Senin, 02 Mei 2011

Wanita si Kerudung Coklat

Kau bukanlah ancaman, ketika orang-orang meneriakan namamu untukku, begitu sebaliknya.
Tanya sang mentari cahaya yang menjatuhi begitu indah seperti wajah lugumu.
Di bawah pohon rindang aku duduk untuk sebuah pertanyaan, di hinggapi asap-asap polusi yang menembus masuk ke dalam pori-pori, tapi di samping itu udara sejuk berkali-kali aku hirup. Aku merasa tenang akan kesendirian, tenang akan orang-orang meneriakan namamu di samping telinga kecilku. Telinga yang tak mampu menahan beban dari omongan orang-orang jahil di sebrang sana.
Begitu aku regangkan kaki untuk melepas kepegalan, rasa kantuk mulai menghinggapi . Terasa di tidurkan oleh angin sejuk. Ketika kau pergi untuk pulang, kau hanya meninggalkan jejak kakimu tanpa ucapan yang terucap dari bibir merahmu, kau hanya meninggalkan debu di bawah telapak sepatu di hadapan mataku.
Biarlah mungkin kini rasaku sudah pudar untukmu. Semuanya aku abaikan tanpa ada sedikitpun yang tersisa di relung hatiku, tapi itu susah.
Perlahan aku langkahkan kaki menuju kedamaian, kedamaian yang di berikan oleh orang tua di rumah. Dan aku tinggalkan hiruk-pikuk kendaraan di jalanan menuju sebuah desa ketentraman. Semua omongan orang tadi aku sudah anggap di telan oleh zaman.

Perlahan tapi pasti aku melangkah pada kebenaran, membiarkan pudarnya cinta ditelan oleh sang kegelapan malam.
Aku yakin esok hari akan lebih baik dari pada hari ini. Waktu telah menelan semua kejadian yang terjadi, melumat habis kenangan buruk, dan meninggalkan sedikit jejak di hati.
Maka sebutlah kau wanita si kerudung coklat, yang selama ini orang-orang bicarakan padaku. Perkataan orang-orang buatku bising bak kendaraan yang selalu meresahkan akan suaranya.

Aku masih ingat, ketika dia dan temannya mengantarkan segelas air susu yang di suguhkan pada pengawas. Orang-orang meneriakan namanya padaku. Mungkin persembahan dariku cukup mengenal namamu saja.

28042011