Waktu itu ketika aku masih setia di depan layar televisi, saat hujan membasahi atap rumah-rumah yang kering. Gemuruh guntur terdengar sangat kencang, menggetarkan hati. Kemarau telah memberi kata pada awan, menyuruh menurunkan hujan. Dan ketika itu malam telah dipenuhi oleh ketakutan-ketakutan.
Aku sadar, bahwa kita mahluk berakal yang tak lepas dari kesombongan. Telah membelok dari jalan yang lurus, bahwa keinginan adalah segalanya. Menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya.
Tuhan telah menciptakan kita dengan sempurna, kebaikan adalah landasan hidup dan keburukan adalah pelajaran. Tinggal mana yang mau kita pilih?
Hari ini, hari dimana aku berpikir sebagai mahluk yang berakal, kita adalah orang yang pintar, tapi kepintaran kita dipakai untuk keburukan. Biarlah, semoga orang sadar bahwa dirinya akan mati, kematiaanya akan sunyi seperti malam dan takut seperti mendengar suara guntur.
Aku bergegas mengambil segelas air teh untuk menghangatkan badan karena hujan telah memberi dingin.
Telah mengantarkanku membawa selimut. Tak perlu waktu yang lama tubuhku kuselimuti dengan kain tebal yang hangat. Sejenak aku berpikir masih setia di depan layar televisi dengan segelas air teh hangat. “Manusia ingin menjadi yang teratas, dan melupakan bahwa hanya ada Tuhanlah yang teratas”. Dari situ aku menjadi kesal “jika manusia ingin menjadi yang teratas maka budaknya adalah manusia juga”. “Ah masa bodoh”, aku lupakan semua itu.
Telah mengantarkanku membawa selimut. Tak perlu waktu yang lama tubuhku kuselimuti dengan kain tebal yang hangat. Sejenak aku berpikir masih setia di depan layar televisi dengan segelas air teh hangat. “Manusia ingin menjadi yang teratas, dan melupakan bahwa hanya ada Tuhanlah yang teratas”. Dari situ aku menjadi kesal “jika manusia ingin menjadi yang teratas maka budaknya adalah manusia juga”. “Ah masa bodoh”, aku lupakan semua itu.
Hujan masih membasahi tanah, membuat genangan air. Hujan dan kabut telah menutup terang bulan. Lengkaplah malam, dingin mencekam, rembulan tidak menampakan sinarnya, serta guntur, angin, dan kawan-kawannya mengamuk murka.
Disini tempat aku terdiam,terdengar suara gitar pada kesunyian. Suaranya memasuki jendela rumah yang terbuka, memantul pada dinding-dinding kemudian sampai pada telinga.
Disini aku hangat dengan selimut tebalku, tapi mungkin jauh dari tempat tinggalku, orang-orang berkata “Jangan turun hujan aku tidak punya tempat untuk berteduh”.
Ketika air menetes dari langit ke bumi. Seiring waktu air meluap dari sungai serta menutupi sebagian aspal jalanan, kecemasan mulai datang. Berbeda, aku lihat dibalik jendela, orang-orang menyalakan api membakar tembakau lalu menyulutnya sampai asap menghangatkan badan.
Bumi ini, tempat orang-orang menginjakan kakinya sungguh kejam. Kejamnya bumi pada manusia adalah ulah manusia sendiri. Saat pohon-pohon diambil habis dari gunung bumi telah marah, dia mengirimkan longsor padanya. Lalu saat udara dipenuhi polusi, bumi memerintahkan pada kutub utara dan selatan untuk mencairkan gunung es.
Lapisan ozon perlahan bocor. Matahari bergeser satu derajat sehingga semakin terasa panas. Cuaca tak menentu. Beginilah nasib tempat kita melihatkan sombong, membawa kerakusan, dan banyak hal lainnya.
Terlihat bumi maju dari yang dulu, gedung-gedung berdiri menjulang tinggi. Padahal semua telah mundur dimana kita akan lenyap bersama bumi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar