Tidak Adil
Berawal dari sebuah
ketidakadilan, aku berfikir bahwa dunia adalah tempat untuk mencari
sebuah kepuasan. Langkah demi langkah yang ditempuh manusia tiada lain
untuk kesenangan tersendiri. Mereka tidak peduli akan sesama, berkuasa
di atas genangan air mata, dan menyusahkan sesama keturunan Adam.
Awalnya mereka meniru burung beo yang pandai berkata-kata sehingga
seseorang tertarik kepadanya, tapi ketika waktu berputar sedemikian
rupa, membalikan yang tak disangka, mereka seketika meniru harimau,
menunjukan bahwa dirinya lah sang penguasa. Mengaum dari dunia menuju
langit ke tujuh. Hal itu dilakukan agar rakyat jelata sembah sujud
kepadanya.
Mereka tak peduli dengan jeritan-jeritan dan
tangisan rakyat akan zaman yang semakin erat mencekik mereka. Dunia
bagi rakyat jelata seolah pohon kaktus, mereka harus tetap berdiri di
atas duri-duri yang tajam dan tangisan yang terkumpul dari awal mereka
dilahirkan bagaikan samudra, melebihi luasnya samudra Fasifik atau pun
Hindia.
Aku lihat rona wajahnya kusam kecoklatan,
banyak garis kerutan di dahinya. Mungkin mereka tak sanggup menanggung
beban yang ditimpakan dunia sehingga terhapuslah untuk menatap masa
depan.
Langkahnya hanya untuk mencari sesuap nasi.
Mereka tidak bisa hidup bahagia, pada matanya tergambar seluruh
kesusahan yang diderita dan kedua alisnya pun hampir bertabrakan.
Telapak tangannya kasar serta keringat terus keluar dari pori-pori
badannya. Mereka banting tulang untuk mengganjal perutnya yang
keroncongan.
Berbanding terbalik dengan orang-orang
yang katanya hebat, dari lehernya ada dasi yang memanjang ke bawah.
Orang-orang itu terus memandang langit tanpa mempedulikan bumi, mengejar
angan-angannya dan terus mengejar. Mereka tertawa di antara sekian
banyaknya tangisan.
Kalau aku dapat meminta kepada bumi
“oh bumi lahap lah mereka bersama kerakusannya, seperti engkau melahap
Qarun dan harta benda yang dimilikinya”. Tahu kah engkau bumi, bahwa
aku sudah tidak tahan lagi merasakan ketidakadilan yang saat ini
terjadi? Walau pun siang tetap saja gelap dan aku sulit untuk melihat
cahaya. Itu suratan bahwa kita tidak saling memahami.
Kita
berlomba-lomba meniru Bill Gates dan setelah sepertinya kita hanya
diam, kemudian bersenang-senang tanpa memepedulikan orang lain yang
hidupnya seperti kucing yang selalu mencari makanan dari sisa-sisa
manusia. Antara kucing dan mereka sama-sama mencari “bekas”. Sebuah hal
yang hina apabila manusia disamakan dengan hewan. Tapi ya bagaimana? Itu
adalah kenyataan dan kita tidak bisa membantahnya. Inilah yang terjadi,
kita hanya memperhatikan diri sendiri.
Biar lah orang
lain memasuki pintu misterinya masing-masing. Menggoreskan impian dengan
luka dan duka, cukup dengan kata dan do’a sederhana. Mungkin
orang-orang ingin hidup di langit padahal awal mula mereka menjejakan
kakinya di bumi. Apakah ada yang mampu menghangatkan hati kita lagi?
Bahkan matahari pun tak mampu. Aku juga meragukan bahwa waktu akan
merubah semua ini.
Orang-orang berkata “manusia itu
mahluk yang mulia” tapi mereka tidak tahu apa makna mulia itu. Sehingga
dalam dirinya dia mengakui bahwa antara dia dengan orang lain itu
sama-sama manusia tapi tidak sama. Bahkan ketidak samaannya itu lebih
besar seperti lautan berbanding dengan daratan.
Aku
bingung, sungguh aku benar-benar bingung sebenarnya apa yang ada di
pikiran manusia? Aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Oh Tuhan,
aku hanya ingin mengetahui jawaban itu dan setelah aku mengatahuinya,
aku akan memberitahukannya kepada manusia kemudian menyuruh mereka
menyelesaikannya.
Yuris Fahman Zaidan, kelas XII, MA Persis 03 Pameungpeuk Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar