panggilan Ahmad,
setelah dia menikah kerap kali dia dipanggil Darmodiprono. Setelah dia pulang
haji dari Makkah, namanya diubah menjadi Haji Misbach. Karena dia seorang
pendakwah dan banyak memiliki kenalan, maka dia juga sering dipanggil dengan
sebutan Kyai Haji Misbach (Hapsari, 2011: 63).
Sejak
kanak-kanak hingga dewasa Misbach belajar di pesantren. Setelah lulus, dia
melanjutkan studinya ke bumiputera pemerintah. Misbach dikenal sebagai pribadi
yang menguasai segi-segi penting Islam. Kemampuannya dalam berbahasa arab tidak
diragukan lagi. Semangat perjuangan Islam-nya juga sangat dipengaruhi dari
latar pendidikan pesantren tempat dia menimba ilmu. Selain pesantren lingkungan
Kauman juga memberikan corak penting terhadap pemikiran Misbach (Shiraishi,
1997: 173).
Seiring waktu
setelah Misbach menjadi seorang ulama yang terkenal, dia memiliki cita-cita
untuk membela Islam serta kepentingan ekonomis para saudagar batik Muslim yang
merasa dirugikan oleh dua sistem yang menghegemoni para saudagar tersebut.
Tiada lain sistem tersebut adalah kolonialisme dan kapitalisme. Misbach bersama
Koesen, Harsoelemekso, Darso-sasmoti, membentuk suatu organisasi yang bernama
SATV (Sidik, Amanah, Tablig, Vatonah). Kegiatan yang dilakukan oleh SATV hampir
sama dengan kegiatan yang diagendakan oleh Muhammadiyah. Kegiatan tersebut
melinggkupi; acara-acara tablig atau dakwah, mendirikan sekolah modern bagi
bumiputera, menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam bahasa Jawa, membuat jurnal,
memberantas sistem kapitalis yang menimbulkan kerugian bagi rakyat, serta
menyuarakan suara anti penindasan. Dalam hal ini, SATV berhasil membuktikan
militansi keislamannya (Shiraishi, 1997: 185).
Perjuangan
Misbach terhadap umat Islam ditunjukannya ketika dia membentuk TKNB (Tentara
Kanjeng Nabi Muhammad) bersama aktifis-aktifis politik dari Sarekat Islam pada
tahun 1918. Organisasi ini dibuat sebagai respon dari Martodikromo dan
Djojodikromo yang menulis penghinaan serta pelecehan terhadap Nabi Muhammad.
Setelah itu Misbach memobilisasi melalui berbagai pertemuan di beberapa kota di
Jawa, di antaranya Surakarta pada tanggal 24 Februari 1918 (Noer, 1982: 143).
Namun seiring
waktu orientasi Misbach yang asalnya bisa dikatakan sebagai penganut ‘Islam
radikal’ berubah menjadi pendukung komunisme. Bahkan Misbach menyebut dirinya
sebagai ‘prajurit Islam komunis’. Secara
garis besar bisa dilihat dua faktor kenapa Misbach memilih masuk kepada
pemahaman komunis. Pertama, interaksinya yang intensif dengan tokoh atau
para penganut Marxisme radikal seperti Sneevliet, Semaun, Alimin, Mas Marco
Kartodikromo. Mereka inilah yang disinyalir sebagai orang-orang yang
mengenalkan Marxisme-Leninisme kepada Misbach. Kedua, daya tarik
Marxisme sebagai ideologi yang berusaha melawan imperialisme, kolonialisme, dan
kapitalisme. Yang dikemudian hari menjanjikan masa depan yang lebih baik dan
membebaskan manusia terkhusus buruh dari belenggu penindasan (Hapsari, 2011:
65).
Haji Misbach
selalu mengatakan hal-hal yang dianggap nyeleneh untuk membela komunisme. Dia
pernah mengatakan bahwa “kawan kita yang mengakui dirinya seorang komunis, akan
tetapi mereka masih suka mengeluarkan fikiran-fikiran yang bermaksud akan
melenyapkan agama Islam, itulah saya berani mengatakan bahwa mereka bukan
komunis yang sejati atau mereka tidak mengerti duduknya komunis; pun orang yang
mengaku Islam tapi tidak setuju adanya komunis, saya bernani mengatakan bahwa
dirinya bukan Islam yang sejati, atau belum mengerti betul-betul tentang
duduknya agama Islam” (Shiraishi, 1997: 393).
Sementara Dawam
Rahardjo mengungkapkan ketika mengisi kuliah umum di Salihara, bahwa Haji Misbach
adalah seorang tokoh Islam yang mempunyai anggapan bahwa Islam itu tidak ada
unsur perjuangan,—karena kondisi saat itu terus tertindas—kemudian dia
menggabung-kannya—untuk menyemangati umat Islam—dengan anti kolonialisme. Dia
meminjam teori Marxisme, karena beranggapan bahwa dalam Islam saat itu tidak
ada doktrin perjuangan, seperti perjuangan kelas Marxis. Tapi uniknya Misbach
melegitimasinya dengan ayat-ayat Al-Qur’an.
Pada akhirnya dia berhasil mengakomodir pergerakan serta aksi massa
buruh. Namun, dia tidak ikut pada barisan buruh tersebut, karena dia berhasil
ditangkap dan akhirnya dibunuh. Maka dari itu, sebenarnya pemberontakan di
Telanggung itu bukan pemberontakan buruh, buktinya aksi massa tersebut tidak
dipimpin oleh buruh, melainkan dipimpin oleh seorang ulama yang bernama Haji
Misbach.[6]
Namun walaupun
Misbach adalah salah seorang dari tokoh pergerakan yang muncul di Surakarta di
bawah sayap besar SI. Kemudian dia sering kali dicap sebagai tokoh SI yang
dekat dengan paham komunis—Meski berada di garis kiri. Tapi Misbach berbeda
dengan kaum komunis lainnya. Dia tetap berpegang teguh pada keyakinan Islam dan
menolak menjadi Atheis (Indriawati, 2012: 3).
Soekarno dan Marhaen
Marhaeni
awalnya adalah gerakan suatu kaum perempuan yang menuntut persamaan hak dengan
laki-laki. Dalam perjuangannya, mereka didukung oleh borjuis—Soekarno
menyebutnya dunia borjuis—dan mendapat sokongan darinya. Sokongan tersebut
diakibatkan karena munculnya rasa kemanusian dan keadilan. Dalam hal ini,
memang tiap-tiap manusia harus menyokong aksi persamaan hak itu (Soekarno,
2015: 130).
Namun,
alih-alih membantu atas dasar kepedulian, Soekarno menyebutkan ada sebuah
kepentingan ekonomi dari kaum borjuis. Ujung-ujungnya mereka mendapat-kan
keuntungan dari perjuangan persamaan hak tersebut. Erat kaitannya dengan hal
itu, Soekarno menuliskan demikian:
Jikalau kaum
perempuan dapat merobek adat kuno dan mendapat persamaan hak dengan kaum
laki-laki, jikalau adat kuno yang mengurung kaum perempuan di dalam dapur itu
bisa lenyap sehingga mereka boleh masuk ke dalam “dunia luaran”, jikalau kaum
perempuan itu boleh masuk bekerja di dalam kantor, di dalam bedrijf, maka kaum
borjuislah yang sangat untung, kaum borjuislah yang mendapat kaum buruh murah!
(Soekarno, 2015: 131).
Menurut presiden
pertama Indonesia itu, dengan adanya persamaan hak kerja antara kaum laki-laki
dan perempuan maka tidak akan ada lagi organisasi-organisasi perempuan,
melainkan kaum perempuan proletar yang digiring masuk kepada kehedak borjuis.
Maka Soekarno menawarkan solu-sinya, bahwa kita harus sama-sama menjaga, jangan
sampai ada percampuran hak kerja antara kaum laki-laki dan kaum perempuan.
Soekarno menyarankan bahwa Marhaen dan Marhaeni harus berani terjun ke dalam
satu ‘kawah’. Dalam artian mendobrak sistem kapitalisme yang ada secara
bersamaan, yang nantinya akan berdampak pada melemahnya sistem tersebut.
Kalaulah semua kaum buruh menyatu maka akan menimbulkan persatuan dan kekuatan
besar yang mucul dari internazionale arbeidsbeweging (gerakan buruh
internasional) (Soekarno, 2015: 133).
Salah
satu dari corak produksi ekonomi adalah sistem kapitalisme. Ciri khas sistem
kapitalisme adalah adanya perdaga-ngan. Yang dimaksud perdagangan di sini
adalah pertukaran di antara barang-barang yang saling dibutuhkan, atau kerap
kali disebut jual beli. Seperti aktifitas lainnya, perdagangan ini harus
melibatkan hak milik pribadi itulah yang bisa dimanfaatkan oleh sang penjual
sebagai sumber pendapatan secara langsung (Marx, 2009).
Adanya
jual beli, itulah yang disebut pasar. Lebih lanjut, pasar itu adalah sebuah
mekanisme ekonomi yang canggih, namun gampang dirusak, untuk menata kehidupan
ekonomi, sehingga setiap pribadi memberikan sumbangan bagi keseluruhan, dan
dalam pada itu juga pilihan pribadinya (Korten, 2002).
Berkaitan
dengan sistem ekonomi kapitalisme, dilacak dari segi historis kapitalisme itu
sendiri terbagi menjadi tiga bagian. Pertama, kapitalisme awal tahun
1500-1750. Kapitalisme untuk periode ini masih mendasarkan pada pemenuhan
kebutuhan pokok yang ditandai dengan kehadiran industri sandang di Inggris
sejak abad XIV sampai abad XVIII. Kedua, kapitalisme klasik pada tahun
1750-1914. Pada fase ini terjadi pergeseran perilaku para kapitalis yang semula
hanya berdagang publik, ke wilayah yang mempunyai jangkauan lebih luas yaitu
industri. Ketiga, kapitalisme lanjut pasca 1914. Kapitalisme lanjut
dijelaskan mulai berkembang sejak abad XIX, tepatnya tahun 1914, Perang Dunia I
sebagai momentum utama. Kapitalisme fase lanjut sebagai peristiwa penting ini
ditandai paling tidak oleh tiga momentum: (1) Pergeseran dominasi modal dari
Eropa ke Amerika; (2) Bangkitnya kesadaran bangsa-bangsa di Asia dan Afrika
terhadap kolonialisme Eropa sebagai ekses dari kapitalisme klasik, yang
kemudian memanifestasikan kesadaran itu dengan perlawanan; dan (3) Revolusi
Bolzhevik Rusia yang berhasrat meluluh-lantakan institusi fundamental
kapitalisme berupa pemilikan kapital secara individu atas penguasaan sarana
produksi, struktur kelas sosial, bentuk pemerintahan, dan kemapanan agama (Kristeva,
2015).
Sistem kapitalisme jugalah yang berlaku dalam industri. Di mana si
pemilik modal menjadikan segala sesuatu sebagai komoditas dan meraup keuntungan
dari komoditas itu sendiri. Namun sebenarnya sebelum memasuki masa kapitalisme
industri tepatnya masa prakapitalis, formasi ekonominya berbentuk kapital
dagang yang merupakan bentuk umum kapital. Dengan kata lain, perkembangan
organisasi produksi komoditas tidak beranjak jauh dari sekitar industri rumahan
yang marjin produktivitasnya rendah. Seiring waktu pola-pola perekonomian
prakapitalis ini tergantikan oleh pola ekonomi kapital (Mulyanto, 2010: 158).
Berawal dari produksi yang terus menerus berkembang dan sulit untuk
dibendung—dalam industri. Marx
berangga-pan, walaupun terdapat hubungan antara kerja dan hakikat manusia,
namun dia menganggap bahwa hubungan itu disesatkan oleh kapitalisme. Dengan
kata lain kaum buruh bekerja sesuai keinginan dari kaum kapitalis (Ritzer,
2014: 87).
Selain itu, Marx juga
mengungkapkan dalam konsep alienasinya bahwa efek produktif kapitalis bersikap
menghancurkan terhadap manusia dan masyarakat. Yang sangat signifikan adalah
sistem dua kelas yaitu kapitalis yang mempekerjakan karyawannya (secara
otomatis mereka memiliki waktu pekerja) dan kapitalis memiliki alat-alat
produksi (alat-alat dan bahan-bahan mentah) dan juga memiliki produk hasil
akhirnya. Di sisi lain, agar dapat bertahan hidup para pekerja menjual waktunya
pada kaum kapitalis. Berawal dari struktur inilah—dalam pembagian kerja antara
pemilik modal dan karyawan—dikemudian hari Marx sebut sebagai alienasi (Ritzer, 2014: 88).
Alienasi sebagai Penyebab
Kemiskinan
Para Marxis yang percaya pada determinisme ekonomi melihat
kemacetan-kemacetan yang ditimbulkan oleh kapitalisme. Dan menurutnya marxisme
memiliki sebuah struktur ekonomi yang lebih baik yang mampu menggantikan peran
dari ekonomi kapitalisme (Ritzer, 2014: 86).
Setelah terjadi revolusi industri
di Inggris, Inggris menjadi negara atau bisa dibilang sebagai pemilik garda
terdepan dari produksi industri. Namun, ternyata berkembangnya corak
produksi—dalam industri—ini bukan hanya di Inggris saja. Amerika Utara
misalnya, saat itu orang-orang Amerika yang pertama-pertama menggunakan mesin
untuk melakukan perkejaan menjahit, pembuatan sepatu, dst. Sedangkan rangkaian
kegiatan industri besar itu berusaha mengambil alih wilayah-wilayah yang
sebelumnya dikuasai oleh kerja tangan (handiwork), keahlian pertukaran (artisan-ship),
dan keterampilan tangan (manufaktur) pada awalnya tampak menjanjikan (Marx,
2009: 201).
Berawal dari produksi industri
rumahan, produksi itu seiring waktu menjadi produksi massal dengan skala besar
untuk diperdagangkan, dan bukan hanya untuk melayani konsumsi pribadi saja.
Maka pantas saja dalam suatu industri produksi (pabrik) proses produksi yang
pertama kali dikerjakan dimulai dari barang-barang mentah atau barang setengah
jadi. Sedangkan barang-barang yang siap untuk dikonsumsi merupakan yang
terakhir dikerjakan oleh industri (Marx, 2009: 203).
Beragam pabrik mempunyai
kinerjanya masing-masing. Pabrik roti di London misalnya yang menerapkan jam
kerja pada karyawan dimulai pada jam 11 malam dan berakhir pada jam 3 atau 4
siang. Pekerjaan akan semakin banyak menjelang akhir pekan. Di pabrik roti yang
lainnya di London, para pekerja atau karyawan harus bekerja tanpa henti sejak
jam 10 malam di hari Rabu sampai dengan hari Sabtu malam. Sedangkan rentang
usia para karyawan yang bekerja di pabrik itu, kabanyakan mati karena sakit
paru-paru, sekitar umur 42 tahun. Proses pembuatan roti biasanya dilakukan di
ruang bawah tanah yang sempit dengan ventilasi udara yang buruk atau bahkan tak
ada ventilasi sama sekali. Jelaslah kalau kebanyakan dari para pekerja mengidap
penyakit paru-paru. Tambah lagi, ketiadaan ventilasi ini diperparah oleh adanya
uap berbahaya yang berasal dari pipa-pipa limbah roti—roti yang terfermentasi
menyebarkan gas-gas berbahaya (Marx, 2009: 204).
Sejalan dengan hal tadi, berawal dari terjadinya suatu ketidak
adilan di pabrik. Soekarno juga berpendapat bahwa ada yang ganjil pada sistem
produksi pabrik yang bercorak kapitalis; berusaha ingin meraup keuntungan
sebanyak-banyaknya dengan mengesampingkan kesejahtraan hidup para karyawannya.
Pabrik biasanya lebih gampang menerima perempuan yang hendak
dijadikan pegawainya dibanding dengan laki-laki. Karena menurutnya perempuan
itu berharga murah. Berawal dari sanalah muncullah gerakan Marhaeni, yang
awalnya gerakan ini adalah gerakan suatu kaum perempuan yang menuntut persamaan
hak dengan laki-laki. Dalam perjuangannya, mereka didukung oleh
borjuis—Soekarno menyebutnya dunia borjuis—dan mendapat sokongan dari pemilik
modal atau pemegang pabrik. Sokongan tersebut diakibatkan karena munculnya rasa
kemanusian dan keadilan. Dalam hal ini, memang tiap-tiap manusia harus
menyokong aksi persamaan hak itu (Soekarno, 2015: 130).
Namun, alih-alih membantu atas dasar kepedulian, Soekarno
menyebutkan ada sebuah kepentingan ekonomi dari kaum borjuis. Ujung-ujungnya
mereka mendapatkan keuntungan dari perjuangan persamaan hak tersebut. Erat
kaitannya dengan hal itu, Soekarno menuliskan demikian:
Jikalau kaum perempuan dapat merobek adat kuno dan mendapat
persamaan hak dengan kaum laki-laki, jikalau adat kuno yang mengurung kaum
perempuan di dalam dapur itu bisa lenyap sehingga mereka boleh masuk ke dalam “dunia
luaran”, jikalau kaum perempuan itu boleh masuk bekerja di dalam kantor, di
dalam bedrijf, maka kaum borjuislah yang sangat untung, kaum borjuislah yang
mendapat kaum buruh murah (Soekarno, 2015: 131)!
Menurut presiden pertama Indonesia
itu, dengan adanya persamaan hak kerja antara kaum laki-laki dan perempuan maka
tidak akan ada lagi organisasi-organisasi perempuan, melainkan kaum perempuan
proletar yang digiring masuk kepada kehedak borjuis. Maka Soekarno menawarkan
solusinya, bahwa kita harus sama-sama menjaga, jangan sampai ada percampuran
hak kerja antara kaum laki-laki dan kaum perempuan. Soekarno menyarankan bahwa
Marhaen dan Marhaeni harus berani terjun ke dalam satu ‘kawah’. Dalam artian
mendobrak sistem kapitalisme yang ada secara bersamaan, yang nantinya akan
berdampak pada melemahnya sistem tersebut. Kalaulah semua kaum buruh menyatu
maka akan menimbulkan persatuan dan kekuatan besar yang mucul dari internazionale
arbeidsbeweging (gerakan buruh internasional) (Soekarno, 2015: 133).
Alienasi
diakibatkan oleh sistem kapitalisme. Berkaitan dengan hal itu Karl Marx
menegaskan bahwa untuk meminimalisir alienasi, maka harus ada pembebasan
terhadap kaum proletariat. Marx berniat membangun sistem ekonomi sosialisme
yang menurutnya merupakan jalan yang jitu untuk melawan kapitalisme sekaligus
mengembalikan kebebasan manusia (Bahari, 2010: 2-3).
Sosialisme
mengusung cita cita yang besar. Di antara cita-cita tersebut adalah menciptakan
kesempatan pekerjaan yang banyak bagi kelas-kelas rendah; mengakhiri perbedaan
yang didasarkan atas kelahiran bukan karena jasa; membuka lapangan-lapangan
pendidikan bagi seluruh rakyat; menghapuskan praktik diskriminasi yang
didasarkan pada jenis kelamin, agama, suku bangsa dan kelas sosial; mengatur
dan mengorganisasi ekonomi untuk kepentingan seluruh masyarakat, dan banyak hal
lainnya (Ebenstein, 2014: 293).
Marx
berpandangan bahwa alienasi berhubungan dengan kondisi pekerja. Menurutnya,
hakikat dari manusia adalah bekerja. Sebab kerja merupakan suatu konsep yang
tidak bisa dipisahkan dalam diri manusia. Kerja juga ekspresi kemampuan khas
manusia yang tidak melulu terbatas pada aktifitas ekonomi, melainkan mencakup
segala hal yang berkaitan dengan daya kreatif seseorang. Namun, alih-alih kerja
tersebut merupakan hakikat manusia. Tapi di sisi lain, kerja tersebut selalu
dijadikan arena eksploitasi diri oleh kaum borjuis (Nadhiroh, 2015: 5).
Dengan
lain kata, teori alienasi Marx bermaksud melihat bagaimana keterasingan yang
dialami oleh para pekerja di bawah arahan kaum borjuis (Al-Sholihah, 2012: 2).
Konsep alienasinya muncul setelah Marx mengkritik habis-habisan pembagian kerja
pada masa industrial. Menurutnya, sebelum datang industrialisme manusia adalah
suatu keutuhan, tidak teralienasi. Namun, setelah datangnya industrialisme
kondisi manusia terpecah-belah oleh kapitalisme (Basuki, 2008: 307).
Pada intinya, Marx percaya bahwa terdapat
hubungan antara kerja dan hakikat manusia, namun dia menganggap bahwa hubungan
itu disesatkan oleh kapitalisme, dan dia menyebutnya sebagai alienasi. Dalam
kata lain, kaum buruh bekerja sesuai keinginan dari kapitalis. Bukan sebagai
tujuan itu sendiri, melainkan kerja dalam kapitalis disusutkan menjadi alat
bagi suatu tujuan. Tiada lain tujuan tersebut adalah memperoleh uang yang
sebanyak-banyaknya (Johnson, 1986: 124).
Meskipun individulah yang merasa teralienasi
di dalam masyarakat kapitalis, namun Marx juga beranggapan bahwa
struktur-struktur kapitalisme yang menyebabkan alienasi tersebut. Marx
menggunakan konsep alienasi untuk menyingkapkan efek produktif kapitalis yang
bersikap menghancurkan terhadap manusia dan terhadap masyarakat. Yang sangat
signifikan adalah sistem dua kelas yaitu kapitalis yang mempekerjakan
karyawannya (secara otomatis mereka memiliki waktu perkerja) dan kapitalis memiliki
alat-alat produksi (alat-alat dan bahan-bahan mentah) dan juga memiliki produk
hasil akhirnya. Agar dapat bertahan hidup para pekerja menjual waktunya pada
kaum kapitalis. Struktur itulah, khususnya pembagian kerja, adalah dasar
sosiologis alienasi (Ritzer, 2014: 82).
Seturut pemaran di atas, dapat diketahui
bahwa kemiskinan yang terjadi dalam masyarakat bukan berkaitan dengan laju
penduduk atau vertilitas yang tinggi. Namun kemiskinan tersebut diakibatkan
oleh adanya suatu sistem ekonomi-politik yang kejam, yakni sistem kapitalisme.
Dan mau tidak mau akhirnya terjadi alienasi terhadap kaum pekerja.
Seturut pemaran di atas, maka tujuan dari
kaum komunis sama halnya dengan tujuan dari kaum proletar: pembentukan kaum
proletar sebagai kelas, penggulingan supremasi borjuis, dan penaklukan politik
di bawah kekuasaan kaum proletar. Tujuan komunisme bukan dalam penghapusan
kepemilikan secara umum, namun penghapusan sistem borjuis: penghapusan
kepemilikan privat (Marx, 2016: 112-113)
Maka dari itu, revolusi yang dimaksud oleh
Marx adalah revolusi dalam sektor ekonomi-politik. Misalnya, tidak terdapat
lagi pekerja dan/atau buruh yang menjadi budak kapitalis demi kepentingan
tersendiri para pemilik modal (Adian,
2011: 14).
Corak Produksi Kapitalisme
Salah satu dari corak produksi ekonomi adalah sistem kapitalisme.
Ciri khas sistem kapitalisme adalah adanya perdagangan. Yang dimaksud
perdagangan di sini adalah pertukaran di antara barang-barang yang saling
dibutuhkan, atau kerap kali disebut jual beli. Seperti aktifitas lainnya,
perdagangan ini harus melibatkan hak milik pribadi itulah yang bisa
dimanfaatkan oleh sang penjual sebagai sumber pendapatan secara langsung (Marx,
2009).
Adanya jual beli, itulah yang disebut pasar. Lebih lanjut, pasar
itu adalah sebuah mekanisme ekonomi yang canggih, namun gampang dirusak, untuk
menata kehidupan ekonomi, sehingga setiap pribadi memberikan sumbangan bagi
keseluruhan, dan dalam pada itu juga pilihan pribadinya (Korten, 2002).
Berkaitan dengan sistem ekonomi kapitalisme, dilacak dari segi
historis kapitalisme itu sendiri terbagi menjadi tiga bagian. Pertama, kapitalisme
awal tahun 1500-1750. Kapitalisme untuk periode ini masih mendasarkan pada
pemenuhan kebutuhan pokok yang ditandai dengan kehadiran industri sandang di
Inggris sejak abad XIV sampai abad XVIII. Kedua, kapitalisme klasik pada
tahun 1750-1914. Pada fase ini terjadi pergeseran perilaku para kapitalis yang
semula hanya berdagang publik, ke wilayah yang mempunyai jangkauan lebih luas
yaitu industri. Ketiga, kapitalisme lanjut pasca 1914. Kapitalisme
lanjut dijelaskan mulai berkembang sejak abad XIX, tepatnya tahun 1914, Perang
Dunia I sebagai momentum utama. Kapitalisme fase lanjut sebagai peristiwa
penting ini ditandai paling tidak oleh tiga momentum: (1) Pergeseran dominasi
modal dari Eropa ke Amerika; (2) Bangkitnya kesadaran bangsa-bangsa di Asia dan
Afrika terhadap kolonialisme Eropa sebagai ekses dari kapitalisme klasik, yang
kemudian memanifestasikan kesadaran itu dengan perlawanan; dan (3) Revolusi
Bolzhevik Rusia yang berhasrat meluluhlantakan institusi fundamental
kapitalisme berupa pemilikan kapital secara individu atas penguasaan sarana
produksi, struktur kelas sosial, bentuk pemerintahan, dan kemapanan agama
(Kristeva, 2015b).
Berkenaan dengan komoditas, Dede Mulyanto (2010) dalam bukunya yang
berudul Kapitalisme: Perspektif Sosio-Historis, mengutip pendapat Karl
Marx yang menyatakan terdapat hubungan erat antara komoditas dan nilai tukar.
Pada tahap awal—corak produksi komoditas sederhana—sirkulasi komoditas terpisah
dari sirkulasi kapital uang. Komoditas pada tahap pertama hanya digunakan
sebagai nilai tukar saja. Maka dari itu, rumus umum sirkulasi komoditas ialah
menjual untuk membeli (C1—M—C2) (Mulyanto, 2010).
Pendorong utama sirkulasi komoditas ialah pemenuhan kebutuhan hidup
unit-unit produksi yang diperuntukan bagi produsen. Sementara itu, rumus
sirkulasi kapital uang yang berlaku bagi golongan pedagang profesional ialah
membeli untuk menjual (M—C—M+). Dengan kata lain, tujuan utama dari kepemilikan
komoditas tersebut bukan berada pada nilai tukar tetapi nilai lebih.
Orientasinya bukan merupakan pemenuhan kebutuhan, namun lebih jauh dari itu:
akumulasi keuntungan (Mulyanto, 2010).
Adanya akumulasi keuntungan adalah ciri khas dari kapitalisme.
Komoditas yang diperjualbelikan merupakan suatu tanda bahwa sistem perekonomian
yang berjalan bercorak kapitalisme. Hasil dari komoditas yang diperjualbelikan
itu hanya untuk akumulasi kapital: mencari keuntungan. Komoditas sebagai
kapital, berarti komoditas itu diposisikan menjadi segala barang yang dibuat
untuk dijual ke pasaran (Mulyanto, 2010).
Semngat mencari uang—dalam hal ini semangat kapitalisme—juga tumbuh
dalam agama-agama. Misalnya agama Protestan yang mengajarkan umatnya untuk
terus-terusan mencari uang. Sebab hal itu dianjurkan oleh agama mereka (Weber,
2006: 37).
Mengutip pendapat Granovetter, bahwa setiap institusi—dalam hal ini
agama—selalu berkaitan erat dengan sistem serta tindakan ekonomi (Damsar, 2009:
142).
Respon Islam terhadap Komunisme
Membicarakan Islam dan komunisme tentunya bagi penulis sendiri
merupakan hal yang sulit. Karena keduanya merupakan dua entitas yang berbeda.
Islam hadir sebagai agama yang titik toloknya teks-teks suci—al-Qur’an serta as-Sunnah.
Dan umumnya dipandang sebagai spiritualisme. Sementara komunisme dan/atau
marxisme adalah teori ilmiah yang percaya bahwa gerak perubahan itu berdasarkan
kepada materi. Yang tidak terlepas dari intrik-intrik bahwa agama hanya sekedar
proyeksi manusia saja.
Karena keduanya merupakan entitas yang berbeda. Berawal dari sana,
penulis akan menjelaskan perbedaan antara ajaran Islam dan komunisme. Namun,
tidak hanya mengungkap perbedaannya. Penulis juga akan menuliskan beberapa
kesamaan dari keduanya.
***
Basis pemikiran Islam tidak lain adalah berpegang sesuai dengan
perintah dari Allah SWT. dan bertindak—dalam kehidupan sosial—seperti yang
dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw. Pernyataan tersebut juga diakui oleh Sayyid
Quthb (t.t.: 158) dalam Tafsir fii Zilalil-Qur’an jilid II, yang menyatakan
bahwa orang yang baik adalah orang yang berpegang pada manhaj Allah.
Quthb juga berpendapat, di dalam umat Nabi Muhammad harus berpegang erat pada manhaj itu.
Seturut pemaparan di atas, Quthb menukil QS. , yang berbunyi:
“Sesungguhnya (agama Tauhid) ini
adalah agama kamu semua; agama yang satu dan aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah
aku.”
Sementara berbeda lagi dengan marxisme. Marx justru memandang agama
hanya sebagai sebagai suatu ideologi. Walaupun gerakan-gerakan agamis sering
berada di garda terdepan dalam melawan sistem kapitalisme, seperti halnya
‘teologi pembebasan’. Namun Marx beranggapan bahwa secara khusus justru agama
selalu dijadikan sebagai penindasan terhadap kaum lemah. Agama juga kerapkali
melukiskan ketidakadilan kapitalisme sebagai ujian bagi kaum tertindas yang
setuju menyisihkan perjuangan revolusioner untuk memajukannya ke dalam
kehidupan akhirat. Dengan kata lain, dalam agama, suara-suara orang tertindas
selalu digunakan untuk melanggengkan penindasan (Ritzer, 2014: 117-118).
Marx juga beranggapan bahwa ‘agama adalah candu bagi masyarakat’.
Apa yang dimaksud agama sebagai candu? Rasanya kita harus mengutip keseluruhan
kutipannya, supaya maksud dari kutipan ‘agama adalah candu’ menjadi jelas:
Kesukaran agamis pada saat yang sama
adalah ungkapan kesukaran yang nyata dan juga protes terhadap kesukaran yang
nyata. Agama adalah desahan makhluk yang tertindas, hati dari dunia yang tidak
punya hati, sebagaimana agama adalah semangat bagi kondisi-kondisi yang tidak
semangat. Agama adalah candu bagi masyarakat.[7]
George Ritzer (2014: 117), seorang sosiolog terkemuka menafsir
kutipan Marx ini. Menurutnya, Marx berpandangan bahwa agama mencerminkan suatu
kebenaran namun kebenaran itu terbalik. Agama hanya dihasilkan oleh sistem
kapitalis yang di dalamnya termuat bentuk-bentuk penindasan. Dengan kata lain,
karena agama bentukan sistem kapitalis, maka agama menjadi penghalang bagi
gerakan-gerakan revolusioner. Di sisi lain juga, kenyataannya, agama rentan
untuk gangguan—selalu mempertahankan status quo.
Dari pernyataan singkat mengenai agama dalam sudut pandang Islam
dan Marxisme. Jelas-jelas keduanya berbeda. Islam berpandangan bahwa berpegang
teguh pada perintah Allah SWT.—yang termuat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah—menjadi
sebuah kewajiban tersendiri. Sementara marxisme, beranggapan bahwa agama tiada
lain hasil proyeksi dan/atau ilusi-ilusi yang muncul dari manusia saja.[8]
Perbedaan lainnya antara Islam dan marxisme tercermin dalam sistem
ekonomi. Marxisme dengan tatanan sistem ekonomi komunismenya yang diusung,
menganggap bahwa kepemilikan alat produksi sebenarnya harus bersifat komunal. Dengan
kata lain, apabila kepemilikan alat produksi dikuasai secara privat, itulah
yang akan dilawan oleh orang-orang yang berhaluan komunis.[9]
Sementara berbeda dengan Islam, konsep komunal—harta yang kita
miliki bukan hanya diri kita saja—masih tetap ada. Tapi hal tersebut tidak
menghapus privatisasi terhadap harta.
Bentuk komunal harta dalam Islam tercermin misalnya pada zakat, hak
waris, infak, dll. Pada akhirnya Islam memiliki sistem tersendiri.
Sependapat dengan Sayyid Quthb, pada akhirnya pilihan model
dan/atau sistem pemerintah itu hanya ada dua alternatif: Islam atau jahiliyyah.
Islam mempunyai aturan main tersendiri. Islam juga yang akan mewujudkan cita-cita
kemanusiaan. Keterpuran yang dialami oleh umat Islam tidak bisa ditiadakan
dengan revolusi kecil—seperti gagasan sosialisme. Namun, kejayaan umat Islam
tiada lain mesti disandarkan kepada basis teoritiknya: agama Islam (Quthb,
1995: 149; Muhammad, 2004: 126).
Mahmud Syaltut (1995, 212) juga mempunyai anggapan yang sama dengan
Quthb. Menurutnya Islam bukan hanya berbicara hal-hal supranatural, namun Islam
juga mempunyai pandangan sosial dan materialnya. Menurutnya, Islam memiliki
konsep-konsep yang sama dengan sosialisme. Namun konsep ini dibangun
berdasarkan syari’at. Islam membangun ‘sosialismenya’ bukan bertitik tolok pada
Karl Marx. Namun bersandar pada basis teoritik Islam itu sendiri: aqidah dan
iman.
DAFTAR BACAAN
Adian, Donny Gahral. 2011. Setelah Marxisme: Sejumlah Teori
Ideologi Kontemporer. Depok: Penerbit Koekoesan.
Al-Sholihah, Ana Maratu. 2012. SKIRIPSI: Starategi Naratif dan
Alienasi dalam Tiga Novel Karya J. M. Coetzee. Bandung: Universitas
Padjajaran.
Bahari, Yohanes. 2010. Karl Marx: Sekelumit Tentang Hidup dan
Pemikirannya, dalam Jurnal Pendidikan Sosiologi dan Humaniora,
Vol. 1, No. 1.
Basuki, Ari. 2008. Perbandingan Pemikiran Karl Marx dengan
Pemikiran J. Krishnamurti tentang Perubahan Sosial, dalam Jurnal Humaniora,
Vol. 20, No. 3, Hal. 306-31. DIY, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Damsar & Indrayani. 2009. Pengantar Sosiologi Ekonomi. DKI,
Jakarta: Kencana.
Ebenstein, William. 2014. Isme-isme yang Mengguncang Dunia. DIY,
Yogyakarta: Narasi.
Engels, Friedrich. 2007. Surat Edaran Marx dan Engels: Ludwi
Feurbach dan Akhir Filsafat Klasik Jerman. Ted Sparague (Ed.). DIY, Yogyakarta:
Hasta Mitra.
Hapsari, Fitriana Heni. 2011. SKIRPSI: Peranan Haji Misbach
dalam Gerakan Politik Islam di Surakarta Tahun 1912-1926. Surakarta: Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Indriawati, Tri. 2012. Pergerakan Politik Haji Misbach di
Surakarta Tahun 1912-1926. Surakarta: Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra
dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Johnson, Doyle Paul. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern I.
Terj. Robert M. Z Lawang. DKI, Jakarta: Gramedia.
---------------. 1986b. Teori Sosiologi Klasik dan Modern II.
Terj. Robert M. Z Lawang. DKI, Jakarta: Gramedia.
Kristeva, Nur Sayyid Santoso.
2015. Kapitalisme, Negara dan Masyarakat. DIY, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
---------------. 2015b. Kapitalisme, Negara dan Masyarakat. DIY,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Korten, David C. 2002. Kehidupan Setelah Kapitalisme. Terj.
A. Rahman Zainuddin. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Latif, Busjarie. 2014. Manuskrip Sejarah 45 Tahun PKI
[1920-1965]. Bandung: Ultimus.
Marx, Karl. 2004. Kapital I: Sebuah Kritik Ekonomi Politik. Terj.
Oey Hay Djoen. DIY, Yogyakarta: Hasta Mitra.
---------------. 2006. Kapital II: Sebuah Kritik Ekonomi
Politik. Terj. Oey Hay Djoen. DIY, Yogyakarta: Hasta Mitra.
---------------. 2007. Kapital III: Sebuah Kritik Ekonomi
Politik. Terj. Oey Hay Djoen. DIY, Yogyakarta: Hasta Mitra.
---------------. 2016. Teks-Teks Kunci Filsafat Marx. Terj.
Martin Suryajaya. DIY, Yogyakarta: Resist Book.
---------------. 2009. Karl Marx: Membongkar Akar Krisis Global.
Dave Renton, (Ed.). DIY, Yogyakarta: Resist Book.
---------------. 1843/1970.
A Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right, dalam Marx/Angels Collected Works. New
York: International Publishers. Vol. 3, hlm. 3-125.
---------------. 1869. The
Abolition of Landed Property, Memorandum for Robert Applegarth.
Muhammad, Afif. 2004. Dari Teologi ke Ideologi:
Telaah atas Metode dan Pemikiran Sayyid Quthb. Bandung: Penerbit Pena
Merah.
Mulyanto, Dede (Ed.). 2015. Di
Balik Marx: Sosok dan Pemikiran Friedrich Engels. Tangerang Selatan: Marjin
Kiri.
---------------. 2010.
Kapitalisme: Perspektif Sosio-Historis. Bandung: Ultimus.
Nadhiroh, Nufi Ainun. 2015. SKRIPSI: Konsep Alienasi Menurut
Erich Fromm. DIY, Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.
Quthb, Sayyid. T.t. Tafsir fi Zilalil Qur’an. Minbar
al-Tauhid wa al-Jihad.
---------------. 1995. Misi Risalah Islam. Redaksi Usaha
Kami (peny.). Depok: Usaha Kami.
Ramadhan, Syamsuddin. 2003. Islam Musuh bagi Kapitalisme dan
Sosialisme. DKI, Jakarta: Wahyu Press.
Ritzer, George. 2014. Teori Sosiologi; dari Sosiologi Klasik
Sampai Perkem-bangan Terakhir Postmodern. Terj. Saut Pasaribu, dkk. DIY,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cet. II.
Noer, Deliar. 1982. Gerakan Modern Islam di Indonesia. DKI,
Jakarta: LP3ES.
Santosa, Kholid O. 2009. Manusia di Panggung Sejarah: Pemikiran
dan Gerakan Tokoh-tokoh Islam. Cet. II. Bandung: Sega Arsy.
Shiraishi, Takashi. 1997. Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di
Jawa 1912-1926. Terj. Hilmar Farid. Bandung: Pustaka Utama Grafiti.
Soekanto, Soerjono. 2011. Mengenal Tujuh Tokoh Sosiologi.
DKI, Jakarta: RajaGrafindo Persada. Cet. II.
Soekarno. 2015. Nasionalisme, Islamisme, Marxisme:
Pikiran-pikiran Soekarno Muda. Bandung: Sega Arsy.
Syaltut, Mahmud. 1995. Sosialisme dan Islam, dalam Jhon D. Danohue
dan John L. Esposito (Ed.), Islam dan Pembaharuan: Ensiklopedi Masa-lah-masalah.
Terj. Machnun Husein. DKI, Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Weber, Max. 2006. Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme.
Terj. TW Utomo dan Yusup Priaya Sudiarja. DIY, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
[1]
Mahasiswa Sosiologi, Aktif di Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK)
[2]
Aksiologi
adalah evaluasi atau penilaian dasar-dasar dan kenyataan (Soekanto, 2011: 2).
[3]
Ontologi
adalah cabang filsafat tentang sifat kenyataan yang riil (Soekanto, 2011: 2).
[4]Dicatat
dari video diskusi “Islam dan Marxisme di Indonesia”, Permbicara: Bonnie
Triyana dan M. Dawam Rahardjo (Serambi Salihara, 11 Desember 2013).
[5]
Dicatat dari video diskusi “Islam dan Marxisme di Indonesia”, Permbicara:
Bonnie Triyana dan M. Dawam Rahardjo (Serambi Salihara, 11 Desember 2013).
[6]
Dicatat dari video diskusi “Islam dan Marxisme di Indonesia”, Permbicara:
Bonnie Triyana dan M. Dawam Rahardjo (Serambi Salihara, 11 Desember 2013).
[7]
Perihal kutipan tersebut bisa dibaca lebih lengkap dalam Karl Marx, A
Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right, dalam Marx/Angels Collected Works (New
York: International Publishers, 1843/1970), Vol. 3, hlm. 3-125.
[8] Kesimpulan Marx tersebut sebenarnya dipengaruhi dari
pemikiran Ludwig Feurbach. Dalam bukunya Friederich Engels (2007: 9) yang
berjudul Ludwig Feurbach dan Akhir Filsafat Klasik Jerman, dituliskan
kutipan sebagai berikut “Tidak ada yang ada diluar alam dan makhluk
halus yang diciptakan oleh fantasi agama kita hanyalah pencerminan
(manusia)—fantastik dari hakekat kita sendiri.” Untuk mempertegas, bahwa agama
adalah imajinasi manusia saja, saya kutipkan tulisan dalam buku yang sama: ”
Jadi masalah hubungan antara pikiran dengan keadaan, hubungan antara jiwa
dengan alam—masalah yang terpenting dari seluruh filsafat—mempunyai, tidak
kurang daripada semua agama, akar-akarnya di dalam paham-paham kebiadaban yang
berpikiran-sempit dan tiada berpengetahuan (Engels, 2007: 12).”
[9] Berkaitan dengan pernyataan yang saya tulis di atas,
saya kutipkan perkataan Marx sebagai bukti bahwa Marx mersikukuh meniadakan
kepemilikan privat dari alat produksi: “Masa depan akan menentukan bahwa tanah
hanya dapat dimiliki secara nasional. Menyerahkan tanah ke tangan
pekerja-pekerja pedesaan yang bersatu akan berarti menyerahkan seluruh
masyarakat pada satu klas produser saja. Nasionalisasi atas tanah akan menghasilkan
suatu perubahan menyeluruh dalam hubungan antara kerja dan modal dan akhirnya
akan sepenuhnya menghapus produksi kapitalis, baik yang industrial atau yang
pedesaan. Hanya pada waktu itulah perbedaan-perbedaan klas dan hak-hak istimewa
klas akan lenyap bersama basis ekonomik yang menjadi asal-muasalnya dan
masyarakat akan ditransformasi menjadi suatu asosiasi kaum 'produser'. Hidup
atas kerja orang lain akan menjadi sesuatu dari masa lalu. Tidak akan ada lagi
suatu pemerintahan atau suatu negara yang beda dari masyarakat itu sendiri (Marx, 1869: 12).”
Bagus tulisannya. Boleh dimuat di blog saya ya? Terimakasih.
BalasHapusHehe mangga pak
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus