Menganalisis film dokumenter garapan Michael Moore yang berjudul Capitalism:
A Love Story, membuat saya kelabakan. Saya harus memaksakan diri melek
bahasa Inggris, karena seperti yang kita ketahui, film tersebut belum memiliki subtitle
yang berbahasa Indonesia. Walaupun kenyataannya demikian, saya harus tetap
mengerjakan tugas ini—analisis film dokumenter Capitalism: A Love Story.
Ketika saya menonton film ini, penyitaan rumah warga oleh aparatur
negara adalah tanyangan yang pertama kali ditampilkan dalam film Capitalism: A Love Story. Hal ini
diakibatkan karena warga tidak mampu membayar cicilan rumah yang didiami oleh
mereka.
Berawal dari sini, saya rasa Moore hendak memerlihatkan bagaimana
sistem kapitalisme bekerja. Terbukti ,setelah pemutaran tayangan tersebut Moore
berkata bahwa dibalik ‘penyitaan rumah’ itu tidak lain dari kinerja kapitalisme
yang selalu mengambil alih hak orang lain.[1]
Tidak hanya berbicara mengenai peranan perusahaan besar dalam
mengontrol kondisi ekonomi politik di Amerika Serikat. Moore juga menyoroti
para politisi yang justru melanggengkan sistem kapitalisme di Amerika. Tidak
tanggung-tanggung, mantan presiden Amerika George Bush yang mengatakan bahwa
kapitalisme adalah sistem terbaik.[2] Dijadikan
Moore sebagai hal yang membual dan ia pertanyakan ulang dengan gaya sindiran
serta nada kritikan.
Jika kita amati dengan menggunakan kerangka makro dalam sosiologi
ekonomi. Maka yang cocok menurut kelompok saya adalah teori keterlekatan dan
ketidakterlekatan tindakan ekonomi dalam masyarakat menurut Karl Polanyi. Polanyi
mengungkapkan bahwa hubungan ekonomi dan pemerintah yang berkaitan dengan
keterlekatan ekonomi dalam organisasi terdapat dua bagian: resiprositas dan
redistribusi. Berkaitan dengan resiprositas, ekonomi dipandang melekat dalam
proses pengaturan suku yang termaktub dalam adat. Sementara dari segi
redistribusi, ekonomi melekat dalam aparat politik negara yang terpusat
(Damsar, 2009: 143).
Konsep Polanyi mengenai keterlekatan ekonomi dan pemerintahan.
Dapat tergambar jelas dari para politisi yang disoroti oleh Moore, termasuk
mantan presiden-presiden Amerika yang berada di garda terdepan dalam melanggengkan
sistem kapitalisme: Ronald Reagan dan George Bush. Ini menggambarkan bahwa sistem
kapitalisme terus bertahan disebabkan sistem itu diabsahkan oleh aparat politik
negara melalui kontrol politik.
Dari permasalahan tersebut, kita dapat mengetahui bahwa sistem
makro (baca: negara) turut ambil bagian dalam mempertahankan status quo perekonomian
Amerika Serikat. Seperti halnya kata Max Weber, satu-satunya lembaga yang
mewakili keabsahan untuk melakukan tindak kekerasan terhadap warganya adalah
negara. Ini menunjukan ketika berbicara negara, salah satu aspek yang paling
menonjol adalah kekuasaan yang besar (Kristeva, 2015: 330).
Apabila kita hendak melihat melalui kerangka pemikiran jaringan
sosial. Maka menurut saya, karena film ini membicarakan bagaimana sitem
kapitalisme bekerja di Amerika Serikat, yang lebih harus disoroti adalah
berkaitan dengan jaringan makro. Walaupun tidak dipungkiri bahwa dalam film Capitalism:
A Love Story terdapat juga jaringan mikro (relasi individu ke individu)
atau jaringan messo (individu ke kelompok dan/atau sebaliknya).
Titik tolak jaringan makro sebenarnya melihat relasi antara dua
kelompok atau lebih. Kelompok yang dimaksud bisa organisasi, institusi, atau
bahkan negara (Damsar, 2009: 167). Saya rasa, film Capitalism: A Love Story,
lebih banyak membicarakan mengenai jaringan makro. Misalnya bagaimana
perputaran uang di bawah negara dan institusi-institusi yang melanggengkan
sistem kapitalisme di Amerika Serikat sendiri. Dengan gamblang Moore menampilkan
institusi-institusi yang dimaksud seperti Citibank, Nestle, Hershey’s, Lehman
Brothers, Godman Sachs, dan yang lainnnya. Institusi-institusi tersebut
berperan penting dalam membuat relasi ‘perputaran uang’.
Ujung-ujungnya individu dan/atau orang-orang Amerika Serikat dengan
tidak sadar mengikuti sistem ekonomi tersebut: kapitalisme. Karena mereka
berada dalam jaringan messo, dengan kata lain terdapat hubungan
induividu-individu dengan lembaga-lembaga yang ada seperti lembaga asuransi.
Keterlekatan lembaga inilah yang membuat orang-orang Amerika harus ikut juga ke
dalam sistem pereknomian yang ada. Atau lebih sederhana, berawal dari
keterlekatan kelembagaan menjadi keterlekatan ekonomi.
Ada suatu ciri khas dalam sistem kapitalisme. Sistem kapitalisme
berusaha meraup uang sebanyak-banyaknya. Sehingga, seperti yang dipertontonkan
dalam film tersebut, bahwa di satu sisi ada yang kaya semisal para pengusaha.
Dan di sisi yang lain terdapat orang-orang miskin, semisal orang yang tidak
mampu bayar rumah dan orang-orang yang merampok bank.
Kita mengetahui bahwa dalam kapitalisme, struktur ekonomi bersifat
individual. Kapitalisme mencoba meraih uang dari komoditi. Komoditi menjadi
sebuah sarana kepentingan individu supaya uang terus bertambah. Atau dengan
rumus C—M—C—M+ (C = komoditi, M = money (uang), dan M+ = uang yang terus
menambah) (Mulyanto, 2010: 112).
Sejalan dengan film Capitalism: A Love Story,
institusi-instusi yang ada berusaha meraih M+, sehingga terjadi ketimpangan
sosial. Namun, karena sistem makro (instusi, organisasi, negara) yang
mengendalikan laju ekonomi, maka sistem mikro (individu) harus ikut ke dalam
permainan ekonomi sitem makro tersebut. Dari sinilah kita bisa melihat jaringan
messo, dimana individu sebagai warga negara Amerika Serikat berhubungan erat
dengan kelompok-kelompok besar yang mengatur sistem perekonomian negara.
Pada tahap ini, kita bisa bilang bahwa yang terjadi di Amerika
Serikat adalah determinisme ekonomi. Determinisme ekonomi menganggap bahwa
sistem ekonomi menjadi dasar dari semua sistem yang ada di masyarakat. Agger
berpendapat, determinisme ekonomi menjadi penafsiran atas teori marxian pada
sekitar tahun 1889 dan 1914, atau tepatnya selama periode Internasional Komunis
Kedua. Pada tahun-tahun tersebut, disebut-sebut sebagai puncak kapitalisme
pasar yang mula-mula, diprediksikan sebagai keruntuhan kapitalisme (Ritzer, 2014:
470).
Namun determinisme ekonomi tidak begitu saja berjalan lurus tanpa
kritikan. Determinisme ekonomi yang ilmiah serasa berbanding terbalik dengan
konsep dialektis yang dikemukakan Marx sendiri. Scara spesifik, teori itu
tampak merusak dialektika. Sebab pada intinya dialektika itu dicirikan oleh
pemikiran bahwa ada umpan balik terus-menerus dan interaksi mutual di antara
sektor-sektor masyarakat yang beraneka ragam (Ritzer, 2014: 471).
Granovetter misalnya,
walaupun dia memunculkan teori keterlekatan ekonomi. Tetapi dia beranggapan
bahwa tindakan sosial—termasuk tindakan ekonomi—tercakup dalam
instutisi-institusi lain. Hal ini juga yang digambarkan oleh Moore dalam
filmnya, di mana Moore menyoroti peran perusahaan besar dalam menentukan
keadaaan sosio-ekonomi-politik di Amerika.
Moore juga menampilkan peran
agama, bagaimana sebenarnya agama memandang sistem kapitalisme. Father Dick
Preston, mengungkapkan bahwa kapitalisme adalah sebuah sistem yang jahat dan
bertentangan dengan semua agama-agama besar.[3] Dari sini, kita bisa melihat hubungan
institusi lain (baca: agama, terkhusus katolik) dalam memandang laju ekonomi di
Amerika.
Bisa menggunakan dua tinjauan yang berbeda berkaitan dengan agama
ini. Pertama, dengan menggunakan teori ketidakterlekatan ekonomi dari
Polanyi. Kedua, teori keterlekatan lemah dari Granovetter. Masing-masing
dari keduanya akan memunculkan kesimpulan yang berbeda.
Apabila menggunakan kerangka Polanyi, maka kita akan memiliki
kesimpulan, bahwa agama sebagai institusi sebenarnya tidak memiliki andil
bagian dalam penentuan ekonomi (Damsar, 2009: 143). Dengan kata lain agama
tidak terlekat dalam sistem perekonomian, melainkan ekonomi telah terstruktur
atas dasar pasar yang mengatur dirinya sendiri dan secara radikal melepaskan
dirinya dari institusi lainnya—dalam studi kasus ini agama—untuk berfungsi
menurut hukumnya.
Hal ini sejalan dengan anggapan Marx yang mengatakan bahwa kepercayaan-kepercayaan agama tidak
memberikan pengaruh paling penting terhadap prilaku, tetapi sebaliknya,
kepercayaan agama mencerminkan faktor-faktor sosial ekonomi yang mendasar
(Johnson, 1986: 120).
Namun berbeda dengan teori
keterlekatan lemah dari Granovetter. Granovetter membantah pandangan Polanyi,
bahwa yang dimaksud ketidakterlekatan menurut Polanyi sebenarnya terdapat
keterlekatan tetapi bersifat lemah (Damsar, 2009: 142). Beranjak dari kerangka
Granovetter dalam membicarakan peran institusi agama dalam film Capitalism:
A Love Story. Maka akan didapat kesimpulan bahwa walaupun agama tidak
berperan penting dalam perkembangan dan/atau laju ekonomi di Amerika, itu tidak
menjadikan agama sebagai institusi yang tidak terlekat dalam tindakan ekonomi
(seperti kata Polanyi). Justru agama di Amerika sebenarnya memiliki
keterlekatan, tetapi keterlekatannya masih bersifat lemah.
Hal ini sebenarnya dikuatkan oleh
pandangan Weber. Weber beranggapan bahwa dalam ajaran Protestan justru harus
menguasai perekonomian dan pencarian harta sebanyak-banyaknya (Weber, 2006:
37). Dalam konsepsi Granovetter, anggapan Weber bisa dimasukan ke dalam
keterlekatan kuat. Berarti instusi-instusi baik agama ataupun yang lainnya
selalu berada dalam konsep keterlekatan, namun tiggal ditentukan apakah
keterlekatannya bersipat kuat atau lemah.
Daftar Bacaan
Damsar
& Indrayani. 2009. Pengantar Sosiologi Ekonomi. DKI, Jakarta:
Kencana.
Johnson,
Doyle Paul. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern I. Terj. Robert M. Z
Lawang. DKI, Jakarta: Gramedia.
Kristeva,
Nur Sayyid Santoso. 2015. Negara Marxis dan Revolusi Proletariat. DIY,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mulyanto, Dede. 2010. Kapitalisme: Perspektif Sosio-Historis.
Bandung: Ultimus.
Ritzer,
George. 2014.Teori Sosiologi; dari Sosiologi Klasik Sampai
Perkembangan Terakhir Postmodern. Terj. Saut Pasaribu, dkk. DIY,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cet. II.
Weber, Max. (2006). Etika
Protestan dan Spirit Kapitalisme. Terj. TW Utomo dan Yusup Priaya Sudiarja.
DIY, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
[1]
Moore: This is capitalism a system of taking and giving—mostly taking. The only
thing we didn’t know was when the revolt would begin (menit ke 08:38).
[2]
Bush: capitalism is the best system ever divised. Voices form the left and
right equating the free enterprise system with greed and exploitation and
failure. Capitalism offers people the freedom to choose, where they work and
what they do (menit ke 25:24).
[3]
Capitalism for me and for many of us at this present moment is an evil. It’s
contrary to all that’s good. It’s contrary to the common good. It’s contrary to
compassion. It’s contrary to all of the major religions. Capitalism is
precesely what the holy books, our holy books in particular, remind us is
unjust and in some form and fashion. God will come down and eradicate somehow
(menit ke 42:13).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar