Terlihat ragamu kini terkapar lelah. Mencari sebuah keadilan dibalik pagar berduri yang selalu menghalangimu. Tak mampu lagi berlari dengan seribu harapan untuk menyongsong pagi. Sekarang bukan lah keringat biasa tapi keringat darah.
Setelah kau bicara tentang ini, mengadu atas perlakuannya padamu. Apa yang terjadi? Dengan sejuta alasan dia bantah, "Ini bukan salahku".
Sekarang sebuah pedang yang panjang sudah berada ditangan algojo. Sungguh kasihan, kau hanyalah korban ketidak adilan.
Lihatlah hari-hari yang cerah sudah tak mampu lagi kau jalani, karena hunusan pedang telah menjatuhi lehermu. Secerca harapan kini sudah sirnah. Terkubur bersama padang pasir.
"Kami akan melindungi", kata itu hanya isapan jempol belaka, memberikan angan-angan dan angin segar saja. Karena ucapanmu menjadi bunga yang selalu ditabur di atas pasir itu, seolah menjerumuskan pada kematian, dan salam terakhir untuk penyiksaan yang diberikan. Di bawah mistar panjang sekarang peristirahatanmu dibuat. Memberikan sebuah luka yang dalam bersama pasir yang telah menjatuhi seluruh anggota badanmu.
Lalu dia berkata "ini bukan kelalaianku juga". Ucapku "tapi kebodohanmu", akibat bodohnya kamu maka kamu menjadi lalai dan salah.
Di dalam jeruji besi kau pasrah sampai saatnya kau telah dieksekusi. Kini negara tempat Ka'bah sudah berlumuran darah. Banyak darah yang mengalir di sana, ada kejahatan, ketidak adilan dan lainnya.
Setelah butiran-butiran mengalir melalui kedua pipi orang tuamu. Memberikan sebuah kesedihan dari relung hati yang terdalam karena darah tak bersalah telah mengalir di atas padang yang tandus.
Sebelum dia dieksekusi, dia bertanya-tanya "apa yang harus aku lakukan?". Dia bingung bahkan lebih bingung dari orang yang benyak utang. Setelah dia tak mampu lagi untuk apa-apa. Pikiran, hati sudah pasrah dan iklas bahwa malaikat Izrail akan mencabut nyawanya lewat sebuah pedang panjang dikepalan lengan algojo.
Dan ucapku "Lihat saja nanti ketika peristiwa dan air mata ini akan menjadi saksi".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar