Sabtu, 19 Maret 2011

Gubuk

Ketika aku langkahkan kaki ke suatu gubuk yang tua untuk berteduh akan hujan yang terus memburuku. Petir-petir turun dengan suara yang mengagetkan, seakan petir-petir itu menembakku dalam kesendirian. Padi-padi melambai akan kesenangan dan kepuasannya. Angin bertiup sangat kencang seakan-akan ingin mendorongku ke arah kematian. Hanya gubuk inilah yang penuh dengan sarang laba-laba dengan kayu-kayu yang rapuh, yang bersahabat denganku. Semua di sekelilingku waktu itu menjadi musuh.  Pada waktu itu petir ibarat raja yang menahanku di gubuk tua itu. Dengan aungan seperti raja rimba yang mengagetkan hatiku, dia memerintah hujan dan angin sebagai pengawalnya untuk menahanku. Dewa petir murka.........
Bentakan dengan suara keras itu langsung menciutkan hatiku. Tetapi aku pikir, kenapa gubuk itu mampu melawan dewa petir dan tentara-tentaranya. Sungguh kuat kau gubuk , kau bertahan dan melawan dewa petir akan kesendirianmu disuatu padang rumput yang luas. Ku pikir bahkan kau sering di cerca oleh omongannya dan di siksa oleh pengawalnya. Dengan kepemimpinan diktatornya dewa petir menyuruh kau agar tunduk padanya. Tapi kau bersi keras tidak mau menurutinya bak para pejuang waktu penjajahan yang menolak dan memberontak akan adanya kerja paksa rodi dan romusa. Mereka memperlakukanmu seperti hewan bahkan lebih. Bagaikan cobaan yang datang bertubi-tubi dari Tuhan. Kau terkurung dan terjebak pada kesendirian, terjebak akan malam yang gelap gulita, semua tubuhmu di selimuti oleh kegelapan itu. Mungkin hanya kegelapanlah selimutmu bagi malam yang dingin. Ketika malam berganti menjadi pagi, lalu jadi siang, kau di uji dengan terik matahari yang panas. Kau di jemur diatas padang rumput yang luas. Cobaan bertubi-tubi yang diterima oleh kau di hadapi dengan rasa sabar.  Sekilas ku berpikir bagaimana kalau aku yang berada pada takdir itu. Dengan kenikmatan yang kumiliki saja aku banyak mengeluh, kenikmatan rohani dan jasmani yang datang padaku tidak barengi dengan rasa syukur kepada Tuhan. Oh........ gubuk terimakasih aku dapat mengambil pelajaran dan belajar karenamu. Secara tidak langsung kau adalah pengingatku. mMungkin 100 tahun nanti kamu tidak ada, jasadmu dibuang oleh manusia dimana saja, tergantikan oleh gedung-gedung yang menjulang tinggi. Tapi aku yakin filosofi kehidupanmu tidak akan hilang dalam hatiku, tidak akan tergantikan oleh arus derasnya modernisasi ini.



Sayup-sayup aku mendengar suara kendaraan dari arah kejauhan, entah kendaraan apa itu, yang jelas asap yang keluar dari kenalpotnya menghawatirkanku akan tercemarnya udara. 100 tahun desa ini akan menjadi kota ucap dalam hatiku. Datangnya manusia mengubah segalanya, , aku kasihan hidupmu di hahabiskan dalam kesengsaraan. Ku tau kau tak mampu melawan manusia seperti petir. Karena ku tau manusialah tuanmu. Dialah manusia yang menciptakanmu akan kesengsaraan, sekarang kau tidak di perhatikan dan di urus oleh tuanmu. Tuanmu hanya memperhatikan yang bagus saja sedangkan kamu sudah usang dan bau. Mungkin kau nanti akan di hancurkan, reruntuhanmu di buang ke sungai, tanpa memikirkan dampak negative akan rusaknya ekosistem alam. Cobaanmu bukan hanya sampai disitu. Sesudah kau di hancurkan dan di buang ke sungai, kau akan di salahkan akan kekejaman manusia karena kau penyebab banjir padahal dalang semua itu adalah tuanmu yaitu manusia.


Hujan yang lebat tergantikan oleh gerimisnya hujan. Saatnya aku untuk pulang.
Sampai jumpa gubuk........
Aku akan pulang meninggalkanmu akan kesendirian.


Aku menulis catatan ini ketika sudah main layang-layang di sawah bersama teman-teman,,
tapi sorry euy tanggalna poho deui..
hhaa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar