Selasa, 23 Agustus 2016

Islam Menyoroti Komunisme

sumber gambar: oliveventures.com
 
Oleh: Yuris Fahman Zaidan[1]

Jauh-jauh hari, Isa Ansory—seorang ulama terkemuka di Indonesia—kerap kali disebut tatkala membicarakan sejarah terutama yang bertemakan ‘Islam dan komunisme’. Sikap Isa Ansory dan Persis saat itu berada di garda terdepan dalam menolak komunisme. Untuk melegitimasi penolakannya terhadap segala bentuk yang berbau komunis, Isa dan Persis menerbitkan manifesto dan penolakan terhadap komunisme. Sepanjang tahun 1953-1958 manifesto tersebut gencar disebarkan. Dan saat itu pula Isa kerap kali menyudutkan dan menyerang komunis dengan menerbitkan majalah Anti Komunis. Dikemudian hari, Isa lebih serius dalam mendakwahkan bahaya laten dari komunisme di Indonesia dengan membentuk Front Anti Komunis pada September 1954 (Santosa, 2009: 171-172).
Walaupun dahulu Ansary telah mengeluarkan ultimatum berkenaan dengan komunisme. Namun, saya rasa tidak menjadi persoalan ketika kita membahas ulang komunisme. Di samping isu-isu komunisme sekarang masih hangat, yang paling penting dalam diskusi ini mengetahui duduk perkara komunisme. Hal tersebut menurut saya dirasa penting. Supaya kritik yang kita lancarkan terhadap komunisme setidaknya tepat sasaran.
Ketika Islam disandarkan atau digabungkan dengan ideologi lain, kerap kali muncul anggapan negatif. Terutama, tidak sedikit umat Islam yang dibuat risih apabila ‘term Islam’ disandingkan dengan pemahaman yang notabene sering disebut kafir atau datang dari orang non Islam. Pemahaman lain yang penulis maksud adalah Marxisme yang digagas oleh Karl Marx. Tentu hampir dari semua orang mengetahui siapa Marx. Dia bukan seorang muslim bahkan bisa disebut sebagai atheis.
Kedua ajaran agama serta faham ini memiliki dua entitas yang berbeda. Islam sebagai ajaran agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad serta memiliki aturan tersendiri berdasarkan al-Qur’an maupun hadits. Sementara Marxisme yang sering kita kenal komunisme juga, membawa ideologi atau faham yang berbeda. Justru sebaliknya, karena Marxisme adalah faham yang berbau materialisme, maka dari itu bertentangan dengan agama. Seperti yang telah diungkapkan oleh Feuerbach—seorang filsuf yang banyak memengaruhi pemikiran Karl Marx—mengatakan bahwa Tuhan hanyalah suatu proyeksi manusia atas esensi manusiawinya kepada suatu kekuatan yang tidak berpribadi. Menurut Feuerbach agama tersebut harus diatasi dan dibantu oleh suatu materialis. Dalam artian manusia jangan menjadikan agama sebagai tujuan yang tertinggi serta akhir dari tujuan itu sendiri. Secara garis besar manusia yang didambakan oleh filsafat materialis adalah manusia yang benar-benar nyata, bukan ide-ide abstrak seperti agama (Ritzer, 2014: 37).
Dalam sudut pandang ini sulit atau bahkan mustahil terjadi persinggungan antara Marxisme dan Islam. Namun sejarah bicara berbeda, ternyata ajaran dari Marxisme dan Islam di Indonesia pernah menyatu dan saling melengkapi. Seperti yang diungkapkan oleh Dawam Rahardjo, walaupun sulit untuk dipersatukan tapi kemungkinan saja bisa disatukan dengan melihat beberapa unsur kesamaan dalam keduanya. Sebelumnya Dawam Rahardjo juga mengungkapkan perbedaan antara marxisme dan Islam berada dalam titik tekannya. Islam adalah agama yang titik beratnya berada dalam wilayah aksiologi.[2] Sementara Marxisme adalah teori ilmiah empiris yang titik tekannya berada pada ontologi.[3] Islam juga adalah agama yang pada umumnya dipandang sebagai spiritualisme yang percaya penggerak sejarah adalah roh. Sedangkan Marxisme adalah teori ilmiah yang berpendapat penggerak hubungan sejarah adalah hubungan materi.[4]
Syamsudin Ramadan (2003: 3-4) mengungkapkan bahwa pertarungan sosialisme, komunisme, dan kapitalisme adalah pertarungan ideologis. Sebagaimana kapitalisme sangat merugikan kaum proletar, tentu hal itu dalam Islam sangat dilarang karena tidak mendatangkan kemaslahatan. Sedangkan ketika Islam berusaha menegakan kembali syariatnya, mereka selalu memandang Islam sebagai teroris. Karena kapitalisme didukung dan diemban oleh sistem super power dengan kekuatan multidimensial. Sementara ideologi Islam tidak lagi didukung oleh sistem-sistem power. Islam hanya diemban oleh individu dan kelompok Islam. Meskipun sebagian negara mengklaim sebagai negara Islam, namun hal itu tak lebih dari antek kaum kapitalis saja. Bahkan, mereka memiliki andil yang besar dalam menghambat gerakan Islam ideologis. Di sini Syamsudin seolah seperti Islam yang ‘berbau komunis’. Namun, di sisi lain dia juga menyebutkan bahwa Islam itu bukan kapitalisme dan bukan juga sosialisme—Islam memiliki ideologi tersendiri. Penolakan Syamsudin terhadap sosialisme, berarti penolakan juga terhadap komunisme. Baginya Islam bukan dari ketiga aliran atau faham tersebut.
Di lain pihak, herannya justru penyatuan ajaran-ajaran komunisme dengan Islam itu ada dalam diri seorang tokoh Islam (ulama) Indonesia saat itu. Terjadinya pertemuan antara Islam dan Marxisme salah satunya digagas oleh Haji Misbach. Mengutip dari perkataan Sjafrudin murid kesayangan dari Sjahrir, Dawam Rahardjo mengungkapkan bahwa bisa saja terjadi pertemuan di antara keduanya, tapi sebenarnya tidak ada sambungannya sama sekali. Sebab masyarakat Indonesia itu relegius, dan Marxisme atheis. Namun di sisi lain Sjafrudin juga menyebutkan pertemuan itu bisa terjadi, dan dia memakai istilah ‘sosialisme-relegius’ untuk menggambarkan keadaan saat itu. Sebenarnya sosialisme-relegius terdapat di Eropa, pertama kali muncul dalam agama Kristen.[5]
Persilangan Islam dan marxisme bukan hanya terdapat dalam diri Haji Misbach. Presiden pertama Indonesia, Soekarno, mengungkapkan bahwa Indonesia mempunyai tiga sifat yang menjadi nyawa pergerakan rakyatnya; Nasionalistis, Islamistis, dan Marxistis. Soekarno mengamini hubungan antara ketiga haluan tersebut. Bahkan ia menyarankan agar ketiga gelombang atau haluan ini bisa bekerjasama menjadi satu gelombang yang kuat dan maha-besar. Di sela-sela tulisannya ia menganalogikan daya kekuatan tersebut sebagai terjangan ombak yang tidak dapat ditahan oleh apapun. Maka dari itu Soekarno menyerukan kepada masyarakat Indonesia untuk sama-sama menyatukan ketiga haluan tersebut, seolah-olah itu menjadi kewajiban yang harus dipikul oleh rakyat (Soekarno, 2015: 11)


Masuknya Paham Komunis ke Serekat Dagang Islam
Komunisme pertama kali diperkenalkan ke Indonesia oleh Hendricus Josephus Franciscus Marie Sneevliet. Dia adalah orang Belanda yang datang ke Indonesia pada tahun 1913.  Dia mulanya bekerja sebagai pemimpin redaksi HendeIsblad Surabaya selama dua bulan. Kemudian dia juga menjabat sebagai sekretaris Kamar Dagang Semarang pada tahun yang sama. Bersama Adolf Baars, Sneevliet mendirikan Indische Sociaal-Democratische Vereniging (ISDV), sebuah perhimpunan sosial demokrasi Hindia yang didirikan tahun 1914. Mulanya perhimpunan ini diperuntukan bagi orang-orang Indo yang tidak bersifat komunis. Namun setelah Rusia revolusi maka ISDV mempropagandakan pemikiran sosialis dan mengubah dirinya menjadi perkumpulan komunis. Organisasi ini ingin memainkan peranan memimpin di dalam pergerakan rakyat umumnya, serta ingin masuk dan memengaruhi organisasi-organisasi lain, terutama organisasi-organsasi massa. Mereka memperoleh angin segar di Semarang yang ketika itu dipimpin oleh Semaun (Noer, 1982: 136).
Jika dilihat gerakan sosialis yang masuk ke Serekat Islam, maka sebenarnya bukan gerakan sosialis radikal atau totaliter yang diusung oleh Karl Marx, melainkan gerakan sosialisme demokrasi. Pada umumnya hubungan antara demokrasi dan sosialisme adalah unsur yang paling penting dalam pemikiran sosialis. Namun sosialisme-demokrasi bisa berhasil di negara yang memeiliki tradisi demokrasi yang kuat, seperti Inggris, Skandinavia, Belanda, Swiss, dan negara lainnya yang serupa. Namun, walaupun pemikiran sosialis yang satu ini bukan yang dimaksudkan oleh Marx, tetapi setidaknya ada unsur-unsur yang sama dengan sosialisme radikal. Dalam pemerintahan demokratis dan konstitusional ada beberapa hal yang masih bisa diterima oleh kaum sosialis. Di antaranya, menciptakan kesempatan pekerjaan yang banyak bagi kelas-kelas rendah; mengakhiri perbedaan yang didasarkan atas kelahiran bukan karena jasa; membuka lapangan-lapangan pendidikan bagi seluruh rakyat; menghapuskan praktik diskriminasi yang didasarkan pada jenis kelamin, agama, suku bangsa dan kelas sosial; mengatur dan mengorganisasi ekonomi untuk kepentingan seluruh masyarakat, dan banyak hal lainnya (Ebenstein, 2014: 293).
Setelah ISDV mendapatkan tanah subur dalam Serekat Islam setempat di Semerang yang ketika itu dipimpin oleh Semaun, di sisi lain Abdoel Moeis mnyebutkan bahwa Sneevliet seakan-akan di kirim ke Indonesia untuk memecah gerakan rakyat. Hal senada diungkapkan oleh Salim dan Sosrardono, yang terakhir adalah sekretaris dari Central Serikat Islam. Salim melihat bahwa kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh ISDV adalah sebagai usaha untuk memindahkan pertikaian-pertikaian yang terdapat di Eropa ke Indonesia (Noer, 1982: 136).
Setelah ada perselisihan antara Stokvis dan ISDV, akhirnya dia mendirikan satu partai baru yaitu Indische Social-Democratische Partij (ISDP), partai sosial demokrat Hindia yang dibentuk pada bulan September 1917. Di kemudian hari perjuangan ideologi yang kedua terjadi dalam Kongres VII ISDV, pada tanggal 23 Mei 1920 di Semarang. Kongres ini dipandang sebagai kumandang Revolusi Oktober Sosialis 1917 sampai di Indonesia, sesudah lama Lenin menjulang tinggi di angkasa, sesudah Revolusi Jerman 1918 meletus dan gagal karena pengkhianatan kaum sosialis-merdeka yang dipimpin Noske, dan sesudah berdiri Internasionale III tahun 1919, di mana Lenin menyerukan agar semua Partai Sosial Demokratis diubah menjadi Partai Komunis. Maka dari itu pada kongres tahunan VII nama ISDV diubah menjadi PKI (Latif, 2014: 57).
Pada tahun 1920 golongan komunis melalui Darsono menyatakan ketidak percayaan terhadap Tjokroaminoto terutama mengenai persoalan keuangan. Di kemudian hari dalam membela pihak PKI, Semaun mengungkapkan bahwa PKI dapat membela hak-hak orang Indonesia, baik muslim atau penganut agama lainnya. Dia mengungkapkan bahwa pemikiran Sarikat Islam bukannya tidak bersesuaian dengan PKI, malahan PKI berjasa besar atas perubahan Sarekat Islam yang asalnya partai kapitalistis menjadi partai untuk rakyat. Maka dari itu dia menyarankan dengan sangat agar pikiran untuk mendisiplin PKI dihilangkan saja (Noer, 1982: 140).
Usaha pembelaan dari Semaun tidak berhasil. Kongres tahun 1921 di Surabaya yang diadakan ketika Tjokroaminotomasih berada di dalam tahanan, menyokong pihak Salim-Moeis dengan 23 lawan 7 suara. Dengan demikian orang-orang komunis dikeluarkan dari Sarekat Islam. Mereka yang menentang Salim-Moeis adalah Serekat Islam dari Semarang, Solo, Salatiga, Sukabumi dan Bandung (Noer, 1982: 140).
Komunisme memang telah mengggoncangkan Sarekat Islam saat itu, terutama ketika Semaun memasukan ajaran komunisme pada Sarekat Islam. Sehingga saat itu Sarekat Islam terbagi menjadi dua bagian; Sarekat Islam Putih yang masih dipimpin oleh Tjokroaminoto, dan Sarekat Islam Merah yang memisahkan diri dari pimpinan Tjokroa-minoto. Dengan kata lain, Sarekat Islam terbelah dua, terdiri dari mereka yang pro komunis dan yang anti komunis.
Tertariknya Semaun ke dalam PKI bukan atas dasar paksaan. Melainkan seperti yang penulis tuliskan di muka, bahwa dia meyakini PKI dapat membela hak-hak orang Indonesia. Tujuan dari PKI sebenarnya sederhana, mereka ingin mensejahtrakan rakyat Indonesia. Titik awal dibangunnya PKI pada tanggal 23 Mei 1920 tiada lain untuk merespon kepentingan rakyat. Mereka melihat kemiskinan semakin merajalela, kesukaran makin memuncak, serta ketidaksenangan rakyat terhadap kaum penjajah Belanda makin meluap. Upah riil kaum buruh sangat menurun karena harga-harga barang impor naik, termasuk barang-barang keperluan sehari-hari. Sedangkan kenaikan barang pokok tersebut tidak sepadan dengan upah yang mereka terima (Latif, 2014: 57).

Haji Misbach: Islam dan Komunisme
Haji Muhammad Misbach atau juga sering dikenal sebagi Haji Misbach mempunyai panggilan Ahmad, setelah dia menikah kerap kali dia dipanggil Darmodiprono. Setelah dia pulang haji dari Makkah, namanya diubah menjadi Haji Misbach. Karena dia seorang pendakwah dan banyak memiliki kenalan, maka dia juga sering dipanggil dengan sebutan Kyai Haji Misbach (Hapsari, 2011: 63).
Sejak kanak-kanak hingga dewasa Misbach belajar di pesantren. Setelah lulus, dia melanjutkan studinya ke bumiputera pemerintah. Misbach dikenal sebagai pribadi yang menguasai segi-segi penting Islam. Kemampuannya dalam berbahasa arab tidak diragukan lagi. Semangat perjuangan Islam-nya juga sangat dipengaruhi dari latar pendidikan pesantren tempat dia menimba ilmu. Selain pesantren lingkungan Kauman juga memberikan corak penting terhadap pemikiran Misbach (Shiraishi, 1997: 173).
Seiring waktu setelah Misbach menjadi seorang ulama yang terkenal, dia memiliki cita-cita untuk membela Islam serta kepentingan ekonomis para saudagar batik Muslim yang merasa dirugikan oleh dua sistem yang menghegemoni para saudagar tersebut. Tiada lain sistem tersebut adalah kolonialisme dan kapitalisme. Misbach bersama Koesen, Harsoelemekso, Darso-sasmoti, membentuk suatu organisasi yang bernama SATV (Sidik, Amanah, Tablig, Vatonah). Kegiatan yang dilakukan oleh SATV hampir sama dengan kegiatan yang diagendakan oleh Muhammadiyah. Kegiatan tersebut melinggkupi; acara-acara tablig atau dakwah, mendirikan sekolah modern bagi bumiputera, menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam bahasa Jawa, membuat jurnal, memberantas sistem kapitalis yang menimbulkan kerugian bagi rakyat, serta menyuarakan suara anti penindasan. Dalam hal ini, SATV berhasil membuktikan militansi keislamannya (Shiraishi, 1997: 185).
Perjuangan Misbach terhadap umat Islam ditunjukannya ketika dia membentuk TKNB (Tentara Kanjeng Nabi Muhammad) bersama aktifis-aktifis politik dari Sarekat Islam pada tahun 1918. Organisasi ini dibuat sebagai respon dari Martodikromo dan Djojodikromo yang menulis penghinaan serta pelecehan terhadap Nabi Muhammad. Setelah itu Misbach memobilisasi melalui berbagai pertemuan di beberapa kota di Jawa, di antaranya Surakarta pada tanggal 24 Februari 1918 (Noer, 1982: 143).
Namun seiring waktu orientasi Misbach yang asalnya bisa dikatakan sebagai penganut ‘Islam radikal’ berubah menjadi pendukung komunisme. Bahkan Misbach menyebut dirinya sebagai ‘prajurit Islam komunis’.  Secara garis besar bisa dilihat dua faktor kenapa Misbach memilih masuk kepada pemahaman komunis. Pertama, interaksinya yang intensif dengan tokoh atau para penganut Marxisme radikal seperti Sneevliet, Semaun, Alimin, Mas Marco Kartodikromo. Mereka inilah yang disinyalir sebagai orang-orang yang mengenalkan Marxisme-Leninisme kepada Misbach. Kedua, daya tarik Marxisme sebagai ideologi yang berusaha melawan imperialisme, kolonialisme, dan kapitalisme. Yang dikemudian hari menjanjikan masa depan yang lebih baik dan membebaskan manusia terkhusus buruh dari belenggu penindasan (Hapsari, 2011: 65).
Haji Misbach selalu mengatakan hal-hal yang dianggap nyeleneh untuk membela komunisme. Dia pernah mengatakan bahwa “kawan kita yang mengakui dirinya seorang komunis, akan tetapi mereka masih suka mengeluarkan fikiran-fikiran yang bermaksud akan melenyapkan agama Islam, itulah saya berani mengatakan bahwa mereka bukan komunis yang sejati atau mereka tidak mengerti duduknya komunis; pun orang yang mengaku Islam tapi tidak setuju adanya komunis, saya bernani mengatakan bahwa dirinya bukan Islam yang sejati, atau belum mengerti betul-betul tentang duduknya agama Islam” (Shiraishi, 1997: 393).
Sementara Dawam Rahardjo mengungkapkan ketika mengisi kuliah umum di Salihara, bahwa Haji Misbach adalah seorang tokoh Islam yang mempunyai anggapan bahwa Islam itu tidak ada unsur perjuangan,—karena kondisi saat itu terus tertindas—kemudian dia menggabung-kannya—untuk menyemangati umat Islam—dengan anti kolonialisme. Dia meminjam teori Marxisme, karena beranggapan bahwa dalam Islam saat itu tidak ada doktrin perjuangan, seperti perjuangan kelas Marxis. Tapi uniknya Misbach melegitimasinya dengan ayat-ayat Al-Qur’an.  Pada akhirnya dia berhasil mengakomodir pergerakan serta aksi massa buruh. Namun, dia tidak ikut pada barisan buruh tersebut, karena dia berhasil ditangkap dan akhirnya dibunuh. Maka dari itu, sebenarnya pemberontakan di Telanggung itu bukan pemberontakan buruh, buktinya aksi massa tersebut tidak dipimpin oleh buruh, melainkan dipimpin oleh seorang ulama yang bernama Haji Misbach.[6]
Namun walaupun Misbach adalah salah seorang dari tokoh pergerakan yang muncul di Surakarta di bawah sayap besar SI. Kemudian dia sering kali dicap sebagai tokoh SI yang dekat dengan paham komunis—Meski berada di garis kiri. Tapi Misbach berbeda dengan kaum komunis lainnya. Dia tetap berpegang teguh pada keyakinan Islam dan menolak menjadi Atheis (Indriawati, 2012: 3).

Soekarno dan Marhaen
Marhaeni awalnya adalah gerakan suatu kaum perempuan yang menuntut persamaan hak dengan laki-laki. Dalam perjuangannya, mereka didukung oleh borjuis—Soekarno menyebutnya dunia borjuis—dan mendapat sokongan darinya. Sokongan tersebut diakibatkan karena munculnya rasa kemanusian dan keadilan. Dalam hal ini, memang tiap-tiap manusia harus menyokong aksi persamaan hak itu (Soekarno, 2015: 130).
Namun, alih-alih membantu atas dasar kepedulian, Soekarno menyebutkan ada sebuah kepentingan ekonomi dari kaum borjuis. Ujung-ujungnya mereka mendapat-kan keuntungan dari perjuangan persamaan hak tersebut. Erat kaitannya dengan hal itu, Soekarno menuliskan demikian:
Jikalau kaum perempuan dapat merobek adat kuno dan mendapat persamaan hak dengan kaum laki-laki, jikalau adat kuno yang mengurung kaum perempuan di dalam dapur itu bisa lenyap sehingga mereka boleh masuk ke dalam “dunia luaran”, jikalau kaum perempuan itu boleh masuk bekerja di dalam kantor, di dalam bedrijf, maka kaum borjuislah yang sangat untung, kaum borjuislah yang mendapat kaum buruh murah! (Soekarno, 2015: 131).
Menurut presiden pertama Indonesia itu, dengan adanya persamaan hak kerja antara kaum laki-laki dan perempuan maka tidak akan ada lagi organisasi-organisasi perempuan, melainkan kaum perempuan proletar yang digiring masuk kepada kehedak borjuis. Maka Soekarno menawarkan solu-sinya, bahwa kita harus sama-sama menjaga, jangan sampai ada percampuran hak kerja antara kaum laki-laki dan kaum perempuan. Soekarno menyarankan bahwa Marhaen dan Marhaeni harus berani terjun ke dalam satu ‘kawah’. Dalam artian mendobrak sistem kapitalisme yang ada secara bersamaan, yang nantinya akan berdampak pada melemahnya sistem tersebut. Kalaulah semua kaum buruh menyatu maka akan menimbulkan persatuan dan kekuatan besar yang mucul dari internazionale arbeidsbeweging (gerakan buruh internasional) (Soekarno, 2015: 133).
Salah satu dari corak produksi ekonomi adalah sistem kapitalisme. Ciri khas sistem kapitalisme adalah adanya perdaga-ngan. Yang dimaksud perdagangan di sini adalah pertukaran di antara barang-barang yang saling dibutuhkan, atau kerap kali disebut jual beli. Seperti aktifitas lainnya, perdagangan ini harus melibatkan hak milik pribadi itulah yang bisa dimanfaatkan oleh sang penjual sebagai sumber pendapatan secara langsung (Marx, 2009).
Adanya jual beli, itulah yang disebut pasar. Lebih lanjut, pasar itu adalah sebuah mekanisme ekonomi yang canggih, namun gampang dirusak, untuk menata kehidupan ekonomi, sehingga setiap pribadi memberikan sumbangan bagi keseluruhan, dan dalam pada itu juga pilihan pribadinya (Korten, 2002).
Berkaitan dengan sistem ekonomi kapitalisme, dilacak dari segi historis kapitalisme itu sendiri terbagi menjadi tiga bagian. Pertama, kapitalisme awal tahun 1500-1750. Kapitalisme untuk periode ini masih mendasarkan pada pemenuhan kebutuhan pokok yang ditandai dengan kehadiran industri sandang di Inggris sejak abad XIV sampai abad XVIII. Kedua, kapitalisme klasik pada tahun 1750-1914. Pada fase ini terjadi pergeseran perilaku para kapitalis yang semula hanya berdagang publik, ke wilayah yang mempunyai jangkauan lebih luas yaitu industri. Ketiga, kapitalisme lanjut pasca 1914. Kapitalisme lanjut dijelaskan mulai berkembang sejak abad XIX, tepatnya tahun 1914, Perang Dunia I sebagai momentum utama. Kapitalisme fase lanjut sebagai peristiwa penting ini ditandai paling tidak oleh tiga momentum: (1) Pergeseran dominasi modal dari Eropa ke Amerika; (2) Bangkitnya kesadaran bangsa-bangsa di Asia dan Afrika terhadap kolonialisme Eropa sebagai ekses dari kapitalisme klasik, yang kemudian memanifestasikan kesadaran itu dengan perlawanan; dan (3) Revolusi Bolzhevik Rusia yang berhasrat meluluh-lantakan institusi fundamental kapitalisme berupa pemilikan kapital secara individu atas penguasaan sarana produksi, struktur kelas sosial, bentuk pemerintahan, dan kemapanan agama (Kristeva, 2015).
Sistem kapitalisme jugalah yang berlaku dalam industri. Di mana si pemilik modal menjadikan segala sesuatu sebagai komoditas dan meraup keuntungan dari komoditas itu sendiri. Namun sebenarnya sebelum memasuki masa kapitalisme industri tepatnya masa prakapitalis, formasi ekonominya berbentuk kapital dagang yang merupakan bentuk umum kapital. Dengan kata lain, perkembangan organisasi produksi komoditas tidak beranjak jauh dari sekitar industri rumahan yang marjin produktivitasnya rendah. Seiring waktu pola-pola perekonomian prakapitalis ini tergantikan oleh pola ekonomi kapital (Mulyanto, 2010: 158).
Berawal dari produksi yang terus menerus berkembang dan sulit untuk dibendung—dalam industri. Marx berangga-pan, walaupun terdapat hubungan antara kerja dan hakikat manusia, namun dia menganggap bahwa hubungan itu disesatkan oleh kapitalisme. Dengan kata lain kaum buruh bekerja sesuai keinginan dari kaum kapitalis (Ritzer, 2014: 87).
Selain itu, Marx juga mengungkapkan dalam konsep alienasinya bahwa efek produktif kapitalis bersikap menghancurkan terhadap manusia dan masyarakat. Yang sangat signifikan adalah sistem dua kelas yaitu kapitalis yang mempekerjakan karyawannya (secara otomatis mereka memiliki waktu pekerja) dan kapitalis memiliki alat-alat produksi (alat-alat dan bahan-bahan mentah) dan juga memiliki produk hasil akhirnya. Di sisi lain, agar dapat bertahan hidup para pekerja menjual waktunya pada kaum kapitalis. Berawal dari struktur inilah—dalam pembagian kerja antara pemilik modal dan karyawan—dikemudian hari Marx sebut sebagai alienasi (Ritzer, 2014: 88).
Alienasi sebagai Penyebab Kemiskinan
Para Marxis yang percaya pada determinisme ekonomi melihat kemacetan-kemacetan yang ditimbulkan oleh kapitalisme. Dan menurutnya marxisme memiliki sebuah struktur ekonomi yang lebih baik yang mampu menggantikan peran dari ekonomi kapitalisme (Ritzer, 2014: 86).
Setelah terjadi revolusi industri di Inggris, Inggris menjadi negara atau bisa dibilang sebagai pemilik garda terdepan dari produksi industri. Namun, ternyata berkembangnya corak produksi—dalam industri—ini bukan hanya di Inggris saja. Amerika Utara misalnya, saat itu orang-orang Amerika yang pertama-pertama menggunakan mesin untuk melakukan perkejaan menjahit, pembuatan sepatu, dst. Sedangkan rangkaian kegiatan industri besar itu berusaha mengambil alih wilayah-wilayah yang sebelumnya dikuasai oleh kerja tangan (handiwork), keahlian pertukaran (artisan-ship), dan keterampilan tangan (manufaktur) pada awalnya tampak menjanjikan (Marx, 2009: 201).
Berawal dari produksi industri rumahan, produksi itu seiring waktu menjadi produksi massal dengan skala besar untuk diperdagangkan, dan bukan hanya untuk melayani konsumsi pribadi saja. Maka pantas saja dalam suatu industri produksi (pabrik) proses produksi yang pertama kali dikerjakan dimulai dari barang-barang mentah atau barang setengah jadi. Sedangkan barang-barang yang siap untuk dikonsumsi merupakan yang terakhir dikerjakan oleh industri (Marx, 2009: 203).
Beragam pabrik mempunyai kinerjanya masing-masing. Pabrik roti di London misalnya yang menerapkan jam kerja pada karyawan dimulai pada jam 11 malam dan berakhir pada jam 3 atau 4 siang. Pekerjaan akan semakin banyak menjelang akhir pekan. Di pabrik roti yang lainnya di London, para pekerja atau karyawan harus bekerja tanpa henti sejak jam 10 malam di hari Rabu sampai dengan hari Sabtu malam. Sedangkan rentang usia para karyawan yang bekerja di pabrik itu, kabanyakan mati karena sakit paru-paru, sekitar umur 42 tahun. Proses pembuatan roti biasanya dilakukan di ruang bawah tanah yang sempit dengan ventilasi udara yang buruk atau bahkan tak ada ventilasi sama sekali. Jelaslah kalau kebanyakan dari para pekerja mengidap penyakit paru-paru. Tambah lagi, ketiadaan ventilasi ini diperparah oleh adanya uap berbahaya yang berasal dari pipa-pipa limbah roti—roti yang terfermentasi menyebarkan gas-gas berbahaya (Marx, 2009: 204).
Sejalan dengan hal tadi, berawal dari terjadinya suatu ketidak adilan di pabrik. Soekarno juga berpendapat bahwa ada yang ganjil pada sistem produksi pabrik yang bercorak kapitalis; berusaha ingin meraup keuntungan sebanyak-banyaknya dengan mengesampingkan kesejahtraan hidup para karyawannya.
Pabrik biasanya lebih gampang menerima perempuan yang hendak dijadikan pegawainya dibanding dengan laki-laki. Karena menurutnya perempuan itu berharga murah. Berawal dari sanalah muncullah gerakan Marhaeni, yang awalnya gerakan ini adalah gerakan suatu kaum perempuan yang menuntut persamaan hak dengan laki-laki. Dalam perjuangannya, mereka didukung oleh borjuis—Soekarno menyebutnya dunia borjuis—dan mendapat sokongan dari pemilik modal atau pemegang pabrik. Sokongan tersebut diakibatkan karena munculnya rasa kemanusian dan keadilan. Dalam hal ini, memang tiap-tiap manusia harus menyokong aksi persamaan hak itu (Soekarno, 2015: 130).
Namun, alih-alih membantu atas dasar kepedulian, Soekarno menyebutkan ada sebuah kepentingan ekonomi dari kaum borjuis. Ujung-ujungnya mereka mendapatkan keuntungan dari perjuangan persamaan hak tersebut. Erat kaitannya dengan hal itu, Soekarno menuliskan demikian:
Jikalau kaum perempuan dapat merobek adat kuno dan mendapat persamaan hak dengan kaum laki-laki, jikalau adat kuno yang mengurung kaum perempuan di dalam dapur itu bisa lenyap sehingga mereka boleh masuk ke dalam “dunia luaran”, jikalau kaum perempuan itu boleh masuk bekerja di dalam kantor, di dalam bedrijf, maka kaum borjuislah yang sangat untung, kaum borjuislah yang mendapat kaum buruh murah (Soekarno, 2015: 131)!
Menurut presiden pertama Indonesia itu, dengan adanya persamaan hak kerja antara kaum laki-laki dan perempuan maka tidak akan ada lagi organisasi-organisasi perempuan, melainkan kaum perempuan proletar yang digiring masuk kepada kehedak borjuis. Maka Soekarno menawarkan solusinya, bahwa kita harus sama-sama menjaga, jangan sampai ada percampuran hak kerja antara kaum laki-laki dan kaum perempuan. Soekarno menyarankan bahwa Marhaen dan Marhaeni harus berani terjun ke dalam satu ‘kawah’. Dalam artian mendobrak sistem kapitalisme yang ada secara bersamaan, yang nantinya akan berdampak pada melemahnya sistem tersebut. Kalaulah semua kaum buruh menyatu maka akan menimbulkan persatuan dan kekuatan besar yang mucul dari internazionale arbeidsbeweging (gerakan buruh internasional) (Soekarno, 2015: 133).
Alienasi diakibatkan oleh sistem kapitalisme. Berkaitan dengan hal itu Karl Marx menegaskan bahwa untuk meminimalisir alienasi, maka harus ada pembebasan terhadap kaum proletariat. Marx berniat membangun sistem ekonomi sosialisme yang menurutnya merupakan jalan yang jitu untuk melawan kapitalisme sekaligus mengembalikan kebebasan manusia (Bahari, 2010: 2-3).
Sosialisme mengusung cita cita yang besar. Di antara cita-cita tersebut adalah menciptakan kesempatan pekerjaan yang banyak bagi kelas-kelas rendah; mengakhiri perbedaan yang didasarkan atas kelahiran bukan karena jasa; membuka lapangan-lapangan pendidikan bagi seluruh rakyat; menghapuskan praktik diskriminasi yang didasarkan pada jenis kelamin, agama, suku bangsa dan kelas sosial; mengatur dan mengorganisasi ekonomi untuk kepentingan seluruh masyarakat, dan banyak hal lainnya (Ebenstein, 2014: 293).
Marx berpandangan bahwa alienasi berhubungan dengan kondisi pekerja. Menurutnya, hakikat dari manusia adalah bekerja. Sebab kerja merupakan suatu konsep yang tidak bisa dipisahkan dalam diri manusia. Kerja juga ekspresi kemampuan khas manusia yang tidak melulu terbatas pada aktifitas ekonomi, melainkan mencakup segala hal yang berkaitan dengan daya kreatif seseorang. Namun, alih-alih kerja tersebut merupakan hakikat manusia. Tapi di sisi lain, kerja tersebut selalu dijadikan arena eksploitasi diri oleh kaum borjuis (Nadhiroh, 2015: 5).
Dengan lain kata, teori alienasi Marx bermaksud melihat bagaimana keterasingan yang dialami oleh para pekerja di bawah arahan kaum borjuis (Al-Sholihah, 2012: 2). Konsep alienasinya muncul setelah Marx mengkritik habis-habisan pembagian kerja pada masa industrial. Menurutnya, sebelum datang industrialisme manusia adalah suatu keutuhan, tidak teralienasi. Namun, setelah datangnya industrialisme kondisi manusia terpecah-belah oleh kapitalisme (Basuki, 2008: 307).
Pada intinya, Marx percaya bahwa terdapat hubungan antara kerja dan hakikat manusia, namun dia menganggap bahwa hubungan itu disesatkan oleh kapitalisme, dan dia menyebutnya sebagai alienasi. Dalam kata lain, kaum buruh bekerja sesuai keinginan dari kapitalis. Bukan sebagai tujuan itu sendiri, melainkan kerja dalam kapitalis disusutkan menjadi alat bagi suatu tujuan. Tiada lain tujuan tersebut adalah memperoleh uang yang sebanyak-banyaknya (Johnson, 1986: 124).
Meskipun individulah yang merasa teralienasi di dalam masyarakat kapitalis, namun Marx juga beranggapan bahwa struktur-struktur kapitalisme yang menyebabkan alienasi tersebut. Marx menggunakan konsep alienasi untuk menyingkapkan efek produktif kapitalis yang bersikap menghancurkan terhadap manusia dan terhadap masyarakat. Yang sangat signifikan adalah sistem dua kelas yaitu kapitalis yang mempekerjakan karyawannya (secara otomatis mereka memiliki waktu perkerja) dan kapitalis memiliki alat-alat produksi (alat-alat dan bahan-bahan mentah) dan juga memiliki produk hasil akhirnya. Agar dapat bertahan hidup para pekerja menjual waktunya pada kaum kapitalis. Struktur itulah, khususnya pembagian kerja, adalah dasar sosiologis alienasi (Ritzer, 2014: 82).
Seturut pemaran di atas, dapat diketahui bahwa kemiskinan yang terjadi dalam masyarakat bukan berkaitan dengan laju penduduk atau vertilitas yang tinggi. Namun kemiskinan tersebut diakibatkan oleh adanya suatu sistem ekonomi-politik yang kejam, yakni sistem kapitalisme. Dan mau tidak mau akhirnya terjadi alienasi terhadap kaum pekerja.
Seturut pemaran di atas, maka tujuan dari kaum komunis sama halnya dengan tujuan dari kaum proletar: pembentukan kaum proletar sebagai kelas, penggulingan supremasi borjuis, dan penaklukan politik di bawah kekuasaan kaum proletar. Tujuan komunisme bukan dalam penghapusan kepemilikan secara umum, namun penghapusan sistem borjuis: penghapusan kepemilikan privat (Marx, 2016: 112-113)
Maka dari itu, revolusi yang dimaksud oleh Marx adalah revolusi dalam sektor ekonomi-politik. Misalnya, tidak terdapat lagi pekerja dan/atau buruh yang menjadi budak kapitalis demi kepentingan tersendiri para pemilik modal (Adian,  2011: 14).

Corak Produksi Kapitalisme
Salah satu dari corak produksi ekonomi adalah sistem kapitalisme. Ciri khas sistem kapitalisme adalah adanya perdagangan. Yang dimaksud perdagangan di sini adalah pertukaran di antara barang-barang yang saling dibutuhkan, atau kerap kali disebut jual beli. Seperti aktifitas lainnya, perdagangan ini harus melibatkan hak milik pribadi itulah yang bisa dimanfaatkan oleh sang penjual sebagai sumber pendapatan secara langsung (Marx, 2009).
Adanya jual beli, itulah yang disebut pasar. Lebih lanjut, pasar itu adalah sebuah mekanisme ekonomi yang canggih, namun gampang dirusak, untuk menata kehidupan ekonomi, sehingga setiap pribadi memberikan sumbangan bagi keseluruhan, dan dalam pada itu juga pilihan pribadinya (Korten, 2002).
Berkaitan dengan sistem ekonomi kapitalisme, dilacak dari segi historis kapitalisme itu sendiri terbagi menjadi tiga bagian. Pertama, kapitalisme awal tahun 1500-1750. Kapitalisme untuk periode ini masih mendasarkan pada pemenuhan kebutuhan pokok yang ditandai dengan kehadiran industri sandang di Inggris sejak abad XIV sampai abad XVIII. Kedua, kapitalisme klasik pada tahun 1750-1914. Pada fase ini terjadi pergeseran perilaku para kapitalis yang semula hanya berdagang publik, ke wilayah yang mempunyai jangkauan lebih luas yaitu industri. Ketiga, kapitalisme lanjut pasca 1914. Kapitalisme lanjut dijelaskan mulai berkembang sejak abad XIX, tepatnya tahun 1914, Perang Dunia I sebagai momentum utama. Kapitalisme fase lanjut sebagai peristiwa penting ini ditandai paling tidak oleh tiga momentum: (1) Pergeseran dominasi modal dari Eropa ke Amerika; (2) Bangkitnya kesadaran bangsa-bangsa di Asia dan Afrika terhadap kolonialisme Eropa sebagai ekses dari kapitalisme klasik, yang kemudian memanifestasikan kesadaran itu dengan perlawanan; dan (3) Revolusi Bolzhevik Rusia yang berhasrat meluluhlantakan institusi fundamental kapitalisme berupa pemilikan kapital secara individu atas penguasaan sarana produksi, struktur kelas sosial, bentuk pemerintahan, dan kemapanan agama (Kristeva, 2015b).
Berkenaan dengan komoditas, Dede Mulyanto (2010) dalam bukunya yang berudul Kapitalisme: Perspektif Sosio-Historis, mengutip pendapat Karl Marx yang menyatakan terdapat hubungan erat antara komoditas dan nilai tukar. Pada tahap awal—corak produksi komoditas sederhana—sirkulasi komoditas terpisah dari sirkulasi kapital uang. Komoditas pada tahap pertama hanya digunakan sebagai nilai tukar saja. Maka dari itu, rumus umum sirkulasi komoditas ialah menjual untuk membeli (C1—M—C2) (Mulyanto, 2010).
Pendorong utama sirkulasi komoditas ialah pemenuhan kebutuhan hidup unit-unit produksi yang diperuntukan bagi produsen. Sementara itu, rumus sirkulasi kapital uang yang berlaku bagi golongan pedagang profesional ialah membeli untuk menjual (M—C—M+). Dengan kata lain, tujuan utama dari kepemilikan komoditas tersebut bukan berada pada nilai tukar tetapi nilai lebih. Orientasinya bukan merupakan pemenuhan kebutuhan, namun lebih jauh dari itu: akumulasi keuntungan (Mulyanto, 2010).
Adanya akumulasi keuntungan adalah ciri khas dari kapitalisme. Komoditas yang diperjualbelikan merupakan suatu tanda bahwa sistem perekonomian yang berjalan bercorak kapitalisme. Hasil dari komoditas yang diperjualbelikan itu hanya untuk akumulasi kapital: mencari keuntungan. Komoditas sebagai kapital, berarti komoditas itu diposisikan menjadi segala barang yang dibuat untuk dijual ke pasaran (Mulyanto, 2010).
Semngat mencari uang—dalam hal ini semangat kapitalisme—juga tumbuh dalam agama-agama. Misalnya agama Protestan yang mengajarkan umatnya untuk terus-terusan mencari uang. Sebab hal itu dianjurkan oleh agama mereka (Weber, 2006: 37).
Mengutip pendapat Granovetter, bahwa setiap institusi—dalam hal ini agama—selalu berkaitan erat dengan sistem serta tindakan ekonomi (Damsar, 2009: 142).

Respon Islam terhadap Komunisme
Membicarakan Islam dan komunisme tentunya bagi penulis sendiri merupakan hal yang sulit. Karena keduanya merupakan dua entitas yang berbeda. Islam hadir sebagai agama yang titik toloknya teks-teks suci—al-Qur’an serta as-Sunnah. Dan umumnya dipandang sebagai spiritualisme. Sementara komunisme dan/atau marxisme adalah teori ilmiah yang percaya bahwa gerak perubahan itu berdasarkan kepada materi. Yang tidak terlepas dari intrik-intrik bahwa agama hanya sekedar proyeksi manusia saja.
Karena keduanya merupakan entitas yang berbeda. Berawal dari sana, penulis akan menjelaskan perbedaan antara ajaran Islam dan komunisme. Namun, tidak hanya mengungkap perbedaannya. Penulis juga akan menuliskan beberapa kesamaan dari keduanya.
***
Basis pemikiran Islam tidak lain adalah berpegang sesuai dengan perintah dari Allah SWT. dan bertindak—dalam kehidupan sosial—seperti yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw. Pernyataan tersebut juga diakui oleh Sayyid Quthb (t.t.: 158) dalam Tafsir fii Zilalil-Qur’an jilid II, yang menyatakan bahwa orang yang baik adalah orang yang berpegang pada manhaj Allah. Quthb juga berpendapat, di dalam umat Nabi Muhammad  harus berpegang erat pada manhaj itu.
Seturut pemaparan di atas, Quthb menukil QS. , yang berbunyi:
“Sesungguhnya (agama Tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah aku.”
Sementara berbeda lagi dengan marxisme. Marx justru memandang agama hanya sebagai sebagai suatu ideologi. Walaupun gerakan-gerakan agamis sering berada di garda terdepan dalam melawan sistem kapitalisme, seperti halnya ‘teologi pembebasan’. Namun Marx beranggapan bahwa secara khusus justru agama selalu dijadikan sebagai penindasan terhadap kaum lemah. Agama juga kerapkali melukiskan ketidakadilan kapitalisme sebagai ujian bagi kaum tertindas yang setuju menyisihkan perjuangan revolusioner untuk memajukannya ke dalam kehidupan akhirat. Dengan kata lain, dalam agama, suara-suara orang tertindas selalu digunakan untuk melanggengkan penindasan (Ritzer, 2014: 117-118).
Marx juga beranggapan bahwa ‘agama adalah candu bagi masyarakat’. Apa yang dimaksud agama sebagai candu? Rasanya kita harus mengutip keseluruhan kutipannya, supaya maksud dari kutipan ‘agama adalah candu’ menjadi jelas:
Kesukaran agamis pada saat yang sama adalah ungkapan kesukaran yang nyata dan juga protes terhadap kesukaran yang nyata. Agama adalah desahan makhluk yang tertindas, hati dari dunia yang tidak punya hati, sebagaimana agama adalah semangat bagi kondisi-kondisi yang tidak semangat. Agama adalah candu bagi masyarakat.[7]
George Ritzer (2014: 117), seorang sosiolog terkemuka menafsir kutipan Marx ini. Menurutnya, Marx berpandangan bahwa agama mencerminkan suatu kebenaran namun kebenaran itu terbalik. Agama hanya dihasilkan oleh sistem kapitalis yang di dalamnya termuat bentuk-bentuk penindasan. Dengan kata lain, karena agama bentukan sistem kapitalis, maka agama menjadi penghalang bagi gerakan-gerakan revolusioner. Di sisi lain juga, kenyataannya, agama rentan untuk gangguan—selalu mempertahankan status quo.
Dari pernyataan singkat mengenai agama dalam sudut pandang Islam dan Marxisme. Jelas-jelas keduanya berbeda. Islam berpandangan bahwa berpegang teguh pada perintah Allah SWT.—yang termuat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah—menjadi sebuah kewajiban tersendiri. Sementara marxisme, beranggapan bahwa agama tiada lain hasil proyeksi dan/atau ilusi-ilusi yang muncul dari manusia saja.[8]
Perbedaan lainnya antara Islam dan marxisme tercermin dalam sistem ekonomi. Marxisme dengan tatanan sistem ekonomi komunismenya yang diusung, menganggap bahwa kepemilikan alat produksi sebenarnya harus bersifat komunal. Dengan kata lain, apabila kepemilikan alat produksi dikuasai secara privat, itulah yang akan dilawan oleh orang-orang yang berhaluan komunis.[9]
Sementara berbeda dengan Islam, konsep komunal—harta yang kita miliki bukan hanya diri kita saja—masih tetap ada. Tapi hal tersebut tidak menghapus privatisasi terhadap harta.
Bentuk komunal harta dalam Islam tercermin misalnya pada zakat, hak waris, infak, dll. Pada akhirnya Islam memiliki sistem tersendiri.
Sependapat dengan Sayyid Quthb, pada akhirnya pilihan model dan/atau sistem pemerintah itu hanya ada dua alternatif: Islam atau jahiliyyah. Islam mempunyai aturan main tersendiri. Islam juga yang akan mewujudkan cita-cita kemanusiaan. Keterpuran yang dialami oleh umat Islam tidak bisa ditiadakan dengan revolusi kecil—seperti gagasan sosialisme. Namun, kejayaan umat Islam tiada lain mesti disandarkan kepada basis teoritiknya: agama Islam (Quthb, 1995: 149; Muhammad, 2004: 126).
Mahmud Syaltut (1995, 212) juga mempunyai anggapan yang sama dengan Quthb. Menurutnya Islam bukan hanya berbicara hal-hal supranatural, namun Islam juga mempunyai pandangan sosial dan materialnya. Menurutnya, Islam memiliki konsep-konsep yang sama dengan sosialisme. Namun konsep ini dibangun berdasarkan syari’at. Islam membangun ‘sosialismenya’ bukan bertitik tolok pada Karl Marx. Namun bersandar pada basis teoritik Islam itu sendiri: aqidah dan iman.


DAFTAR BACAAN

Adian, Donny Gahral. 2011. Setelah Marxisme: Sejumlah Teori Ideologi Kontemporer. Depok: Penerbit Koekoesan.
Al-Sholihah, Ana Maratu. 2012. SKIRIPSI: Starategi Naratif dan Alienasi dalam Tiga Novel Karya J. M. Coetzee. Bandung: Universitas Padjajaran.
Bahari, Yohanes. 2010. Karl Marx: Sekelumit Tentang Hidup dan Pemikirannya, dalam Jurnal Pendidikan Sosiologi dan Humaniora, Vol. 1, No. 1.
Basuki, Ari. 2008. Perbandingan Pemikiran Karl Marx dengan Pemikiran J. Krishnamurti tentang Perubahan Sosial, dalam Jurnal Humaniora, Vol. 20, No. 3, Hal. 306-31. DIY, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Damsar & Indrayani. 2009. Pengantar Sosiologi Ekonomi. DKI, Jakarta: Kencana.
Ebenstein, William. 2014. Isme-isme yang Mengguncang Dunia. DIY, Yogyakarta: Narasi.
Engels, Friedrich. 2007. Surat Edaran Marx dan Engels: Ludwi Feurbach dan Akhir Filsafat Klasik Jerman. Ted Sparague (Ed.). DIY, Yogyakarta: Hasta Mitra.
Hapsari, Fitriana Heni. 2011. SKIRPSI: Peranan Haji Misbach dalam Gerakan Politik Islam di Surakarta Tahun 1912-1926. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Indriawati, Tri. 2012. Pergerakan Politik Haji Misbach di Surakarta Tahun 1912-1926. Surakarta: Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Johnson, Doyle Paul. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern I. Terj. Robert M. Z Lawang. DKI, Jakarta: Gramedia.
---------------. 1986b. Teori Sosiologi Klasik dan Modern II. Terj. Robert M. Z Lawang. DKI, Jakarta: Gramedia.
Kristeva, Nur Sayyid Santoso.  2015. Kapitalisme, Negara dan Masyarakat. DIY, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
---------------. 2015b. Kapitalisme, Negara dan Masyarakat. DIY, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Korten, David C. 2002. Kehidupan Setelah Kapitalisme. Terj. A. Rahman Zainuddin. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Latif, Busjarie. 2014. Manuskrip Sejarah 45 Tahun PKI [1920-1965]. Bandung: Ultimus.
Marx, Karl. 2004. Kapital I: Sebuah Kritik Ekonomi Politik. Terj. Oey Hay Djoen. DIY, Yogyakarta: Hasta Mitra.
---------------. 2006. Kapital II: Sebuah Kritik Ekonomi Politik. Terj. Oey Hay Djoen. DIY, Yogyakarta: Hasta Mitra.
---------------. 2007. Kapital III: Sebuah Kritik Ekonomi Politik. Terj. Oey Hay Djoen. DIY, Yogyakarta: Hasta Mitra.
---------------. 2016. Teks-Teks Kunci Filsafat Marx. Terj. Martin Suryajaya. DIY, Yogyakarta: Resist Book.
---------------. 2009. Karl Marx: Membongkar Akar Krisis Global. Dave Renton, (Ed.). DIY, Yogyakarta: Resist Book.
---------------. 1843/1970.  A Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right,  dalam Marx/Angels Collected Works. New York: International Publishers. Vol. 3, hlm. 3-125.
---------------. 1869. The Abolition of Landed Property, Memorandum for Robert Applegarth.
Muhammad, Afif. 2004. Dari Teologi ke Ideologi: Telaah atas Metode dan Pemikiran Sayyid Quthb. Bandung: Penerbit Pena Merah.
Mulyanto, Dede (Ed.). 2015. Di Balik Marx: Sosok dan Pemikiran Friedrich Engels. Tangerang Selatan: Marjin Kiri.
---------------. 2010. Kapitalisme: Perspektif Sosio-Historis. Bandung: Ultimus.
Nadhiroh, Nufi Ainun. 2015. SKRIPSI: Konsep Alienasi Menurut Erich Fromm. DIY, Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.
Quthb, Sayyid. T.t. Tafsir fi Zilalil Qur’an. Minbar al-Tauhid wa al-Jihad.
---------------. 1995. Misi Risalah Islam. Redaksi Usaha Kami (peny.). Depok: Usaha Kami.
Ramadhan, Syamsuddin. 2003. Islam Musuh bagi Kapitalisme dan Sosialisme. DKI, Jakarta: Wahyu Press.
Ritzer, George. 2014. Teori Sosiologi; dari Sosiologi Klasik Sampai Perkem-bangan Terakhir Postmodern. Terj. Saut Pasaribu, dkk. DIY, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cet. II.
Noer, Deliar. 1982. Gerakan Modern Islam di Indonesia. DKI, Jakarta: LP3ES.
Santosa, Kholid O. 2009. Manusia di Panggung Sejarah: Pemikiran dan Gerakan Tokoh-tokoh Islam. Cet. II. Bandung: Sega Arsy.
Shiraishi, Takashi. 1997. Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926. Terj. Hilmar Farid. Bandung: Pustaka Utama Grafiti.
Soekanto, Soerjono. 2011. Mengenal Tujuh Tokoh Sosiologi. DKI, Jakarta: RajaGrafindo Persada. Cet. II.
Soekarno. 2015. Nasionalisme, Islamisme, Marxisme: Pikiran-pikiran Soekarno Muda. Bandung: Sega Arsy.
Syaltut, Mahmud. 1995. Sosialisme dan Islam, dalam Jhon D. Danohue dan John L. Esposito (Ed.), Islam dan Pembaharuan: Ensiklopedi Masa-lah-masalah. Terj. Machnun Husein. DKI, Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Weber, Max. 2006. Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme. Terj. TW Utomo dan Yusup Priaya Sudiarja. DIY, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.





[1] Mahasiswa Sosiologi, Aktif di Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK)
[2] Aksiologi adalah evaluasi atau penilaian dasar-dasar dan kenyataan (Soekanto, 2011: 2).
[3] Ontologi adalah cabang filsafat tentang sifat kenyataan yang riil (Soekanto, 2011: 2).
[4]Dicatat dari video diskusi “Islam dan Marxisme di Indonesia”, Permbicara: Bonnie Triyana dan M. Dawam Rahardjo (Serambi Salihara, 11 Desember 2013).
[5] Dicatat dari video diskusi “Islam dan Marxisme di Indonesia”, Permbicara: Bonnie Triyana dan M. Dawam Rahardjo (Serambi Salihara, 11 Desember 2013).
[6] Dicatat dari video diskusi “Islam dan Marxisme di Indonesia”, Permbicara: Bonnie Triyana dan M. Dawam Rahardjo (Serambi Salihara, 11 Desember 2013).
[7] Perihal kutipan tersebut bisa dibaca lebih lengkap dalam Karl Marx, A Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right,  dalam Marx/Angels Collected Works (New York: International Publishers, 1843/1970), Vol. 3, hlm. 3-125.
[8] Kesimpulan Marx tersebut sebenarnya dipengaruhi dari pemikiran Ludwig Feurbach. Dalam bukunya Friederich Engels (2007: 9) yang berjudul Ludwig Feurbach dan Akhir Filsafat Klasik Jerman, dituliskan kutipan sebagai berikut Tidak ada yang ada diluar alam dan makhluk halus yang diciptakan oleh fantasi agama kita hanyalah pencerminan (manusia)—fantastik dari hakekat kita sendiri.” Untuk mempertegas, bahwa agama adalah imajinasi manusia saja, saya kutipkan tulisan dalam buku yang sama: ” Jadi masalah hubungan antara pikiran dengan keadaan, hubungan antara jiwa dengan alam—masalah yang terpenting dari seluruh filsafat—mempunyai, tidak kurang daripada semua agama, akar-akarnya di dalam paham-paham kebiadaban yang berpikiran-sempit dan tiada berpengetahuan (Engels, 2007: 12).”
[9] Berkaitan dengan pernyataan yang saya tulis di atas, saya kutipkan perkataan Marx sebagai bukti bahwa Marx mersikukuh meniadakan kepemilikan privat dari alat produksi: “Masa depan akan menentukan bahwa tanah hanya dapat dimiliki secara nasional. Menyerahkan tanah ke tangan pekerja-pekerja pedesaan yang bersatu akan berarti menyerahkan seluruh masyarakat pada satu klas produser saja. Nasionalisasi atas tanah akan menghasilkan suatu perubahan menyeluruh dalam hubungan antara kerja dan modal dan akhirnya akan sepenuhnya menghapus produksi kapitalis, baik yang industrial atau yang pedesaan. Hanya pada waktu itulah perbedaan-perbedaan klas dan hak-hak istimewa klas akan lenyap bersama basis ekonomik yang menjadi asal-muasalnya dan masyarakat akan ditransformasi menjadi suatu asosiasi kaum 'produser'. Hidup atas kerja orang lain akan menjadi sesuatu dari masa lalu. Tidak akan ada lagi suatu pemerintahan atau suatu negara yang beda dari masyarakat itu sendiri (Marx, 1869: 12).”

3 komentar: