Denyut nadi mulai berhenti
Detak jantung mulai mati
Tangis jatuhi bumi lihat kau tertidur kaku.
Orang-orang berkata “berduka cita”
Bunga telah siap harumkan tanah
Keranda mulai di angkat menuju sepi
Sepi dari kehidupan di bumi.
Saat kau tinggalkan keluarga tercinta
Ruh mulai naik pada pencipta
“Tidak mungkin, tidak mungkin” ucap istri tak percaya.
Nisan segera di tancapkan
Orang-orang segera pergi meninggalkan
Ulat mendekat terus menggerogoti. Malam tiba suara burung hantu menyelimuti.
Hanya beberapa helai kain putih yang kau pakai
Kini angin telah menyapu harum mawar
Tanah telah kembali usang
Bersama kau yang tinggal tulang.
Tak ada lagi canda tawa
Kenangan tangiskan keadaan
Cinta pergi, berlalu bersama waktu
Do’a mulai di panjatkan
Sang istri pun berkata “terimalah dia, terimalah dia”
Berharap Tuhan mendengar.[]
Rabu, 30 November 2011
Hujan
Pagi ini mendung bertamu ke rumah
Bawakan dingin rasuki tubuh
Dedaunan mulai tampakkan hijau
Setelah lama air tak kunjung datang
Hitam tutupi langit
Petir mulai berdatangan
Tanah tak mampu menahan
Air mulai naik tutupi sebagian aspal jalanan
Tuhan telah berikan hujan
Setelah lama kemarau panaskan keadaan
Bawakan dingin rasuki tubuh
Dedaunan mulai tampakkan hijau
Setelah lama air tak kunjung datang
Hitam tutupi langit
Petir mulai berdatangan
Tanah tak mampu menahan
Air mulai naik tutupi sebagian aspal jalanan
Tuhan telah berikan hujan
Setelah lama kemarau panaskan keadaan
Sepotong Cerita Tentang Dunia
Saat Olympus tak mampu lagi berikan terang, karena Herdes telah sebarkan hitam. Langit pun gelap, matahari juga mulai redupkan sinarnya. Dedaunan mulai berguguran saat asap hitam kejahatan mulai menyebar ke seluruh dunia. Padahal orang-orang inginkan gembira, dengan suara-suara yang mendamaikan dunia, di hati mereka tertanam merdeka dari tentara-tentara jahat yang selalu menindas raga dan hilangkan cita-cita. Oh, akankah ada manusia setengah dewa yang akan kembalikan keadilan sesudah lama terkubur, ataukah darah akan kembali hiasi dunia dengan merah seperti semburan magma yang keluar dari gunung berapi. Aku tidak tau, kenapa jadi seperti ini? Dulu, sebelum kekuasaan menyelimuti pikiran kita, aku rasa tak ada duka cita. Tapi sekarang berbeda, banyak air mata yang menetes lalui pipi mereka. Tetesan keringat mereka tak ada gunanya, hanya penindasan yang mereka dapat. Padahal mereka sama manusia, tapi kenapa saling menindas? Apakah dunia telah merubah kita, sehingga hari-hari tak mampu lagi bawakan gembira? Putih pun kini telah pudar, tak seindah dulu yang berikan sinar untuk kita. Sebagian mereka berkata “Dimana Tuhan kita, kenapa Tuhan berikan bencana?”, padahal kan seharusnya Tuhan pelindung kita. Oh Tuhan, berikanlah kekuatan pada mereka yang tak mampu lihat dunia, jangan sampai bawa hitam rasuki hati mereka. Aku inginkan tanah seperti semula, berdiri tegak, kokoh dan tidak ada siksa. Karena aku tau kini sayap malaikat kecil yang tertanam di hati mereka sudah patah sehingga tak mampu lagi terbang mengejar cita-cita. Sudah lama manusia inginkan kuasa untuk merebut yang mereka suka. Sunggguh mereka inginkan gelap bukan untuk malam tapi siang juga, dengan hentakan kakinya dia sebarkan gelap lewat jejak-jejak yang tak terlihat. Roda kehidupan terus berputar melahap yang ada di hadapannya. Sampai tanah ini pun kering tak mampu lagi kembalikan keadaan. Benih-benih keadilan lenyap di terpa angin jahat menuju kegelapan. Embun-embun pagi penyegar kehidupan kini tak mampu lagi berikan kekuatan, sehingga tak mampu menyongsong pagi dengan sejuta harapan. Lalu dunia akan mati di telan keserakahan. Sayap-sayap tumbuh di punggung, menerbangkan kita menuju surga dan neraka. Sayangnya kita telah menganggap Tuhan telah tiada, sehingga tidak percaya akan ada siksa, ataukah Tuhan benar telah tiada? Kenapa Tuhan tak kembalikan seperti semula? Yang jelas aku inginkan dunia hidupkan gembira. Terserah kalian percaya Tuhan ada atau tidak ada. Kini, cukup sudah mari kita hapuskan permusuhan kembalikan perdamaian. Jangan sampai faham yang salah datang lagi, seperti Galileo galilei yang tak inginkan dia mati atas penghinaan pada dewa matahari, padahal perkataan Galileo bahwa matahari mempunyai noda-noda hitam itu benar. Ketika kita inginkan kabenaran maka pengorbanan yang harus di berikan. “Akankah esok hari dan hari-hari berikutnya ada seorang yang membawa dompet berkantung tebal lalu membagikan keadilan?” Entahlah, aku hanya inginkan pemimpin yang bukan hanya bicara membawakan ketentraman pada rakyat. Mungkin ini sepotong cerita tentang dunia yang tak mampu lagi jernihkan kembali kekeruhan yang terjadi.
Sekedar buang-buang waktu dan melepas kekesalan, sesudah menonton acara berita di TV
Terlihat ragamu kini terkapar lelah. Mencari sebuah keadilan dibalik pagar berduri yang selalu menghalangimu. Tak mampu lagi berlari dengan seribu harapan untuk menyongsong pagi. Sekarang bukan lah keringat biasa tapi keringat darah.
Setelah kau bicara tentang ini, mengadu atas perlakuannya padamu. Apa yang terjadi? Dengan sejuta alasan dia bantah, "Ini bukan salahku".
Sekarang sebuah pedang yang panjang sudah berada ditangan algojo. Sungguh kasihan, kau hanyalah korban ketidak adilan.
Lihatlah hari-hari yang cerah sudah tak mampu lagi kau jalani, karena hunusan pedang telah menjatuhi lehermu. Secerca harapan kini sudah sirnah. Terkubur bersama padang pasir.
"Kami akan melindungi", kata itu hanya isapan jempol belaka, memberikan angan-angan dan angin segar saja. Karena ucapanmu menjadi bunga yang selalu ditabur di atas pasir itu, seolah menjerumuskan pada kematian, dan salam terakhir untuk penyiksaan yang diberikan. Di bawah mistar panjang sekarang peristirahatanmu dibuat. Memberikan sebuah luka yang dalam bersama pasir yang telah menjatuhi seluruh anggota badanmu.
Lalu dia berkata "ini bukan kelalaianku juga". Ucapku "tapi kebodohanmu", akibat bodohnya kamu maka kamu menjadi lalai dan salah.
Di dalam jeruji besi kau pasrah sampai saatnya kau telah dieksekusi. Kini negara tempat Ka'bah sudah berlumuran darah. Banyak darah yang mengalir di sana, ada kejahatan, ketidak adilan dan lainnya.
Setelah butiran-butiran mengalir melalui kedua pipi orang tuamu. Memberikan sebuah kesedihan dari relung hati yang terdalam karena darah tak bersalah telah mengalir di atas padang yang tandus.
Sebelum dia dieksekusi, dia bertanya-tanya "apa yang harus aku lakukan?". Dia bingung bahkan lebih bingung dari orang yang benyak utang. Setelah dia tak mampu lagi untuk apa-apa. Pikiran, hati sudah pasrah dan iklas bahwa malaikat Izrail akan mencabut nyawanya lewat sebuah pedang panjang dikepalan lengan algojo.
Dan ucapku "Lihat saja nanti ketika peristiwa dan air mata ini akan menjadi saksi".
Setelah kau bicara tentang ini, mengadu atas perlakuannya padamu. Apa yang terjadi? Dengan sejuta alasan dia bantah, "Ini bukan salahku".
Sekarang sebuah pedang yang panjang sudah berada ditangan algojo. Sungguh kasihan, kau hanyalah korban ketidak adilan.
Lihatlah hari-hari yang cerah sudah tak mampu lagi kau jalani, karena hunusan pedang telah menjatuhi lehermu. Secerca harapan kini sudah sirnah. Terkubur bersama padang pasir.
"Kami akan melindungi", kata itu hanya isapan jempol belaka, memberikan angan-angan dan angin segar saja. Karena ucapanmu menjadi bunga yang selalu ditabur di atas pasir itu, seolah menjerumuskan pada kematian, dan salam terakhir untuk penyiksaan yang diberikan. Di bawah mistar panjang sekarang peristirahatanmu dibuat. Memberikan sebuah luka yang dalam bersama pasir yang telah menjatuhi seluruh anggota badanmu.
Lalu dia berkata "ini bukan kelalaianku juga". Ucapku "tapi kebodohanmu", akibat bodohnya kamu maka kamu menjadi lalai dan salah.
Di dalam jeruji besi kau pasrah sampai saatnya kau telah dieksekusi. Kini negara tempat Ka'bah sudah berlumuran darah. Banyak darah yang mengalir di sana, ada kejahatan, ketidak adilan dan lainnya.
Setelah butiran-butiran mengalir melalui kedua pipi orang tuamu. Memberikan sebuah kesedihan dari relung hati yang terdalam karena darah tak bersalah telah mengalir di atas padang yang tandus.
Sebelum dia dieksekusi, dia bertanya-tanya "apa yang harus aku lakukan?". Dia bingung bahkan lebih bingung dari orang yang benyak utang. Setelah dia tak mampu lagi untuk apa-apa. Pikiran, hati sudah pasrah dan iklas bahwa malaikat Izrail akan mencabut nyawanya lewat sebuah pedang panjang dikepalan lengan algojo.
Dan ucapku "Lihat saja nanti ketika peristiwa dan air mata ini akan menjadi saksi".
Langganan:
Postingan (Atom)