Rabu, 25 Juni 2014

Pikiran Rakyat (Belia Cerpen), 09 Juli 2013


Mengenal Pengirim Tanda

Langkahku terhenti disebuah gubuk tua. Gubuk yang tak layak dijadikan tempat berteduh dari dingin yang diantarkan oleh derasnya air hujan. Kayunya lapuk dimakan usia. Aku kira jika angin besar atau gempa menimpa gubuk ini, pasti gubuk ini akan rusak. Tak terbayang rasanya jika sekarang gubuk ini rubuh, kemungkinan aku akan mati bersama puing-puing yang menimpa tubuhku.

Melihat hujan yang perlahan reda, pikiranku tertuju pada genangan air sisa hujan. Pikirku “dari mana air ini ada?”, aku terus memikirkannya. Walau pun adanya hujan itu dapat dibuktikan dengan ilmu, tapi aku masih bingung dengan barang-barang yang ada di sekelilingku. Baju, celana, gunung, sawah dan pepohonan dari mana semua ini berada? Aku bingung, ilmu pengetahuanku tak mampu untuk menafsirkan semua ini.

Setelah aku berfikir bagaimana semua ini ada, timbulah pertanyaan aku ini siapa? Kenapa aku ada? Lantas dari mana aku muncul? Walau pun aku dilahirkan dari rahim seorang ibu tapi kenapa harus aku yang ada di muka bumi ini? Lalu dari mana asal usul manusia pertama itu ada? Aku pusing dengan semua yang telah ada di bumi ini.


Perlahan setelah hujan tidak lagi menjatuhi tanah. Kakiku melangkah menuju rumah, yang juga aku bingung kenapa takdir mengatakan bahwa rumahku ada di perkampungan dekat gunung? Bagiku hidup ini adalah menjalankan kebingungan yang telah ada di dunia.

Keinginanku mengetahui semua hal yang membingungkan ini mengantarkanku pada suatu pemikiran yang disebut dengan “tanda”. Ya, aku menemukan jawabannya. Berarti kalau begitu aku ini ada karena aku adalah tanda dari orang tuaku. Kalau aku itu tidak ada maka aku bukanlah tanda yang menunjukan ibu dan bapakku mustahil menjadi pasangan suami istri. Ah, kenapa aku tidak memikirkannya dari tadi, semua yang ada di muka bumi ini adalah tanda adanya Tuhan. Baju, celana dan topiku ini adalah tanda dari Tuhan. Walau pun baju, celana dan topiku ini adalah buatan tangan-tangan kreatif manusia. Akan tetapi adanya manusia juga adalah sebuah tanda dari Tuhan. Jadi hakikatnya semua itu adalah tandaTuhan, Tuhan menjadikan manusia sebagai perantara untuk membuat baju, celana dan topi yang saat ini aku pakai. “Jadi apa yang harus aku sombongkan kalau lah aku ini adalah tanda” ucapku dalam hati.

Setelah aku sampai di rumah, aku langsung menyalakan tv lalu melihat berita bahwa ada seorang pejabat yang korupsi. “Ah, aku sudah bosan dengan keadaan Indonesia saat ini, setiap tahunnya Indonesia tidak lepas dari pemberitaan tentang koruptor yang telah lama mendarah daging di bumi pancasila ini” ucapku sambil kesal.

Aku juga aneh, kenapa manusia selalu terjebak pada tanda? Padahal kalau lah mereka bisa menjadikan tanda sebagai media untuk mengantarkan pada si pengirim tanda tiada lain ialah Tuhan, pasti mereka akan bersyukur dengan barang atau pun tanda dari Tuhan yang mereka miliki.

Mereka telah mentuhankan tanda; uang, jabatan dan sebagainya. Padahal semua itu adalah milik Tuhan. Maka yang pantas menjadi Tuhan kita adalah Tuhan yang asli yaitu Tuhan yang membuatkan tanda-tanda bagi kita.

Seketika air mataku mulai membasahi pipi yang kering. Ya, aku menangis ketika aku mengucapkan satu kata yang bagi orang lain tidak usah dibahas karena tidak penting. Tapi bagiku kata ini adalah kata yang dalam sekali maknannya, kata itu tiada lain adalah “tanda”***


Yuris Fahman Zaidan, kelas XI, MA Persis 03 Pameungpeuk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar