Minggu, 29 Mei 2016

Analisis Film Dokumenter Capitalism: A Love Story: Tinjauan Keterlekatan Ekonomi dan Jaringan Sosial

Oleh: Yuris Fahman Zaidan
 
Menganalisis film dokumenter garapan Michael Moore yang berjudul Capitalism: A Love Story, membuat saya kelabakan. Saya harus memaksakan diri melek bahasa Inggris, karena seperti yang kita ketahui, film tersebut belum memiliki subtitle yang berbahasa Indonesia. Walaupun kenyataannya demikian, saya harus tetap mengerjakan tugas ini—analisis film dokumenter Capitalism: A Love Story.
Ketika saya menonton film ini, penyitaan rumah warga oleh aparatur negara adalah tanyangan yang pertama kali ditampilkan dalam film  Capitalism: A Love Story. Hal ini diakibatkan karena warga tidak mampu membayar cicilan rumah yang didiami oleh mereka.
Berawal dari sini, saya rasa Moore hendak memerlihatkan bagaimana sistem kapitalisme bekerja. Terbukti ,setelah pemutaran tayangan tersebut Moore berkata bahwa dibalik ‘penyitaan rumah’ itu tidak lain dari kinerja kapitalisme yang selalu mengambil alih hak orang lain.[1]
Tidak hanya berbicara mengenai peranan perusahaan besar dalam mengontrol kondisi ekonomi politik di Amerika Serikat. Moore juga menyoroti para politisi yang justru melanggengkan sistem kapitalisme di Amerika. Tidak tanggung-tanggung, mantan presiden Amerika George Bush yang mengatakan bahwa kapitalisme adalah sistem terbaik.[2] Dijadikan Moore sebagai hal yang membual dan ia pertanyakan ulang dengan gaya sindiran serta nada kritikan.
Jika kita amati dengan menggunakan kerangka makro dalam sosiologi ekonomi. Maka yang cocok menurut kelompok saya adalah teori keterlekatan dan ketidakterlekatan tindakan ekonomi dalam masyarakat menurut Karl Polanyi. Polanyi mengungkapkan bahwa hubungan ekonomi dan pemerintah yang berkaitan dengan keterlekatan ekonomi dalam organisasi terdapat dua bagian: resiprositas dan redistribusi. Berkaitan dengan resiprositas, ekonomi dipandang melekat dalam proses pengaturan suku yang termaktub dalam adat. Sementara dari segi redistribusi, ekonomi melekat dalam aparat politik negara yang terpusat (Damsar, 2009: 143).
Konsep Polanyi mengenai keterlekatan ekonomi dan pemerintahan. Dapat tergambar jelas dari para politisi yang disoroti oleh Moore, termasuk mantan presiden-presiden Amerika yang berada di garda terdepan dalam melanggengkan sistem kapitalisme: Ronald Reagan dan George Bush. Ini menggambarkan bahwa sistem kapitalisme terus bertahan disebabkan sistem itu diabsahkan oleh aparat politik negara melalui kontrol politik.
Dari permasalahan tersebut, kita dapat mengetahui bahwa sistem makro (baca: negara) turut ambil bagian dalam mempertahankan status quo perekonomian Amerika Serikat. Seperti halnya kata Max Weber, satu-satunya lembaga yang mewakili keabsahan untuk melakukan tindak kekerasan terhadap warganya adalah negara. Ini menunjukan ketika berbicara negara, salah satu aspek yang paling menonjol adalah kekuasaan yang besar (Kristeva, 2015: 330).
Apabila kita hendak melihat melalui kerangka pemikiran jaringan sosial. Maka menurut saya, karena film ini membicarakan bagaimana sitem kapitalisme bekerja di Amerika Serikat, yang lebih harus disoroti adalah berkaitan dengan jaringan makro. Walaupun tidak dipungkiri bahwa dalam film Capitalism: A Love Story terdapat juga jaringan mikro (relasi individu ke individu) atau jaringan messo (individu ke kelompok dan/atau sebaliknya).
Titik tolak jaringan makro sebenarnya melihat relasi antara dua kelompok atau lebih. Kelompok yang dimaksud bisa organisasi, institusi, atau bahkan negara (Damsar, 2009: 167). Saya rasa, film Capitalism: A Love Story, lebih banyak membicarakan mengenai jaringan makro. Misalnya bagaimana perputaran uang di bawah negara dan institusi-institusi yang melanggengkan sistem kapitalisme di Amerika Serikat sendiri. Dengan gamblang Moore menampilkan institusi-institusi yang dimaksud seperti Citibank, Nestle, Hershey’s, Lehman Brothers, Godman Sachs, dan yang lainnnya. Institusi-institusi tersebut berperan penting dalam membuat relasi ‘perputaran uang’.
Ujung-ujungnya individu dan/atau orang-orang Amerika Serikat dengan tidak sadar mengikuti sistem ekonomi tersebut: kapitalisme. Karena mereka berada dalam jaringan messo, dengan kata lain terdapat hubungan induividu-individu dengan lembaga-lembaga yang ada seperti lembaga asuransi. Keterlekatan lembaga inilah yang membuat orang-orang Amerika harus ikut juga ke dalam sistem pereknomian yang ada. Atau lebih sederhana, berawal dari keterlekatan kelembagaan menjadi keterlekatan ekonomi.
Ada suatu ciri khas dalam sistem kapitalisme. Sistem kapitalisme berusaha meraup uang sebanyak-banyaknya. Sehingga, seperti yang dipertontonkan dalam film tersebut, bahwa di satu sisi ada yang kaya semisal para pengusaha. Dan di sisi yang lain terdapat orang-orang miskin, semisal orang yang tidak mampu bayar rumah dan orang-orang yang merampok bank.
Kita mengetahui bahwa dalam kapitalisme, struktur ekonomi bersifat individual. Kapitalisme mencoba meraih uang dari komoditi. Komoditi menjadi sebuah sarana kepentingan individu supaya uang terus bertambah. Atau dengan rumus C—M—C—M+ (C = komoditi, M = money (uang), dan M+ = uang yang terus menambah) (Mulyanto, 2010: 112).
Sejalan dengan film Capitalism: A Love Story, institusi-instusi yang ada berusaha meraih M+, sehingga terjadi ketimpangan sosial. Namun, karena sistem makro (instusi, organisasi, negara) yang mengendalikan laju ekonomi, maka sistem mikro (individu) harus ikut ke dalam permainan ekonomi sitem makro tersebut. Dari sinilah kita bisa melihat jaringan messo, dimana individu sebagai warga negara Amerika Serikat berhubungan erat dengan kelompok-kelompok besar yang mengatur sistem perekonomian negara.
Pada tahap ini, kita bisa bilang bahwa yang terjadi di Amerika Serikat adalah determinisme ekonomi. Determinisme ekonomi menganggap bahwa sistem ekonomi menjadi dasar dari semua sistem yang ada di masyarakat. Agger berpendapat, determinisme ekonomi menjadi penafsiran atas teori marxian pada sekitar tahun 1889 dan 1914, atau tepatnya selama periode Internasional Komunis Kedua. Pada tahun-tahun tersebut, disebut-sebut sebagai puncak kapitalisme pasar yang mula-mula, diprediksikan sebagai keruntuhan kapitalisme (Ritzer, 2014: 470).
Namun determinisme ekonomi tidak begitu saja berjalan lurus tanpa kritikan. Determinisme ekonomi yang ilmiah serasa berbanding terbalik dengan konsep dialektis yang dikemukakan Marx sendiri. Scara spesifik, teori itu tampak merusak dialektika. Sebab pada intinya dialektika itu dicirikan oleh pemikiran bahwa ada umpan balik terus-menerus dan interaksi mutual di antara sektor-sektor masyarakat yang beraneka ragam (Ritzer, 2014: 471).
Granovetter misalnya, walaupun dia memunculkan teori keterlekatan ekonomi. Tetapi dia beranggapan bahwa tindakan sosial—termasuk tindakan ekonomi—tercakup dalam instutisi-institusi lain. Hal ini juga yang digambarkan oleh Moore dalam filmnya, di mana Moore menyoroti peran perusahaan besar dalam menentukan keadaaan sosio-ekonomi-politik di Amerika.
Moore juga menampilkan peran agama, bagaimana sebenarnya agama memandang sistem kapitalisme. Father Dick Preston, mengungkapkan bahwa kapitalisme adalah sebuah sistem yang jahat dan bertentangan dengan semua agama-agama besar.[3]  Dari sini, kita bisa melihat hubungan institusi lain (baca: agama, terkhusus katolik) dalam memandang laju ekonomi di Amerika.
Bisa menggunakan dua tinjauan yang berbeda berkaitan dengan agama ini. Pertama, dengan menggunakan teori ketidakterlekatan ekonomi dari Polanyi. Kedua, teori keterlekatan lemah dari Granovetter. Masing-masing dari keduanya akan memunculkan kesimpulan yang berbeda.
Apabila menggunakan kerangka Polanyi, maka kita akan memiliki kesimpulan, bahwa agama sebagai institusi sebenarnya tidak memiliki andil bagian dalam penentuan ekonomi (Damsar, 2009: 143). Dengan kata lain agama tidak terlekat dalam sistem perekonomian, melainkan ekonomi telah terstruktur atas dasar pasar yang mengatur dirinya sendiri dan secara radikal melepaskan dirinya dari institusi lainnya—dalam studi kasus ini agama—untuk berfungsi menurut hukumnya.
Hal ini sejalan dengan anggapan Marx yang mengatakan bahwa kepercayaan-kepercayaan agama tidak memberikan pengaruh paling penting terhadap prilaku, tetapi sebaliknya, kepercayaan agama mencerminkan faktor-faktor sosial ekonomi yang mendasar (Johnson, 1986: 120).
Namun berbeda dengan teori keterlekatan lemah dari Granovetter. Granovetter membantah pandangan Polanyi, bahwa yang dimaksud ketidakterlekatan menurut Polanyi sebenarnya terdapat keterlekatan tetapi bersifat lemah (Damsar, 2009: 142). Beranjak dari kerangka Granovetter dalam membicarakan peran institusi agama dalam film Capitalism: A Love Story. Maka akan didapat kesimpulan bahwa walaupun agama tidak berperan penting dalam perkembangan dan/atau laju ekonomi di Amerika, itu tidak menjadikan agama sebagai institusi yang tidak terlekat dalam tindakan ekonomi (seperti kata Polanyi). Justru agama di Amerika sebenarnya memiliki keterlekatan, tetapi keterlekatannya masih bersifat lemah.
Hal ini sebenarnya dikuatkan oleh pandangan Weber. Weber beranggapan bahwa dalam ajaran Protestan justru harus menguasai perekonomian dan pencarian harta sebanyak-banyaknya (Weber, 2006: 37). Dalam konsepsi Granovetter, anggapan Weber bisa dimasukan ke dalam keterlekatan kuat. Berarti instusi-instusi baik agama ataupun yang lainnya selalu berada dalam konsep keterlekatan, namun tiggal ditentukan apakah keterlekatannya bersipat kuat atau lemah.

Daftar Bacaan
Damsar & Indrayani. 2009. Pengantar Sosiologi Ekonomi. DKI, Jakarta: Kencana.
Johnson, Doyle Paul. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern I. Terj. Robert M. Z Lawang. DKI, Jakarta: Gramedia.
Kristeva, Nur Sayyid Santoso. 2015. Negara Marxis dan Revolusi Proletariat. DIY, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mulyanto, Dede. 2010. Kapitalisme: Perspektif Sosio-Historis. Bandung: Ultimus.
Ritzer, George. 2014.Teori Sosiologi; dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. Terj. Saut Pasaribu, dkk. DIY, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cet. II.
Weber, Max. (2006). Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme. Terj. TW Utomo dan Yusup Priaya Sudiarja. DIY, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.



[1] Moore: This is capitalism a system of taking and giving—mostly taking. The only thing we didn’t know was when the revolt would begin (menit ke 08:38).
[2] Bush: capitalism is the best system ever divised. Voices form the left and right equating the free enterprise system with greed and exploitation and failure. Capitalism offers people the freedom to choose, where they work and what they do (menit ke 25:24).
[3] Capitalism for me and for many of us at this present moment is an evil. It’s contrary to all that’s good. It’s contrary to the common good. It’s contrary to compassion. It’s contrary to all of the major religions. Capitalism is precesely what the holy books, our holy books in particular, remind us is unjust and in some form and fashion. God will come down and eradicate somehow (menit ke 42:13).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar