Minggu, 29 Mei 2016

Sumbangsih Marx dalam Sosiologi Kependudukan

 sumber gambar:versobooks.com
 Oleh: Yuris Fahman Zaidan

Salah satu dari corak produksi ekonomi adalah sistem kapitalisme. Ciri khas sistem kapitalisme adalah adanya perdagangan. Yang dimaksud perdagangan di sini adalah pertukaran di antara barang-barang yang saling dibutuhkan, atau kerap kali disebut jual beli. Seperti aktifitas lainnya, perdagangan ini harus melibatkan hak milik pribadi itulah yang bisa dimanfaatkan oleh sang penjual sebagai sumber pendapatan secara langsung (Renton, 2009).
Adanya jual beli, itulah yang disebut pasar. Lebih lanjut, pasar itu adalah sebuah mekanisme ekonomi yang canggih, namun gampang dirusak, untuk menata kehidupan ekonomi, se
hingga setiap pribadi memberikan sumbangan bagi keseluruhan, dan dalam pada itu juga pilihan pribadinya (Korten, 2002).

Berkaitan dengan sistem ekonomi kapitalisme, dilacak dari segi historis kapitalisme itu sendiri terbagi menjadi tiga bagian. Pertama, kapitalisme awal tahun 1500-1750. Kapitalisme untuk periode ini masih mendasarkan pada pemenuhan kebutuhan pokok yang ditandai dengan kehadiran industri sandang di Inggris sejak abad XIV sampai abad XVIII. Kedua, kapitalisme klasik pada tahun 1750-1914. Pada fase ini terjadi pergeseran perilaku para kapitalis yang semula hanya berdagang publik, ke wilayah yang mempunyai jangkauan lebih luas yaitu industri. Ketiga, kapitalisme lanjut pasca 1914. Kapitalisme lanjut dijelaskan mulai berkembang sejak abad XIX, tepatnya tahun 1914, Perang Dunia I sebagai momentum utama. Kapitalisme fase lanjut sebagai peristiwa penting ini ditandai paling tidak oleh tiga momentum: (1) Pergeseran dominasi modal dari Eropa ke Amerika; (2) Bangkitnya kesadaran bangsa-bangsa di Asia dan Afrika terhadap kolonialisme Eropa sebagai ekses dari kapitalisme klasik, yang kemudian memanifestasikan kesadaran itu dengan perlawanan; dan (3) Revolusi Bolzhevik Rusia yang berhasrat meluluhlantakan institusi fundamental kapitalisme berupa pemilikan kapital secara individu atas penguasaan sarana produksi, struktur kelas sosial, bentuk pemerintahan, dan kemapanan agama (Kristeva, 2015).
Sistem kapitalisme jugalah yang berlaku dalam industri. Di mana si pemilik modal menjadikan segala sesuatu sebagai komoditas dan meraup keuntungan dari komoditas itu sendiri. Namun sebenarnya sebelum memasuki masa kapitalisme industri tepatnya masa prakapitalis, formasi ekonominya berbentuk kapital dagang yang merupakan bentuk umum kapital. Dengan kata lain, perkembangan organisasi produksi komoditas tidak beranjak jauh dari sekitar industri rumahan yang marjin produktivitasnya rendah. Seiring waktu pola-pola perekonomian prakapitalis ini tergantikan oleh pola ekonomi kapital (Mulyanto, 2010).
Berawal dari produksi yang terus menerus berkembang dan sulit untuk dibendung—dalam industri. Marx beranggapan, walaupun terdapat hubungan antara kerja dan hakikat manusia, namun dia menganggap bahwa hubungan itu disesatkan oleh kapitalisme. Dengan kata lain kaum buruh bekerja sesuai keinginan dari kaum kapitalis (Ritzer, 2014).
Selain itu, Marx juga mengungkapkan dalam konsep alienasinya bahwa efek produktif kapitalis bersikap menghancurkan terhadap manusia dan masyarakat. Yang sangat signifikan adalah sistem dua kelas yaitu kapitalis yang mempekerjakan karyawannya (secara otomatis mereka memiliki waktu pekerja) dan kapitalis memiliki alat-alat produksi (alat-alat dan bahan-bahan mentah) dan juga memiliki produk hasil akhirnya. Di sisi lain, agar dapat bertahan hidup para pekerja menjual waktunya pada kaum kapitalis. Berawal dari struktur inilah—dalam pembagian kerja antara pemilik modal dan karyawan—dikemudian hari Marx sebut sebagai alienasi (Ritzer, 2014).
Alienasi sebagai Penyebab Kemiskinan
Para Marxis yang percaya pada determinisme ekonomi melihat kemacetan-kemacetan yang ditimbulkan oleh kapitalisme. Dan menurutnya marxisme memiliki sebuah struktur ekonomi yang lebih baik yang mampu menggantikan peran dari ekonomi kapitalisme (Ritzer, 2014).
Setelah terjadi revolusi industri di Inggris, Inggris menjadi negara atau bisa dibilang sebagai pemilik garda terdepan dari produksi industri. Namun, ternyata berkembangnya corak produksi—dalam industri—ini bukan hanya di Inggris saja. Amerika Utara misalnya, saat itu orang-orang Amerika yang pertama-pertama menggunakan mesin untuk melakukan perkejaan menjahit, pembuatan sepatu, dst. Sedangkan rangkaian kegiatan industri besar itu berusaha mengambil alih wilayah-wilayah yang sebelumnya dikuasai oleh kerja tangan (handiwork), keahlian pertukaran (artisanship), dan keterampilan tangan (manufaktur) pada awalnya tampak menjanjikan (Renton, 2009).
Berawal dari produksi industri rumahan, produksi itu seiring waktu menjadi produksi massal dengan skala besar untuk diperdagangkan, dan bukan hanya untuk melayani konsumsi pribadi saja. Maka pantas saja dalam suatu industri produksi (pabrik) proses produksi yang pertama kali dikerjakan dimulai dari barang-barang mentah atau barang setengah jadi. Sedangkan barang-barang yang siap untuk dikonsumsi merupakan yang terakhir dikerjakan oleh industri (Renton, 2009).
Beragam pabrik mempunyai kinerjanya masing-masing. Pabrik roti di London misalnya yang menerapkan jam kerja pada karyawan dimulai pada jam 11 malam dan berakhir pada jam 3 atau 4 siang. Pekerjaan akan semakin banyak menjelang akhir pekan. Di pabrik roti yang lainnya di London, para pekerja atau karyawan harus bekerja tanpa henti sejak jam 10 malam di hari Rabu sampai dengan hari Sabtu malam. Sedangkan rentang usia para karyawan yang bekerja di pabrik itu, kabanyakan mati karena sakit paru-paru, sekitar umur 42 tahun. Proses pembuatan roti biasanya dilakukan di ruang bawah tanah yang sempit dengan ventilasi udara yang buruk atau bahkan tak ada ventilasi sama sekali. Jelaslah kalau kebanyakan dari para pekerja mengidap penyakit paru-paru. Tambah lagi, ketiadaan ventilasi ini diperparah oleh adanya uap berbahaya yang berasal dari pipa-pipa limbah roti—roti yang terfermentasi menyebarkan gas-gas berbahaya (Renton, 2009).
Sejalan dengan hal tadi, berawal dari terjadinya suatu ketidak adilan di pabrik. Soekarno juga berpendapat bahwa ada yang ganjil pada sistem produksi pabrik yang bercorak kapitalis; berusaha ingin meraup keuntungan sebanyak-banyaknya dengan mengesampingkan kesejahtraan hidup para karyawannya.
Pabrik biasanya lebih gampang menerima perempuan yang hendak dijadikan pegawainya dibanding dengan laki-laki. Karena menurutnya perempuan itu berharga murah. Berawal dari sanalah muncullah gerakan Marhaeni, yang awalnya gerakan ini adalah gerakan suatu kaum perempuan yang menuntut persamaan hak dengan laki-laki. Dalam perjuangannya, mereka didukung oleh borjuis—Soekarno menyebutnya dunia borjuis—dan mendapat sokongan dari pemilik modal atau pemegang pabrik. Sokongan tersebut diakibatkan karena munculnya rasa kemanusian dan keadilan. Dalam hal ini, memang tiap-tiap manusia harus menyokong aksi persamaan hak itu (Soekarno, 2015).
Namun, alih-alih membantu atas dasar kepedulian, Soekarno menyebutkan ada sebuah kepentingan ekonomi dari kaum borjuis. Ujung-ujungnya mereka mendapatkan keuntungan dari perjuangan persamaan hak tersebut. Erat kaitannya dengan hal itu, Soekarno menuliskan demikian:
Jikalau kaum perempuan dapat merobek adat kuno dan mendapat persamaan hak dengan kaum laki-laki, jikalau adat kuno yang mengurung kaum perempuan di dalam dapur itu bisa lenyap sehingga mereka boleh masuk ke dalam “dunia luaran”, jikalau kaum perempuan itu boleh masuk bekerja di dalam kantor, di dalam bedrijf, maka kaum borjuislah yang sangat untung, kaum borjuislah yang mendapat kaum buruh murah (Soekarno, 2015)!
Menurut presiden pertama Indonesia itu, dengan adanya persamaan hak kerja antara kaum laki-laki dan perempuan maka tidak akan ada lagi organisasi-organisasi perempuan, melainkan kaum perempuan proletar yang digiring masuk kepada kehedak borjuis. Maka Soekarno menawarkan solusinya, bahwa kita harus sama-sama menjaga, jangan sampai ada percampuran hak kerja antara kaum laki-laki dan kaum perempuan. Soekarno menyarankan bahwa Marhaen dan Marhaeni harus berani terjun ke dalam satu ‘kawah’. Dalam artian mendobrak sistem kapitalisme yang ada secara bersamaan, yang nantinya akan berdampak pada melemahnya sistem tersebut. Kalaulah semua kaum buruh menyatu maka akan menimbulkan persatuan dan kekuatan besar yang mucul dari internazionale arbeidsbeweging (gerakan buruh internasional) (Soekarno, 2015).
Alienasi diakibatkan oleh sistem kapitalisme. Berkaitan dengan hal itu Karl Marx menegaskan bahwa untuk meminimalisir alienasi, maka harus ada pembebasan terhadap kaum proletariat. Marx berniat membangun sistem ekonomi sosialisme yang menurutnya merupakan jalan yang jitu untuk melawan kapitalisme sekaligus mengembalikan kebebasan manusia (Bahari, 2010).
Sosialisme mengusung cita cita yang besar. Di antara cita-cita tersebut adalah menciptakan kesempatan pekerjaan yang banyak bagi kelas-kelas rendah; mengakhiri perbedaan yang didasarkan atas kelahiran bukan karena jasa; membuka lapangan-lapangan pendidikan bagi seluruh rakyat; menghapuskan praktik diskriminasi yang didasarkan pada jenis kelamin, agama, suku bangsa dan kelas sosial; mengatur dan mengorganisasi ekonomi untuk kepentingan seluruh masyarakat, dan banyak hal lainnya (Ebenstein, 2014).
Marx berpandangan bahwa alienasi berhubungan dengan kondisi pekerja. Menurutnya, hakikat dari manusia adalah bekerja. Sebab kerja merupakan suatu konsep yang tidak bisa dipisahkan dalam diri manusia. Kerja juga ekspresi kemampuan khas manusia yang tidak melulu terbatas pada aktifitas ekonomi, melainkan mencakup segala hal yang berkaitan dengan daya kreatif seseorang. Namun, alih-alih kerja tersebut merupakan hakikat manusia. Tapi di sisi lain, kerja tersebut selalu dijadikan arena eksploitasi diri oleh kaum borjuis (Nadhiroh, 2015).
Dengan lain kata, teori alienasi Marx bermaksud melihat bagaimana keterasingan yang dialami oleh para pekerja di bawah arahan kaum borjuis (Al-Sholihah, 2012: 2). Konsep alienasinya muncul setelah Marx mengkritik habis-habisan pembagian kerja pada masa industrial. Menurutnya, sebelum datang industrialisme manusia adalah suatu keutuhan, tidak teralienasi. Namun, setelah datangnya industrialisme kondisi manusia terpecah-belah oleh kapitalisme (Basuki, 2008).
Pada intinya, Marx percaya bahwa terdapat hubungan antara kerja dan hakikat manusia, namun dia menganggap bahwa hubungan itu disesatkan oleh kapitalisme, dan dia menyebutnya sebagai alienasi. Dalam kata lain, kaum buruh bekerja sesuai keinginan dari kapitalis. Bukan sebagai tujuan itu sendiri, melainkan kerja dalam kapitalis disusutkan menjadi alat bagi suatu tujuan. Tiada lain tujuan tersebut adalah memperoleh uang yang sebanyak-banyaknya (Johnson, 1986).
Meskipun individulah yang merasa teralienasi di dalam masyarakat kapitalis, namun Marx juga beranggapan bahwa struktur-struktur kapitalisme yang menyebabkan alienasi tersebut. Marx menggunakan konsep alienasi untuk menyingkapkan efek produktif kapitalis yang bersikap menghancurkan terhadap manusia dan terhadap masyarakat. Yang sangat signifikan adalah sistem dua kelas yaitu kapitalis yang mempekerjakan karyawannya (secara otomatis mereka memiliki waktu perkerja) dan kapitalis memiliki alat-alat produksi (alat-alat dan bahan-bahan mentah) dan juga memiliki produk hasil akhirnya. Agar dapat bertahan hidup para pekerja menjual waktunya pada kaum kapitalis. Struktur itulah, khususnya pembagian kerja, adalah dasar sosiologis alienasi (Ritzer, 2014).
Seturut pemaran di atas, dapat diketahui bahwa kemiskinan yang terjadi dalam masyarakat bukan berkaitan dengan laju penduduk atau vertilitas yang tinggi. Namun kemiskinan tersebut diakibatkan oleh adanya suatu sistem ekonomi-politik yang kejam, yakni sistem kapitalisme. Dan mau tidak mau akhirnya terjadi alienasi terhadap kaum pekerja.


DAFTAR PUSTAKA
Al-Sholihah, Ana Maratu. 2012. SKIRIPSI: Starategi Naratif dan Alienasi dalam Tiga Novel Karya J. M. Coetzee. Bandung: Universitas Padjajaran.
Bahari, Yohanes. 2010. Karl Marx: Sekelumit Tentang Hidup dan Pemikirannya, dalam Jurnal Pendidikan Sosiologi dan Humaniora, Vol. 1, No. 1.
Basuki, Ari. 2008. Perbandingan Pemikiran Karl Marx dengan Pemikiran J. Krishnamurti tentang Perubahan Sosial, dalam Jurnal Humaniora, Vol. 20, No. 3, Hal. 306-31. DIY, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Ebenstein, William. 2014. Isme-isme yang Mengguncang Dunia. DIY, Yogyakarta: Narasi.
Johnson, Doyle Paul. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern I. Terj. Robert M. Z Lawang. DKI, Jakarta: Gramedia.
Kristeva, Nur Sayyid Santoso.  2015. Kapitalisme, Negara dan Masyarakat. DIY, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Korten, David C. 2002. Kehidupan Setelah Kapitalisme. Terj. A. Rahman Zainuddin. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Mulyanto, Dede (Ed.). 2015. Di Balik Marx: Sosok dan Pemikiran Friedrich Engels. Tangerang Selatan: Marjin Kiri.
—————. 2010. Kapitalisme: Perspektif Sosio-Historis. Bandung: Ultimus.
Nadhiroh, Nufi Ainun. 2015. SKRIPSI: Konsep Alienasi Menurut Erich Fromm. DIY, Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.
Renton , Dave (Ed.). 2009. Karl Marx: Membongkar Akar Krisis Global. DIY, Yogyakarta: Resist Book.
Ritzer, George. 2014. Teori Sosiologi; dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. Terj. Saut Pasaribu, dkk. DIY, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cet. II.
Soekarno. 2015. Nasionalisme, Islamisme, Marxisme: Pikiran-pikiran Soekarno Muda. Bandung: Sega Arsy.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar